Artikel mengenai keunggulan sistem pendidikan di negara lain dan kelemahan sistem pendidikan di Indonesia telah menjadi santapan sehari-hari sejak beberapa tahun terakhir.Â
Banyak pihak yang berkomentar macam-macam mulai dari menyalahkan regulasi, menyalahkan menteri, menyalahkan rezim, bahkan menyalahkan guru tanpa instropeksi diri sendiri.
Memang, pergolakan kurikulum sering disebut menjadi penyebab utama rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Inkonsistensi penerapan kurikulum ini tidak didukung oleh sosialisasi yang merata sehingga banyak lembaga pendidikan yang tertinggal.Â
Selain itu, peningkatan angka dalam berbagai kasus yang terjadi di sekolah juga memperkeruh citra pendidikan di Indonesia. Semakin maraknya kasus violence, bullying, sexual harassment, hingga korupsi di sekolah tanpa disadari akan menjadikan pendidikan di Indonesia semakin terbelakang dari negara lain.
Back to the topic, bagaimanapun wajah pendidikan Indonesia di mata dunia selalu menjadi PR besar bagi kita semua. Dari tahun ke tahun, pemerintah sudah mengupayakan yang terbaik dalam membenahinya mulai dari penggalakan pendidikan karakter, subsidi biaya bagi warga yang kurang mampu, pengadaan Kartu Indonesia Pintar, dan sebagainya. Tentunya dalam upaya tersebut diperlukan adanya dukungan seluruh komponen baik yang terkecil hingga yang paling besar.
Dalam ranah pendidikan, komponen tersebut tidak hanya terdiri atas pemerintah, lembaga pendidikan, guru, maupun stakeholder, akan tetapi ada satu kunci utama yang paling berpengaruh dalam mendukung pendidikan anak. Siapakah gerangan? Ya! Tentu saja orang tua sebagai pelaku pertama dan yang utama pendidikan bagi anak. Beberapa hal di bawah ini semoga bisa menjadi renungan bagi kita:
Pertama, Jepang sebagai the best country of education in Asia lebih mementingkan moral bagi anak usia dini. Nah, sebelum menyalahkan semesta raya, coba renungkan hal-hal berikut: apakah kita sudah mengajarkan tata krama pada anak? Apakah kita sudah mengucap kata maaf saat kita keliru di hadapan anak? Apakah kita sudah bilang "minta tolong" untuk menyuruh anak mengambilkan buku di meja? Bagaimana sikap kita saat anak melakukan kesalahan kecil? Apakah kita telah memberikannya reward and punishment sesuai dengan porsinya?
Kedua, di negara lain tidak dijejalkan calistung (baca, tulis, dan hitung) pada anak usia dini. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita sudah membacakan buku cerita sejak kecil sehingga mereka tidak merasa aneh dengan tulisan? Apakah kita telah melakukan berbagai cara agar anak merasa senang dalam mengenal huruf dan angka?Â
Terakhir, Finlandia sebagai kiblat pendidikan dunia tidak pernah memaksa anak untuk belajar secara berlebih. I mean, di sana nyaris tak pernah ada tugas rumah, les tambahan, maupun berbagai macam ujian. Bahkan mereka dibiarkan belajar sesuai minat dan bakatnya saja. Sedangkan, anak Indonesia seringkali dituntut untuk memenuhi standar pendidikan nasional yang katanya demi mencerdaskan anak bangsa.Â
Terlepas dari itu, wahai orang tua yang budiman, Sudahkah kita melakukan sesuatu untuk menelusuri dan mengembangkan minat-bakat mereka? Apakah kita masih menyuruh mereka berangkat sekolah di pagi hari untuk kemudian les ini-itu di sore hari? Apakah kita sudah menanyakan keinginannya? Kesenangannya? Bagaimana jika ternyata mereka merasa tertekan?
Seluruhnya bukan perkara sistem pendidikan yang sedang berlaku, namun sebagian adalah perkara orang tua. Mengkritisi boleh, tapi jangan lupa bahwa sekali lagi orang tua memiliki peran yang amat besar dalam pendidikan.