Bulan Ramadan, bulan suci umat Islam, membawa nuansa kehangatan dan kebersamaan di seluruh dunia. Namun, tradisi yang dirayakan di berbagai negara bisa berbeda satu sama lain. Tim Bumi Literasi Al Muhibbin (BLM) berkesempatan mewawancarai dua Mahasiswa Al-Azhar University Of Agypt, Khoirul Ulum asal Wajak Malang Jawa Timur dan Zeidan Izza Al Faris asal Jakarta, keduanya merupakan alumni Bumi Damai Al Muhibbin yang juga sedang menempuh pendidikan tinggi di Mesir.
Menurut Khoirul Ulum, Ramadan di Mesir dipenuhi dengan kehangatan dan kedermawanan. Warga Mesir dengan sukacita saling berbagi makanan dalam acara buka bersama yang disebut sebagai Maidah Al Rahman.
"Orang sini banyak menyediakan buka bersama dengan takjil kurma, minuman khas, serta makanan berat berupa nasi dan daging. Hampir setiap dusun menyediakan ratusan porsi makanan secara gratis. Demikian pula Al Azhar, setiap harinya mereka menyediakan 5000an porsi untuk wafidin (sebutan mahasiswa asal luar Mesir)" Ungkapnya saat wawacara eksklusif bersama Tim BLM (31/03/24).
Ia menambahkan bahwa Ramadan menjadi semakin spesial sebab bertepatan dengan berdirinya Al-Azhar. Yaitu pada 7 Ramadan 361 H / 972 M. Sehingga semarak kemeriahan bisa kita lihat melalui banyaknya hiasan lampu fanus, petasan menyala, dan keteduhan khataman Al Qur'an saat shalat tarawih menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Ramadan di Mesir setiap tahunya.
Selain itu, di Negeri Seribu Piramid ini, penetapan awal Ramadan diambil secara tunggal oleh Dar El Ifta, tanpa adanya perdebatan atau lembaga lain yang ingin berbeda. Shalat tarawih di Mesir pun kurang lebih juga sama seperti di Indonesia, ada yang 8 rakaat atau 20 rakaat, ada juga imam versi slow dan versi fast. Namun jika sudah masuk 10 hari terakhir Ramadan, doa qunut yang dibaca imam jauh lebih panjang, bisa sampai 15 menit doa qunutnya saja.
Ada yang sama sekali berbeda antara Ramadan di Mesir dan di Indonesia, yaitu malam 'Idul Fitri nya. Di Mesir tidak perayaan dengan kemeriahan seperti di Indonesia saat malam menyambut datangnya Idul Fitri.
"Malam 'id tidak ada kemeriahan sebagaimana lantunan takbiran seperti di Indo. Ya, mungkin hanya keramaian sesaat diluaran. Tidak semeriah di Indo". Ungkap Khoirul Ulum.
Yang paling tersohor dari Mesir, utamanya Cairo dan Al-Azhar adalah sebagai pusat kajian keislaman. Pembacaan kitab-kitab terus dilakukan di banyak waktu baik di dalam Ramadan maupun di luar ramadan. Seperti yang disampaikan Zeidan bahwa ada istilahnya Dauroh. Model khataman kitab dalam waktu 3 sampai 7 hari. Namun Dauroh itu tetap ada baik Ramadan atau diluar Ramadan.
Diantara model kilatan kitab di Mesir, seperti yang disampaikan Khoirul Ulum, pertama, ada yang satu momen khataman hanya dibaca kemudian ijazahan. Baik berupa kajian fiqih madzhab, hadis musalsal, dan lain sebagainya. Kedua, ada yang istimror atau melanjutkan membaca kitab-kitab tebal yang sudah dibaca sebelumnya dan dirampungkan di bulan Ramadan. Ketiga, ada yang mengkhatamkan manuskrip karya sesepuh untuk kemudian dicetak setelah khatam.
"O ya, disini tidak sembarang orang bisa memegang mic atau menggunakan pengeras suara. Hanya orang tertentu seperti imam, mu'adzin, pengurus masjid dan jama'ah senior. Bahkan tadarrus al-Qur'an menggunakan pengeras suara ba'da tarawih di masjid tidak ada disini, tidak seperti di Indonesia. Tapi berkah ramadan, pintu masjid dibuka lebih lama. Kalau di luar Ramadan, masjid akan ditutup setiap selesai sholat berjama'ah". Tambahnya.
Tidak hanya itu, rindu gorengan khas Indonesia menjadi pengalaman paling getir bagi keduanya, tapi Khoirul Ulum dan Zeidan Izza tetap menemukan berbagai pilihan makanan Nusantara di sekitar kawasan tempat tinggal mereka di Mesir.
"Kawasan hunian Masisir (sebutan bagi mahasiswa Mesir asal Indonesia) tak luput dari kulineran khas asia, tak hanya Indonesia. Berbagai masakan Thailand, Malaysia, China, dsb turut hadir dan mudah dijumpai. Sekali jalan jumpa orang Asia dan Alhamdulillah semua rukun. Sebelum adzan magrib, kita juga bisa ngabuburit di kawasan Darrasah (hunian padat masisir) menjajal aneka gorengan, bisa juga memilih bukber di resto yang ada puluhan pilihan masakan Nusantara". Ungkap Khoirul.
Kemudian Zeidan menambahkan bahwa usai melaksanakan sholat tarawih juga ada Cong Madura yang jual sate gerobak di kawasan Gamalia.
"Soal makan, tidak usah khawatir. Yang penting mantapkan niat untuk mencari dan memperdalam ilmu agama. Ngaji, ngaji, ngaji". Pungkasnya.
(tayang juga di website Bumi Damai Al-Muhibbin 01 April 2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H