Mohon tunggu...
Afghani Hamim Rofiqi
Afghani Hamim Rofiqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tetap membumi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beberapa Murid SMP Tidak Bisa Membaca, Ada Apa Dengan Kurikulum?

1 Oktober 2024   04:11 Diperbarui: 1 Oktober 2024   04:52 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Siswa SMP seharusnya sudah memiliki kemampuan membaca yang baik, keterampilan ini merupakan keterampilan penting yang akan membantu mereka belajar dan lulus dari jenjang SD. Tetapi, akhir-akhir ini tersebar berita bahwa beberapa murid SMP tidak bisa membaca, tentu hal ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Ada banyak penyebab yang menjadikan murid tidak bisa membaca, antara lain mereka yang mengalami disleksia menunjukkan gejala seperti lambat bicara, lambat belajar kata-kata baru, dan lambat membaca. 

Guru menggunakan pendekatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik murid, tidak cukup sumber bacaan yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan usia murid, kurangnya dukungan orang tua dalam mendampingi anak-anak dalam belajar membaca.

Selain itu, ada perbedaan pendidikan yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Siswa tertinggal karena kurangnya akses ke pendidikan, terutama di daerah terpencil. Siswa kurang literasi karena kurangnya guru dan fasilitas. 

Meskipun pemerintah telah berusaha memperbaiki sistem pendidikan dengan menerapkan Kurikulum Merdeka, masih ada banyak hambatan yang menghalangi pelaksanaannya di lapangan. 

Banyak guru di daerah terpencil belum sepenuhnya terbiasa dengan pendekatan pembelajaran baru. Akibatnya, pendekatan tradisional yang kurang efektif tetap mendominasi.

Peran teknologi juga menjadi isu yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, teknologi mungkin membantu belajar. Sebaliknya, banyak siswa yang justru kecanduan game online dan media sosial, yang mengakibatkan penurunan minat membaca. Masalah ini diperburuk oleh kurangnya literasi digital di kalangan orang tua dan siswa. Tidak terkontrolnya penggunaan gadget oleh anak-anak karena banyak orang tua berjuang untuk membagi waktu antara pekerjaan dan membantu anak mereka belajar.

Oleh karena itu, untuk menyalahkan ini salah siapa?, bukanlah hal yang dapat diputuskan dengan mudah. Berbagai faktor yang saling terkait, seperti kebijakan pendidikan, kemampuan guru, dan peran orang tua di rumah, bertanggung jawab atas masalah kurangnya literasi ini. 

Pemerintah jelas memiliki tanggung jawab besar untuk meningkatkan sistem pendidikan, terutama dalam meningkatkan kualitas guru dan memastikan bahwa semua orang memiliki fasilitas yang sama di seluruh daerah. Namun, orang tua, masyarakat, guru, dan sekolah juga memainkan peran yang sangat penting.

Kurikulum Merdeka yang seharusnya diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini, faktanya masih ada perbedaan besar antara tujuan kurikulum dan kebutuhan siswa. Banyak siswa SMP masih belum bisa membaca dengan lancar, dan beberapa yang tidak bisa membaca meskipun sudah di jenjang menengah. Ini menunjukkan bahwa kurikulum saat ini tidak sepenuhnya menangani masalah nyata yang dihadapi siswa, terutama mereka yang tertinggal akibat pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun