Mohon tunggu...
nur afifi
nur afifi Mohon Tunggu... -

megane-chan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bintang Harapan

19 Maret 2015   06:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:26 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bintang Harapan

Jauh sebelum hari kelulusan, aku memikirkan rencana untuk masa depan yang kuharapkan. Aku mencari informasi tentang beberapa SMK Dan SMA yang cukup dekat dengan tempat tinggalku dan beasiswa yang dimiliki. Aku bukan anak orang kaya yang bisa sesuka hati masuk sekolah lanjutan favorit, itu sebabnya aku memilah-milah sekolah. Bukan karena fasilitasnya yang super mewah, yang bangunannya megah, ataupun siswa-siswinya yang sempurna. Yang kucari hanya sekolah yang sesuai dengan peminatanku dan beasiswa yang bisa meringankan biaya bagi orangtuaku. Aku sadar, keadaan ekonomi keluargaku bisa dibilang pas-pasan. Di SMP-pun aku dibantu BSM sampai kelas sembilan.

Menjelang Ujian Nasional, aku mulaimenemukan sebuah SMK dan MAN yang lumayan dekat dengan rumah,tapi aku belum mengatakan pada ibu mengenai pilihanku itu.

Hari terus berganti, aku telah menjalanu Ujian Nasionalbeberapa hari yang lalu. Kini mulai sering ada promosi sebelum pulang sekolah, dan aku makin mantab dengan sekolah yang kuminati. Sepulang sekolahaku disuruh menjaga warnet, disitu juga kumanfaatkan untuk searching info beberapa SMK. Aku melakukan itu semua agar tidak ada rasa kecewa nantinya. Tapi, semua anganku masuk di SMK menjadi hilang. Ketika malam tiba, ibuku pulang diri pengajian di masjid. Beliau mendekatiku dan bertanya keinginanku melanjutkan sekolah dimana.aku pun menjawabnya dengan memberitahu nama SMK yang kuminati, lalu ibu berkata

“Gimana kalau kamu mondok saja?”

Degh ! Mondok ? Aku terdiam. Tak pernah terfikirkan olehku ibu akan memberikan tawaran seperti itu.

“Mondok ? Dimana ?” tanyaku ragu.

“Di tempatnay Ayu. Kamu pernah kesana-kan ? Ibu ingin kamu mampelajari ilmu agama dan bisa mengaji dengan baik,” ujar ibu yang sepertinya tahu keraguanku.

Saat itu aku dalam keadaan dilema. Rasanya sulit untuk memilih antara keinginanku dan kibuku. Aku memang ingin merasakan kehidupan SMKyang sudah lama kuimpikan. Tapi harapan ibu untuk menjadikanku anak yang mengerti agama itu sangat mulia. Dibandingkan keinginanku yang belum terlihat jelas, kurasa pilihan ibu adalah yang terbaik mengingat semua jasa dan pengorbanannya yang begitu besar. Akhirnya aku membulatkan tekad, mengikuti pilihan ibu.

Tiap malam, sebelum berangkat ke pondok aku selalu membayangkan bagaimana nantinay di pondok. Aku tidak punya teman atau tetangga yang sepantaran denganku. Apakah aku bisa punya teman disana ? Apa santri-santrinya akan menerimaku dengan baik ? Berbagai fikiranburuk menyerang kepalaku. Tapi, ya sudahlah. Aku tahu itu hanya bisikan syetan yang tidak ingin umat hawa ini menempuh jalan benar.

Tepat pada tanggal 24 Juli 2014 aku berangkat mendaftar ke pondok bernama Darul Falah sekaligus sekolahnya. Waktu itu adalah malam hari yang sepi.hati ini masih saja belum tenang sejak meninggalkan rumah. Mobil yang kunaiki telah memasuki pertigaan dari jalan raya menuju tempat pondok berada. Jantungku berdebar dengan kencang, entah apa yang membuatku gelisah terus menerus.

Mobil berhenti di depan sebuahbangunan cukup besar. Semua yang ada dalam mobil turun, lalu masuk ke bangunan itu.beberapa tamu juga tampak di sana. Aku, ayah, ibu, kakak dan ustadzah kudipersilakan duduk. Kami bertemu pengasuh pondok yaitu umi Hamidah. Setelsh berbincan cukup lama dan mengatakan niat untuk memondokkan ku, akhirnya mereka berpamitan pulang. Mereka meninggalkanku sendirian di pondok ini bersama beberapa wanita yang tidak kukenal. Aku menangis, namun salah seorang pengurus bernama mabak Nikmah mengajakku ke lantai atas.

Suasana pondok masih sepi karena hari itu memang belum saatnya masuk. Hanya ada beberapa orang yang masih berada di pondok. Cerita dan humor yang mereka ciptakan membuatku melupakan kesedihan di hati. Setelah hari mulai larut kami tidur bersama di musholla.

Keesokan harinya, tampak banyak anak yang kembali dari rumah. Pondok menjadi ramai. Hari itu kegiatan rutin yang biasa dilakukan mulai aktif. Di rumah aku bisa bangun jam 6 pagi dan tidur jam 9 malam, sedangkan disini aku harus bangun jan 4 pagi dan baru bisa tidur jam 11 lebih.

Awalnya aku memang sangat tersiksa dengan kehidupan baru disini. Tapi, sudan terlambat bagiku untuk mengatakan tidak pada keluarga dan ustadzahku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang telah menaruh harapan padaku. Maka tidak ada pilihan lain selain menjalaninya.

3 minggu lamanya aku berada di pondok. Sepertinya perkiraan burukku tidak benar. Mbak-mbak di pondok sangat ramah. Mereka menanyaiku banyak hal tentang kehidupanku sebelumnya, lalu mereka tertawa melihatku menjawab pertanyaan dengan gugup.selama bulan puasa sekolah diliburkan, kegiatannya hanya mengaji Qur’an, diniyahdan memaknai kitab kuning

Satu minggu sebelum hari raya para santri kembali diliburkan. Sebagai pengalaman pertama di pondok sepertinya cukup baik. Aku bisa menyesuaikan diri dengan santri-santri yang sekamar maupun yang sekelas. Walaupun aku masih belum bisa menerima semuanya, aku akan berusaha. Demi ayah dan ibu, demi masa depanku dan orang-orang yang berharap padaku.

By : Nur Afifi Agustin

Santri PP Darul Falah Jerukmacan Jetis Mojokerto

13 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun