Pada bulan September 2018, terjadi kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX di Indonesia, menewaskan seluruh penumpang berjumlah 189 jiwa akibat jatuh setelah 13 menit mengudara dari bandara Soekarno-Hatta. Terungkap dari jurnalis asing The Wall Street Journal, pihak Boeing sempat menuduh penyebab kecelakaan terjadi karena lengahnya awak kapal Indonesia.
Pembicaraan di media sosial terkait kecelakaan pesawat Boeing 737 di China masih trending di Indonesia hingga 2 hari sejak hari naas Senin, 21/3 yang diperkirakan menelan 132 korban jiwa. Tercatat sekitar lebih dari 80 ribu percakapan terpampang di lini masa Twitter.
boeing (2022) & Black box / Boite noir (Perancis, 2022). Turut berduka. # China Boeing 737 Eastern Airlines," begitu kicau @Ry_Odji bersaing di lini masa Twitter dengan posting berita-berita asing tentang dahsyatnya kecelakaan itu.
Ada satu tweet menarik dari @ry_oji yang terus bertengger di posisi atas. "Dua film baru di 2022 yg menggambarkan dokumentasi & investigasi kecelakaan pesawat, dua2nya menarik (seru) & ratingnya tinggi: Downfall: The case againstAkun @Ry_Odji memang tidak menceritakan isi kedua film itu. Kebetulan, Saya sempat menonton film dokumenter "Downfall: The Case Against Boeing" sebelum kecelakaan pesawat Boeing 737-800 terjadi di China. Apa yang Saya dapati dari dokumenter yang tayang di Netflix itu? Mengejutkan!
Dokumenter ini berawal dari investigasi kecelakaan Boeing 737-Max 8 yang jatuh selepas tinggal landas dari Cengkareng, Tangerang pada 29 Oktober 2018 lalu. Pesawat milik Lion Air bernomor 610 itu dipiloti oleh seorang berkebangsaan India. Jurnalis dari The Wall Street Journal, Andy Pasztor mencoba mengungkap penyebab jatuhnya pesawat itu.
Apa temuan investigasi awal Pasztor? Ia mengungkapkan bahwa secara tidak resmi Boeing menyatakan "pilot Amerika tidak akan mengalami masalah seperti ini dan awak pesawat Indonesia tidak menjalankan prosedur yang berlaku." Hal ini diungkapkan Pasztor dalam testimoni pada dokumenter "Downfall: The Case Against Boeing" .
Tanggapan dari pejabat Boeing itu tampak sangat rasialis. Padahal, saat ini masyarakat dunia sedang gencar mengampanyekan "diversity" atau keberagaman di berbagai sektor kehidupan. Melalui pandangan rasialis tersebut, para pejabat Boeing yakin tidak ada yang salah dengan produk mereka. Namun Pasztor, jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat tidak berhenti sampai sana. Ia mencoba investigasi lebih lanjut dari segi teknis ketimbang hal operasional seperti jawaban yang diberikan oleh pihak Boeing, perusahaan yang juga berasal dari Amerika Serikat.
Investigasi kecelakaan Boeing 737-Max
Hasilnya, ditemukan ada satu sistem navigasi bernama MCAS yang bermasalah. Di sini mulai terungkap bahwa kecelakaan bukan kesalahan dari kru pesawat. Kecerobohan awak pesawat Indonesia tidak terbukti seperti sempat dituduhkan oleh pejabat Boeing. Kesalahan justru didapati pada lemahnya sistem yang dirancang oleh perusahaan itu.
Terbukti terjadi lagi kecelakaan dari produk yang sama, Boeing 737-Max 8 di Ethiopa pada Maret 2019, hanya berselang 6 bulan setelah jatuhnya pesawat Lion Air 610 di Teluk Jakarta. Dua peristiwa naas ini memakan total 346 korban jiwa.