Mohon tunggu...
Affa Esens
Affa Esens Mohon Tunggu... Lainnya - @affa_esens

*ما حفظ فر، وما كتب قر*⁣ Bahwa, apa yang kita ingat-ingat saja, pasti akan lari (lupa). Dan apa yang kita tulis, pasti akan kekal.⁣ #bukutentangjarak #bukutuanrumah

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Rahasia di Balik Rezeki: Pelajaran dari Kisah Sayyidina Ali dan Orang Baduy

9 Maret 2024   15:11 Diperbarui: 10 Maret 2024   00:26 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halal dan haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita memiliki efek samping dalam hal ibadah. Jika yang kita konsumsi berasal dari rizqi halal, maka tubuh kita akan ringan dalam melakukan ibadah. Sebaliknya, jika yang kita makan berasal dari rizqi yang haram maka tubuh kita akan terasa berat untuk melakukan ibadah.


Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Abah K. H. Mohammad Idris Djamaluddin dalam pengajian rutin al-Hikam senin malam selasa di Masjid Al-Muhibbin Tambakberas Jombang.


"Wong nek panganane harom, aggota tubuhe gak manut. Awa'e gak manut, dikon nglakoni apik gak manut dijak sembahyang gak manut dijak ngaji gak manut, berat. (jawa: orang itu kalau makanannya haram, maka anggota tubuhnya tidak akan patuh untuk melakukan ibadah. Disuruh berbuat baik tidak patuh, diajak untuk melakukan sholat tidak patuh, diajak mengaji juga tidak patuh, merasa berat." Ungkapnya Senin (05/02/2024).


Soal rizqi, sebenarnya Allah sudah memberikan jatah atau takarannya. Tapi soal halal dan haramnya rizqi, manusialah yang harus memilah dan memilih. "Dadi nek masalah takerane rizqi niku wes di tentokno, tapi kabeh diparingi karo Gusti Allah. Cuman masalahe sing diparingno gusti Allah iku manungsone seng milih halal harome (jawa: Jadi masalah takaran dari rizqi itu sudah ditentukan, tetapi (yang jelas) semua (manusia) dikasih (rizqi) oleh Allah. Cuma masalahnya, dari rizqi yang diberi oleh Allah itu, manusia sendirilah yang harus memilih halal dan haramnya)" Lanjutnya.


Pengasuh salah satu pondok pesantren dalam naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul 'Ulum Tambakberas itu kemudian menceritakan bahwa suatu hari Sayyidina Ali karramAllahuwajhah berangkat menjenguk rekannya yang sedang sakit dengan menunggangi kuda. Ternyata rumah rekannya tadi melewati gang sempit sehingga kuda Sayyidina Ali tidak bisa masuk. Akhirnya kuda tersebut diletakkan di depan gang. Tapi masalahnya di sekitar situ tidak ada tambatan untuk mengikat kuda tersebut.


"Bagaimana ini. Kalau dibiarkan saja seperti ini (tanpa di ikat), kudanya nanti pasti lepas". Kata Sayyidina Ali.


Tidak lama kemudian, ada orang Baduy lewat. Sayyidina Ali berkata "Hai orang Baduy, kemarilah! Maukah kau menunggu kuda ini sebentar saja. Aku mau menjenguk rekanku di dalam gang itu". Tanpa berfikir panjang, orang Baduy tadi bersedia menjaga kuda Sayyidina Ali.

Setelah selesai, Sayyidina Ali kaget karena kuda Sayyidina Ali tidak ada, begitu juga orang Baduy yang menjaga kudanya. Sayyidina Ali lalu mencari di berbagai tempat dan hanya menemukan kuda itu di tengah padang pasir, tanpa terlihat keberadaan Baduy yang menjaga tadi. Setelah dilihat lagi, ternyata pelana kuda Sayyidina Ali tidak ada. Sayyidina Ali kemudian mencari dimana letak pelana kudanya. Hingga kemudian beliau menemukan pelana kudanya di lapak salah satu pedagang di pasar.


"Sepertinya pelana ini tidak asing buat saya, Pak". Kata Sayyidina Ali


"O, iya. Ini baru saya dapat dari seorang Baduy seharga 4 dirham". Kata si penjual


"Baik kalau begitu, pelana ini saya beli seharga kamu mendapatkannya tadi. Bagaimana?"

Tawaran Sayyidina Ali diterima hingga akhirnya si penjual pun ikhlas melepaskan pelana yang baru ia dapatkan itu kepada sang pemilik sesungguhnya.


"Terus Sayyidina Ali mbatin: Lha yo wong Baduy. Aku mau iku wes niat. Duitku 4 dirham iku arepe tak shodaqohno mergo digawe balas jasa njogo jaranku. Wes niat, seng nang sakku iki tak kekno kabeh jumlahe 4 dirham. Lhakok gak sabar nyolong sadel, olehe yo tetep 4 dirham tapi harom. (Jawa: kemudian Sayyidina Ali berkata dalam hati: Bagaimana orang Baduy tadi. Saya itu sudah niat, uang saya 4 dirham itu mau saya sedekahkan (kepadanya) untuk balas jasa telah menjaga kuda. Sudah saya niatkan, apa yang ada di dalam saku saya ini akan saya berikan semua, jumlahnya 4 dirham tadi. Malah tidak sabar dengan mencuri (dan menjual) pelana, yang dia dapat ya tetap 4 dirham, tapi haram)" Pungkas Kyai Idris.


Dari cerita yang disampaikan oleh Abah K. H. Mohammad Idris Djamaluddin dari peristiwa Sayyidina Ali, kita dipertajam untuk mengerti bahwa menjaga kesucian dalam memilih makanan dan bertindak jujur merupakan pilar utama dalam memperkokoh hubungan spiritual dengan Allah. Semoga cerita ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu memperhatikan kehalalan dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kita dapat meraih keberkahan dalam segala hal yang kita lakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun