“Dhek, tahu Pancasila kan?”
“Iya kak.. Itu dasar negara Indonesia..”
“Hapal ‘kan Pancasila? Sila Ke-4 apa?”
“Emmmhh.. 1..2…3.. (sambil mulutnya bergumam-gumam tanpa suara) 4.. iya kak, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan..”
“Pinterrrr…”
_______________________ satu jam kemudian _____________________________________
“Mohon maaf Pak, boleh bertanya?”
“Oh iya, silakan mau tanya apa?”
“Bapak kerja sebagai PNS di Pemda ini, sudah berapa lama pak..?”
“Hehehe.. udah mau pensiun kok mas, jabatan saya sudah tinggi…”
“Hehehe… Menyangkut masalah Pancasila nih pak. Ngomong-ngomong bapak masih hapal gak Pancasila?”
“Hah…ummmm… Udah lupa mas.. hehehe.. maaf yaa”
______________________ satu jam kemudian ______________________________________
“Hai.. mas-mas, mbak-mbak.. bolehtanya gak? Di antara kalian siapa yang masih hapal Pancasila?”
“…(Dari lima orang pemuda ini, satu yang menunjukkan jari) saya nih..masak sih kalian Pancasila aja gak apal.. sekolah gak sih hahaha…”
“Emang sila kelima apa mas?”
“(Diam begitu lama., kemudian salah satu temannya menyahut..) Naik haji bila mampu.. :D”
“GUBRAKKKKKKKK…”
Demikian sample survey yang saya lakukan beberapa waktu lalu mengenai keberadaan dan eksistensi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang telah dirumuskan oleh para pejuang dan pejabat-pejabat jaman penjajahan dahulu. Pancasila adalah landasan idiil hukum Indonesia. Pancasila adalah ideologi tersendiri yang mencerminkan kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang mengayomi masyarakat dengan kultur dan latar belakang yang beragam. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Dalam wawancara singkat tersebut, tampak generasi masa kini sudah menampakkan diri sebagai generasi yang lupa dengan dasar negaranya. Pancasila yang (hanya) terdiri dari lima kalimat ini seolah-olah sudah bukan sesuatu sacral yang pantas untuk diketahui dan dipahami apalagi dihayati dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang menjadi kunci kerukunan antar umat beragama pun semakin ditinggalkan. Dan yang paling mutakir adalah dihapuskannya Pendidikan Pancasila pada seluruh jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi oleh pemerintah.
Kebijakan dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Sejumlah guru di beberapa daerah (Koran KOMPAS), mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong-royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid karena pelajaran Kewarganegaraan lebih menekankan aspek wacana dan hafalan. Di sisi lain, guru sulit menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme karena sulit mencari teladan atau contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diberlakukan sebelum tahun 2004 lebih berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan, kerukunan, dan keutuhan bangsa. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan saat ini lebih menekankan agar warga Negara menjadi patuh dan taat hukum, Kondisi ini, menyebabkan lunturnya semangat kebangsaan pada para pelajar, terutama berkurangnya kecintaan terhadap bangsa dan kepedulian sosial.
[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="http://kocomripat.files.wordpress.com"]
Keluhan dari guru dan pemerhati pendidikan dalam masalah ini memang sangat memprihatinkan. Pancasila adalah senjata utama untuk menangkal disintegrasi bangsa dan mencegah masuknya ideology-ideologi yang tidak sejalan dengan adat Indonesia pada umumnya seperti kekhalifahan, komunis dan liberal kapialis. Ideologi kekhalifahan bahkan belakangan ini sedang hangat diberitakan pasca gegernya gerakan Negara Islam Indonesia (NII) KW 9. Bukan rahasia lagi bahwa di Indonesia ada beberapa kelompok Islam yang menginginkan ditegakkannya syari’at islam sebagai ideologi bangsa atau ‘kasarnya’ ingin mendirikan negara Islam. Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah seperti NII yang baru-baru ini mengguncang pemberitaan publik.
Menurut beberapa sumber, Mengapa tidak ada dukungan mayoritas kuat untuk mendirikan negara Islam di Indonesia? Sebab memang tidak ada perintah konkret (jelas dan pasti) baik di dalam Al Quran maupun hadis Rasul yang mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara Islam. Oleh karena itulah ketika diskursus tentang negara Islam dilakukan umat Islam tidak pernah mencapai ijma' untuk mendirikan negara tersebut. Isu negara Islam itu lebih berwujud idealisme daripada realita.
Pembentukan negara Islam di Indonesia, justru akan menimbulkan perlawanan dari beberapa daerah yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim. Kemajemukan rakyat Indonesia yang memiliki ragam agama akan secara alamiah membendung usaha tersebut. Persoalan moral yang sering dipakai oleh kelompok tertentu untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam tidak dapat dibenarkan. Penempatan Islam sebagai satu-satunya untuk menegakkan moral justru akan menjadi kontradiktif dengan kondisi di Indonesia yang pluralistik. Masalah moral juga menjadi tanggung jawab semua agama yang berkembang di Indonesia.
Pancasila bentuk ideal bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Bentuk Negara Pancasila, menjadi faktor instrumental perwujudan masyarakat Islami, tanpa perlu mengubah negara menjadi negara Islam. Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahawa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu.
Jadi, sudah sewajarnya Pancasila harus ditegakkan dan tidak boleh ditinggalkan oleh rakyat Indonesia. Begitupun dihapuskannya Pendidikan Pancasila dari dunia edukasi negeri ini, tidak lantas mengendurkan semangat Pancasila seperti gotong royong dan sebagainya. Minimal bagi kita adalah hafal lima sila pada Pancasila. Sebagai perhormatan, sebagai pengahayatan, dan sebagai pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sehingga etika buruk yang dicerminkan dari wawancara di atas, sudah seyogyanya tidak kembali terjadi pada generasi mendatang.
Nah, sudah dibuktikan bahwa hanya Pancasila yang PALING INDONESIA, bukan kekhalifahan, bukan komunis, bukan liberal kapitalis. Sudah dibuktikan juga bahwa Telkomsel yang PALING INDONESIA, bukan yang lain. Telkomsel adalah PancaSel yang menjadi dasar dari industri telekomunikasi Indonesia. PancaSel telah melegenda dan ini dibuktikan dengan jumlah pelanggan yang lebih dari 100 juta.
“Dhek, kecil-kecil udah bawa hape… Kalau boleh tahu, adhek pake nomor apa?”
“SimPATI kak…”
“Adhek tau itu punya perusahaannya apa..?”
“Telkomsel kak..”
“..hehehe ternyata gak hanya pinter Pendidikan Pancasila, tapi adhek juga tahu Pendidikan PancaSel…”
“Apaan tuh kak Pancasel..?”
“ Sila Satu : Paling Informatif Pelayanannya. Sila Dua : Paling Murah Tarifnya. Sila Tiga : Paling Banyak Pelanggannya. Empat : Paling Lancar Sinyalnya. Lima : Paling Lengkap Fiturnya…”
Jakarta, 10 Mei 2011...
Kriiiiiiiinggg... wah Pancasel-ku ada yang nge-call nih.. ;D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H