Pertanyaan "Kapan nikah?" bagi yang berada dalam rentang usia 20-30 tahun bisa jadi terasa menyebalkan untuk didengar. Apalagi disertai nasihat yang sama-sekali-tidak-kita-minta seperti, "nanti keburu jadi perawan tua, lho!" "jangan terlalu fokus mengejar karir, kejar jodoh aja biar ada yang nafkahin" "awas nanti makin tua makin nggak ada yang mau, ih". Hhhhh... Please, deh!
Di samping itu, banyak pula yang justru menyarankan untuk tidak buru-buru menikah. Ada yang mengatakan, "puasin aja dulu jomblo-nya, nanti pas udah nikah nggak bisa bebas, tau!" "minimal cari yang punya rumah, mobil, dan gajinya di atas 25 juta dulu, kalau enggak, jangan mau!" "menikah itu berat, biar aku saja". Nah, lho?
Pertanyaan dan nasihat yang demikian secara tidak langsung menjadi tekanan bagi yang dikenai. Terlebih di negara kita, rentang usia tersebut dianggap usia yang paling ideal untuk memulai berumah tangga. Namun seiring berjalannya waktu, "aturan tak tertulis" itu mulai terbantahkan oleh generasi kelahiran 1990-an.
Sekitar satu minggu yang lalu juga sempat ramai cuitan dari akun @sintakayaknyaa di twitter yang menuai banyak pro dan kontra seputar menyegerakan pernikahan. Sebagian warga Twitter turut menceritakan kisah yang serupa seperti dalam cuitan di bawah ini:
Hmmm... Kira-kira kenapa, ya?
Dari hasil pantauan saya di cuitan tersebut, banyak yang tidak menyarankan untuk segera menikah dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang merasa bahwa semenjak menikah justru tidak merasa "bebas", tidak membahagiakan, menambah masalah kehidupan, menambah pengeluaran, daaan masih banyak lagi. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Mayoritas warga Twitter yang telah berumah tangga juga mengeluh kehilangan banyak waktu "me time" karena harus mencari nafkah, mengurus anak, urusan bertetangga, dan ina-inu. Hal tersebut tentu memicu stres yang barangkali tidak kita rasakan ketika masih jomblo. Tidak heran bahwa angka perceraian di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Sebab, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh rasa tertekan.
Berdasarkan grafik dari Katadata, kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2021 melonjak dari 291.677 menjadi 447.743 kasus. Pertengkaran dalam rumah tangga menjadi faktor tertinggi penyebab perceraian, yaitu sebanyak 279.205 kasus. Artinya, sebanyak 62% dari total kasus perceraian dikarenakan cekcok dan kesalahpahaman antara suami-istri. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, pasangan yang bercerai mayoritas berada pada rentang usia 20-35 tahun.
Adapun yang menjadi faktor kedua terbesar penyebab perceraian yakni kesulitan ekonomi. Disusul dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), salah satu pihak yang meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas, hingga poligami yang tidak disepakati. Dari berbagai kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa muara dari berbagai permasalahan yang terjadi adalah: ketidakselarasan dan misinformasi.