[caption id="attachment_207903" align="aligncenter" width="504" caption="dokumen pribadi"][/caption] Tradisi Idul Fitri yang telah menasional dapat dipastikan (hanya) milik Indonesia. Di Negara lain, memang ada kebiasaan mudik. Namun tidak semeriah di Indonesia. Penyelenggara Negara, mulai dari Lurah hingga Presiden harus turun tangan langsung menangani mudik lebaran.
Kebiasaan yang patut disyukuri sebagai forum kekerabatan masal, meski bukan perintah agama, namun tradisi ini telah menyatu dengan ritual agama. Aktifitas masyarakat menjadi semarak. Forum ukhuwah kian meningkat. Membumikan perintah agama kian merata.
Bila ditelusuri lebih lanjut, muncul kegiatan masyarakat yang secara tidak langsung turut serta mendidik masyarakat akan pentingnya berkumpul dan bergotong royong, antara lain :
1. Perputaran Uang.
Tidak ada perputaran uang yang beredar di masyarakat melebihi suasana menjelang lebaran. Kalau hanya mendekati mungkin saat menjelang tahun pelajaran baru siswa masuk sekolah.
Satu minggu sebelum lebaran, tahun ini, saya melihat fenomena masyarakat yang antri di depan ATM yang mengular. Semua Bank. Mereka dipastikan mengambil uang. Untuk apalagi kalau bukan untuk belanja Idul Fitri. Aktifitas semacam ini memang akibat dari kebijakan dari Bank, bahwa pengambilan uang tunai yang kurang dari jumlah tertentu diharuskan lewat ATM.
2. Mengumpulkan Tulang. Dalam tradisi jawa ada istilah “ngumpulke balung”, artinya pada waktu lebaran, hampir semua anggota keluarga pulang kampung. Momen ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana untuk berkumpul dalam satu keturunan (trah). Di lingkungan keluarga saya, sudah hampir puluhan tahun melaksanakan tradisi ini. Meskipun jumlah jiwa belum mencapai 100, tapi kami memiliki tekad agar setiap hari kedua malam hari, semua wajib berkumpul rumah bekas tempat tinggal kakek-nenek.
3. Simpati dengan Rekan Sekolah Dasar. Mudik atau pulang kampung, setelah sekian tahun merantau dari tanah leluhur, pastilah membawa cerita yang menarik. Ada yang sukses, ada yang belum berhasil.
Dalam kesempatan tertentu dapat dipastikan kita akan bertemu dengan teman saat di Sekolah Dasar. Saling tukar kabar, tentang keberadaan si fulan menjadi cerita yang tak kunjung habis karena keberhasilannnya. Sebaliknya, si fulanah yang belum juga mengangkat derajad keluarga. Dari obrolan ringan sebagai obat kangen muncul rasa empati terhadap kawan saat masih di SD. Maka gagasan digulirkan, dan jadilah sebuah itikad untuk saling mendukung dalam mengangkat derajad ekonomi, sosial dan pendidikan dalam komunitas alumni SD.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H