"Jika kita menyandarkan keinginan atau cita-cita kita kepada Allah, maka akan mudah tercapai. Tapi sebaliknya, jika kita hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri, pasti akan sulit tercapai" begitu yang disampaikan Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin dalam pengajian rutin Al-Hikam senin malam selasa di Masjid Al-Muhibbin (22/04/2024).
Syekh Ibnu Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menuliskan hikmah tentang tawakal (berserah diri kepada Allah):
:
Artinya: Tidak ada kesulitan memperoleh satu tujuan (cita-cita) jika keberhasilannya diserahkan kepada Allah. Dan sebaliknya, tidak ada kemudahan jika keberhasilannya diserahkan kepada kemampuan diri sendiri.
Cita-cita atau keinginan baik berupa keinginan duniawi (seperti; ingin mendapatkan penghasilan yang banyak, ingin mendapatkan keturunan, ingin mendapatkan pangkat tertentu, ingin menjadi ASN, ingin pekerjaan tertentu, dan lain sebagainya) atau keinginan ukhrowi (ingin kelak di akhirat bisa mendapat nauangan pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan dari Allah, ingin bisa melewati shirothol mustaqim dengan cepat dan selamat, ingin bisa masuk surga dan dijauhkan dari neraka, ingin bisa musyahadah). Ini semua namanya cita-cita. Kalau kita memperolehnya dengan tawakkal, maka mudah. Kalau kita semua menggapainya dengan rasa pasrah dan disandarkan kepada Allah, maka keinginan itu akan mudah untuk bisa dicapai.
Lalu bagaimana sebenarnya tawakkal itu? Apakah hanya diam saja tanpa ada usaha?
Mengenai hal ini, Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin kemudian menjelaskan bahwa tawakal itu bukan berarti diam saja dan tidak berusaha sama sekali. Hal tersebut justru adalah pemahaman yang keliru. Kita ini termasuk golongan orang-orang yang awam, maka tawakal kita adalah . Yaitu melakukan usaha, kemudian menyerahkan hasil usaha tersebut kepada Allah.
Beliau kemudian menceritakan momen ketika akan mondok di Lirboyo dulu, Abah Beliau, Al-Maghfurlahu Romo K.H. Moch. Djamaluddin Ahmad, memberi pesan: Nak, Abah tidak ingin kamu pulang dari pondok jadi orang pintar. Abah ingin kamu pulang membawa ilmu manfaat, walaupun sedikit. Kerena memang waktu itu Abah Idris baru lulus MI, maka sempat keliru dalam memahami nasehat tersebut.
"Sehingga setiap ada hafalan, saya selalu memilih berdiri. Sampai guru saya jengkel sebab saya lebih memilih berdiri ketika disuruh hafalan. Lalu saya sampaikan kepada guru saya: Ustadz tidak usah mengkhawatirkan saya. Abah saya matur bahwa beliau tidak mempermasalahkan andai kata saya tidak pintar. Akhire rapor saya merah semua. Kemudian ketika mendapati nilai rapor saya seperti itu, ternyata Abah konsisten dengan dawuhnya. Tidak marah, malah dibaca satu persatu hingga akhir dan ditanda tangani" Ungkap Abah Idris.
Kemudian, lanjutnya, Romo K.H. Moch Djamaluddin Ahmad melihat catatan dibagian bawah rapor putranya yang bertuliskan; al-bayan muallaq, yang berarti naik gantungan. Maksudnya, untuk saat ini dinaikkan kelasnya. Nanti ketika tengah semester ternyata bisa mengikuti pelajaran dengan baik, maka meneruskan. Tetapi kalau tidak, maka akan dikembalikan lagi ke kelas sebelumnya.