Mohon tunggu...
amk affandi
amk affandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coretanku di amk-affandi.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seimbangkan antara Berbicara dan Mendengarkan

25 Maret 2011   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98132" align="aligncenter" width="640" caption="(maixelsh.wordpress.com)"][/caption]

Tulisan berikut adalah buah hikmah saat saya berbicara dengan seorang teman yang menjadi khotib – sebut saja ustadz Joko. Seperti biasa, setiap bulan September-oktober tiap tahun, saya mencari khotib tahun berikut untuk masjid yang kami kelola dengan rekan-rekan. Ada khotib yang langganan ada yang baru. Masjid kami sudah lama memasang khotib paling banyak dua kali dalam setahun. Artinya saya mencari khotib minimal 26 orang dalam satu tahun.

Saat saya hubungan ustadz Joko untuk menjadi salah satu khotib, dan hari jum’at yang telah saya beri tanda untuk beliau, saya mendapat jawaban : “mas, untuk tahun depan jadwal saya sudah penuh. Saya membatasi menjadi khotib dua kali dalam sebulan. Saya akan menjadi makmum, dan mendengarkan uraian khotbah orang lain, sebanyak dua kali juga dalam sebulan”. Mendapat jawaban seperti itu saya cukup tergagap, dan saya sempat menggoda “ apa bener nih…ustadz”. Setelah basa-basi agak lama, sayapun menerima alasan beliau.

Rupaya berbicara dan mendengar harus seimbang. Menjadi seorang khotib tidak ringan. Disamping harus mampu fasih melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, mampu menafsirkan ayat yang tersirat dan tersurat, dan yang lebih penting adalah melaksanakan apa yang diucapkan di atas mimbar. Sampai kapanpun khotib tetap akan dibutuhkan, dan semakin banyak. Sebab pertumbuhan masjid terus bertambah.

Dari prinsip yang telah dipegang oleh ustadz Joko, maka dapat kita ambil hikmah :

Bicaralah yang diketahui. Berbicara itu mudah. Tapi menjadi tidak mudah, bila bicaranya sesuai dengan yang diketahui. Agar bicaranya lebih berbobot dan mengandung banyak kebenaran, salah satu cara adalah dengan banyak membaca. Dari bacaan itulah sumber pengetahuan, yang selanjutnya ditularkan kepada orang lain.

Berbicaralah, jangan menyakiti hati. Sering bersilaturahmi, berarti kita lebih banyak mengetahui karakter atau sifat orang lain. Dengan mengetahui perilaku orang lain, maka semakin kecil gesekan bicara untuk menyinggung orang lain.

Dengarkan suara yang baik-baik saja. Mendengar yang baik akan membawa energy untuk dimasukkan ke dalam hati. Dari hati akan akan menggerakkan suatu yang baik pula. “Wong kang sholeh kumpulono” – orang yang saleh, pandai, ahli hikmah berkumpullah. Diskusi mereka akan menghasilkan barang yang positip. Bergabunglah dengan mereka niscaya akan memperoleh yang bermanfaat.

Dengarkan saat orang lain berbicara. Mendengar rupanya harus terus belajar. Sangat tidak sopan bila orang lain berbicara kita memotong begitu saja. Saat kita mendengar sesuatu kebenaran, entah siapapun yang berbicara, wajib bagi kita untuk memahami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun