Mohon tunggu...
amk affandi
amk affandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coretanku di amk-affandi.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Agar Petani Tidak Tertinggal Kereta

18 April 2012   03:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13347196391549524751

[caption id="attachment_182620" align="aligncenter" width="576" caption="sumber gambar : indonetwork.co.id"][/caption]

Hari Jum’at pagi pekan lalu, saya menerima SMS yang isinya khotib yang akan bertugas hari itu tidak bisa mengisi khutbahnya. Saya sebagai salah seorang penanggungjawab peribadatan, pagi itu juga saya harus mencari pengganti. Ternyata tidak mudah menemukan orang yang siap menjadi khotib. Bukan karena yang bersangkutan mengisi khotbah di masjid tertentu, tapi karena pagi hari, sudah banyak yang telah pergi ke sawah ataupun berdagang. Kami hidup di pedesaan.

Memang benar semua khotib yang bertugas di masjid yang kami kelola hampir semua memiliki HP. Namun pagi hari bukanlah saat yang paling tepat untuk selalu menggenggam hand phone. Aktifitas pagi hari adalah persiapan berangkat kerja, menyiapkan keperluan dan mengantar anak. Sehingga pagi itu, saya harus sudah berlari-lari di pematang sawah. Sayapun sudah ijin ditempat kerja, kalau pagi itu saya terlambat karena keperluan di atas.

Lain halnya kalau saya berada di kantor. Sebenarnya saya tidak begitu risau kalau kebetulan khotib yang bertugas di Masjid tempat saya kerja, berhalangan hadir.  Sekalipun 1 jam menjelang masuk sholat Jum’at, khotib membatalkan tugas. Pada hari kerja saya memiliki rekan yang siap untuk naik mimbar sebagai pengganti khotib. Demikian pula teman-teman lain yang siap sebagai khotib cadangan. Hubungi lewat SMS, seketika itu juga terjawab tanpa harus bertemu dengan orangnya.

Tulisan berikut tidak mengupas permasalahan tentang Sholat Jum’at. Tetapi saya ingin menyoroti orang bekerja sebagai petani.

Pagi-pagi orang selalu sibuk menyambut hari dengan bekerja. Dengan sepenuh hati dan tenaga yang tercurahkan, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Bapak tani yang saya sebutkan di atas, adalah orang yang tergolong pekerja keras. Dengan tekun tiap pagi berangkat kerja 7 hari dalam seminggu. Meski akhir-akhir ini cuaca tidak begitu bersahabat. Tanah sudah dicangkul, benih padi sudah ditanam, pupuk telah ditaburkan, tak tahunya sore hari datang hujan lebat. Banjir melanda. Padi yang telah tertanam, hanyut. Sepertinya sia-sia pekerjaan yang telah digeluti beberapa hari, disapu oleh air hujan dalam hitungan menit.

Mereka bekerja masih menggunakan cara-cara lama. Memang sudah tidak menggunakan kerbau, deru mesin menggantikan tenaga manusia dan hewan. Pergi kesawah juga sudah menggunakan sepeda motor, atau bahkan pakai mobil. Namun cara-cara bercocok tanam masih tradisional. Mereka belum mampu menerapkan metode yang efektif dan efisien. Petani sudah mampu membeli teknologi transportasi, namun belum mampu menerapkan bertani dengan memakai teknologi. Padahal teknologi sangat membantu dalam bekerja. Teknologi mamapu melakukan kerja dengan prinsip efektif dan efisien.

Prinsip efektif dan efisien ini dapat digapai dengan cara yang professional. Profesional tidak harus mahal. Sebab professional sendiri menurut JS. Badudu mempunyai tiga unsur yaitu : 1. Bersifat profesi, 2. Memiliki keahlian dan ketrampilan karena pendidikan dan latihan, 3. Memperoleh bayaran karena keahlian itu. Bapak tani teman saya itu, barangkali hanya bisa melakukan no. 1 dan no. 3. Profesi, karena memang pekerjaanya tani. Memperoleh bayaran, karena pada akhirnya hasil pertanian memang untuk menghasilkan uang. Namun untuk yang kedua masih sangat jauh. Pemerintah memang pernah membimbing petani dalam bentuk penyuluhan. Tapi penyuluhan masih bersifat teori yang diperoleh dari buku. Padahal belum tentu petunjuk dalam buku akan bisa menangani permasalah tanah yang dihadapi.

Disamping arah pendidikan yang masih berorientasi kantoran, pemerintah sendiripun belum mampu memberi rangsangan yang kuat, agar generasi muda senang bertani. Bahkan dalam beberapa segi, pemerintah justru memperpuruk penghasilan petani. Akibatnya banyak barang-barang kebutuhan pokok malah justru import dari negara lain. Sirkulasi dari produsen ke konsumen, begitu berliku.

Sebenarnya pemerintah tidak harus terjun langsung seperti petani. Yang dibutuhkan adalah alur yang sehat, agar hasil pertanian dapat dinikmati dengan memperoleh hasil yang optimal.  Pemerintah sendiri juga harus memproteksi barang impor. Sekiranya barang import akan mengganggu kehidupan petani, seketika itu juga harus berani membentengi.

Pemerintah juga harus gencar mempromosikan hasil pertanian. Tidak selamanya hasil pertanian import selalu baik. Mereka dapat menjual dengan harga mahal karena memang kemasannya menarik. Tugas pemerintah adalah melatih petani. Bagaimana supaya hasil pertaniannya terlihat menarik.

Ada beberapa tempat yang telah berhasil mengoptimalkan hasil pertanian dengan teknologi. Bahkan sukses juga mengawinkan dengan wisata. Sering disebut agrowisata. Namun masih terbatas kelembagaan. Akses untuk mendapatkan teknologinya masih susah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun