TV rating kerap dituding jadi dalang tergerusnya kualitas tayangan televisi. Indikator penanda keberhasilan tayangan ini dianggap memicu penyelenggara siaran TV membuat program sesuai keinginan pasar sehingga mengabaikan kualitas dalam rangka mencari keuntungan. Lalu bagaimana dengan algoritma Youtube?
Ketika Youtuber atau para pembuat konten di platform OTT itu mengejar jumlah tontonan atau "views" supaya dapat lebih banyak keuntungan dari iklan, bisa jadi mereka juga terjebak menyesuaikan diri dengan keinginan pasar. Apakah akhirnya jadi sama saja antara tayangan TV dan Youtube karena semuanya mengejar iklan?
Kita mungkin beberapa kali mendengar berita tentang kreator dipolisikan karena membuat konten "prank" di Youtube. Kasus Ferdian Paleka pada tahun 2020 jadi satu contoh miris kreasi konten jahil atau prank dengan membagikan sembako berisi sampah. Apa motivasinya?
Tentunya mencari jumlah tontonan. Mengutip dari Republika, Ferdian baru aktif mengunggah konten selama 4 bulan di Youtube dan berhasil mencapai lebih dari 5 juta views dengan perkiraan penghasilan hingga 100 juta rupiah per bulan. Demi mengejar tontonan, kualitas konten pun dipertaruhkan.
Memang, banyak konten berkualitas di Youtube. Sama dengan TV, isinya juga bukan melulu program murahan. Produksi program televisi bahkan cenderung lebih mahal daripada konten buatan Youtuber karena disokong oleh dana yang lebih kuat.
Para Youtuber juga banyak yang perlu diacungi jempol, dengan modal pas-pasan, putar otak cari kreativitas supaya peroleh banyak tontonan.
Kembali soal TV rating dan algoritma Youtube. Sebelum mempersoalkan dampak dari keduanya, mari kita lihat bagaimana sebenarnya kedua sistem ini bekerja.Â
TV Rating
TV rating sebenarnya hanya satuan pengukuran dari metode yang disebut "TV Audience Measurement" atau TAM. Dalam bahasa Indonesia berarti pengukuran khalayak televisi.
Sistem ini dikembangan oleh lembaga riset Nielsen. Rating sendiri merupakan nilai dari banyaknya pemirsa TV yang menonton suatu program.Â