Tiga tahun lalu aku masih bisa membuka mata setiap adzan shubuh berkumandang di musholla yang tidak dekat dengan kos-kosanku. Tiga tahun lalu membaca dua lembar Al Qur'an setiap selesai sholat fardhu adalah sebuah "kewajiban" bagi aku. Tiga tahun lalu senin kamis adalah hari berpuasa "fardhu" bagiku. Tiga tahun lalu berjamaah di musholla adalah keharusan bagiku. Dan tiga tahun lalu tiada hari tanpa kata lebih baik dari hari sebelumnya. Itu tiga tahun lalu, ketika aku berjuang untuk masa depan di Pulau Seberang.
Selama setahun itu aku masih berhemat untuk mengeluarkan uang pemberian orang tua. Selama setahun itu aku tak pernah berpikir untuk bermain-main tentang percintaan. Selama setahun itu aku selalu berhati-hati dalam melangkah dan berjalan serta memandang. Itu selama setahun ketika aku belajar bersama 113 teman-temanku dalam naungan Departemen Keuangan.
Itulah masa terbaikku selama aku hidup. Masa yang tak akan pernah kulupakan. Di masa itu pula aku rela kehilangan ‘dia'. Di masa itu pula aku menemukan penggantinya.
Namun, paska buku telah ditutup, tangan sudah tak rajin menulis. Mata sudah tak rajin membaca buku. Dan tubuh sudah harus beroperasi menjalankan tugasnya, menafkahi dan memberi makan. Semuanya berubah. Terlebih, setelah aku harus melangkah dan berpindah ke ibukota.
Siapa yang tidak tahu ibukota, lebih tepatnya kehidupan di ibukota? Kehidupan dimana semuanya ada. Tempat hiburan, makan, nonton, clubnight, penghilang stess, warung remang-remang, dan tempat2-tempatlainnya. Everything.
Niat dan langkah awalku adalah bekerja di ibukota. Pamit dengan orang tua semoga aku berhasil dan sukses, katanya : gak harus jadi orang kaya, jadilah orang yang berguna bagi agama, keluarga, masyarakat, nusa bangsa dan negara, meski sebenernya mereka tahu bayaranku cukup kalau untuk mencari predikat kaya. Aku selalu dan ingin selalu ingat orang tuaku. Wajahnya, candanya, nasihat-nasihtanya tak akan hilang dari otakku.
Namun, seiring berjalannya waktu. Bahkan aku pun terheran kenapa waktu harus berjalan, bukan berputar. Diriku seperti bukan aku. Aku adalah orang lain dari tiga tahun lalu.
Adzan shubuh mesjid yang dekat dari kos2anku hanya lagu lalu. Bahkan alarmpun cukup numpang lewat. Membaca Al Qur'an setiap habis sholat fardhu? Yang ada sehabis Tuhan memberi ujian dan cobaan. Sholat berjamaah di mesjid tak terpikir sama sekali. Puasa senin kamis? Justru makan-makanan berat nan mahal. Dan kini, tiada hari tanpa kata lebih buruk dari hari kemarin.
Dengan bayaran yang cukup, dan hiburan di mana-mana, jiwa dan ragaku telah drastis berubah. Rokok, game, shopping adalah rutinitas. Dan masa ini adalah masa aku kehilangan "dia" sekali lagi dengan tanpa pengganti.