[caption id="attachment_94284" align="aligncenter" width="448" caption="lampu atas dan bawah kadang tidak sama (beritajakarta.com)"][/caption]
Kemarin, saya dalam perjalanan dari Dlingo menuju Yogyakarta melewati Patuk, setelah meliuk-liuk melewati bukit patuk yang sekarang semakin lebar dan halus sehingga arus lalu lintas menjadi lancar. Di pertigaan patuk antara Wonosari-Prambanan-Yogyakarta, saya sempat terhenti karena lampu lalu lintas. Udara yang begitu panas sebenarnya tidak begitu jelas warna lampunya.
Lampu lalu lintas di pertigaan itu ada 3 (tiga), 2 di sisi jalan (kanan-kiri) satunya di atas. Karena tidak terbiasa melewati jalan itu, saya hanya melihat lampu yang atas. Saya pastikan bahwa lampu sudah berwarna hijau. Karena itu sayapun lantas memacu sepeda motor ke kanan, kea rah Prambanan. Saya berjalan kira-kira 40 km/jam. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Setelah berjalan kira-kira 500 m, ternyata saya diberhentikan oleh seorang polisi. Sayapun lantas bertanya,
“ada apa pak?”
Dijawab polisi itu “Apakah bapak tidak tahu kalau kekanan lampunya masih berwarna merah?. “Wah….. saya tidak tahu pak, setahu saya lampunya sudah warna hijau”.
Dijelaskan oleh polisi tadi “Memang benar warna hijau telah menyala, tapi itu untuk kendaraan yang lurus, sedangkan yang kekanan (tiang lampu ditepi jalan sisi kanan) masih merah, artinya bapak melanggar lalu lintas”. Intinya bahwa sayapun ditilang.
Sayapun di bawa ke pos polisi. Ada dua buah ruangan dalam pos itu. Ruang depan dan ruang belakang. Saya lantas disuruh ke ruang belakang yang terdiri dari sebuah meja dan dua buah kursi panjang.
Tanpa basa-basi sayapun langsung ditembak
“Bapak besok tanggal 8 maret ke Polres Bantul untuk menghadiri sidang tilang kendaraan”. Sayapun menyela “Kan boleh diwakilkan pak? Atau lebih baik sidang disini saja pak”.
Dijawab “Tidak bisa, pokoknya bapak harus ke Polres Bantul”.
Pak Polisi mengeluarkan buku tilang yang berwarna putih, dan menulis di bagian atas dan bawah. Sebenarnya ada bagian yang haris diisi tapi dibiarkan berlalu.
“Begini saja pak, biar bapak tidak repot, bapak sidang disini saja” Itulah kata yang keluar, sambil menutup buku warna putih dan membuka buku warna merah.
“Loh….. katanya tadi harus ke Bantul, kenapa harus disini pak? Lah….. tadi bapak menulis di buku putih apa gunanya?, Saya sebenarnya ke Bantul tidak apa-apa pak, bila memang saya salah”
“Disini saja pak….. praktis, bapak sendiri nanti tidak repot”, sambil membuka lembaran daftar menu pelanggaran lengkap dengan harga tilang yang sudah lusuh.
“Okelah kalau begitu. Jadi berapa pak?
“Sekian pak (menunjuk dengan jari tangan)”
Karena saya tidak punya uang pas, saya menyerahkan lembaran warna merah.
“Yang pas saja pak…..”
“Punyanya hanya itu pak, yang kecil saya tidak punya”
Pak polisipun mengisaratkan kepada temannya untuk menukar uang. Sayapun mengeluarkan buku kecil. Saya Cuma iseng saja, yang saya tulispun cuma hari tanggal dan tempat kejadian.
Setelah temannya kembali dengan uang recehan, Pak polisi minta maaf, bahwa ia salah menilang. Uangpun dikembalikan kepada saya berikut dengan STNK dan SIM.
Saya katakan “Pak…. Gak papa pak, kan saya sudah melanggar, dan ini uang pelanggaran yang harus bapak terima”.
“Tidak pak….. saya kembalikan uang ini semuanya kepada bapak dan saya mohon maaf tadi telah menilang Bapak” Tukasnya.
Saya sendiri juga tetep ngotot agar uang tetap harus diterima. Akhirnya temannya menengahi, dan mengembalikan uang dengan sedikit dipotong.
“Okelah kalau begitu. Saya mohon maaf betul pak, karena memang saya benar-benar tidak mengetahui ada lampu lalu litas yang berada diseberang jalan. Terima kasih pak”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H