Mohon tunggu...
Affa 88
Affa 88 Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Saat Taraf Menjadi Tarif

9 Juli 2010   01:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_189040" align="alignleft" width="227" caption="(ilustrasi : Jawa Pos)"][/caption]

Keponakan saya sedih dan tak henti-hentinya mengeluh ketika dia gagal mengikuti kakaknya yang mampu menjadi salah satu siswa di SMA favorit di kota saya. Bukan karena dia lebih buruk prestasinya, justru bisa dibilang lebih baik, namun karena ongkos pendidikan sekarang tidak bain-bain. Bayangkan saja, ketika di jaman kakaknya bersekolah, biaya SPP bulanan hanya 50 ribu rupiah, kini sekolah yang rajin menelurkan bibit-bibit unggul di universitas-universitas terbaik Indonesia itu memasang tarif mencapai 300 ribu per bulan. Dia akhirnya mengalah untuk tidak mengikuti jejak kakaknya dan mengambil sekolah menengah yang biasa-biasa saja.

Apa sebab gerangan tarif sekolah kini gila-gilaan? Kenaikan BBM, Sembako, atau...? Jawabannya adalah karena pemerintah perlahan-lahan melepaskan tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penerapan Undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan (UU tentang BHP) yang kemudian diaplikasikan oleh instansi-instansi pendidikan baik negeri maupun swasta untuk berkomersialisasi. Komersialisasi atas apa? Atas gengsi dan taraf. Ya, sekolah-sekolah berlomba untuk menobatkan instansinya sebagai Lembaga Pendidikan Bertaraf Internasional. Selain itu, pempatokan taraf internasional untuk berbagai institusi pendidikan dari sekolah dasar hingga universitas ternyata sepaket dengan kenaikan tarif. Kini, banyak universitas mempromosikan diri sebagai world class (research) university. SD, SMP, dan SMA juga gencar memamerkan gelar itu. Taraf internasional lantas menjadi senjata ampuh institusi pendidikan untuk memasang tarif internasional juga.

Kakak keponakan saya ini yang juga akan menuju jenjang perguruan tinggi juga harus terganjal untuk mengukir prestasi di universitas favorit di kota. Sebabnya sama, komersialisasi pendidikan. Gejala ini tak berhenti di situ. Seakan-akan tak cukup mengomersialkan jasa pendidikan, fasilitas pun tak luput dari sasaran bisnis. Beberapa universitas, misalnya, membuka hotel. Tak hanya kamar untuk tinggal sementara, gedung-gedung fasilitas pendidikan lain juga disewakan. Bahkan untuk kegiatan mahasiswa sendiri. Komersialisasi jasa dan fasilitas pendidikan lantas dijadikan alasan bahwa pendidikan berkualitas tidak murah. Permasalahannya adalah taraf dan tarif (internasional) dijadikan pemerintah sebagai patokan mutlak kualitas pendidikan.

Meskipun belum pasti, kakaknya sudah mewanti-wanti akan kesulitan dana dan biaya selama kuliah. Dan kemungkinan dia akan mundur kemudian mencari jalan lain atau bahkan keluar dari pendidikan.

Secara kasat mata, komersialisasi pendidikan memang merupakan permasalahan sistemik. Itu berkait dengan sistem ekonomi dan politik negara. Pakar ekonomi kerakyatan dari UGM, Drs Revrisond Baswir MBA, seperti dikutip Suara Merdeka mengamati komersialisasi pendidikan sebagai akibat dari neoliberalisme. Sistem ekonomi kapitalistik ini digenjot oleh pemerintah. Tak hanya pendidikan, sendi-sendi kehidupan lain terkena imbasnya yakni komersialisme. Gejala itu biasa disebut sebagai fundamentalisme pasar. Segala sesuatu kini diukur dengan takaran materi. Laku pendidikan bukan lagi didasari logika belajar yaitu ada pengajar dan peserta didik. Namun transaksi jasa ekonomistik. Asal punya uang, siapa pun bisa menempuh pendidikan.

Akibatnya, kewajiban esensial dari institusi pendidikan untuk menjalankan fungsi ke dalam malah dilupakan. Institusi pendidikan malah sibuk mengejar pendapatan sebesar-besarnya demi untung. Di sisi lain, kurikulum yang diterapkan cenderung menganut paradigma positivistik. Melalui kurikulum keilmuan yang diterapkan, logika kapitalistik diterapkan ke peserta didik.

Tak salah jika mayoritas pelajar, khususnya mahasiswa, menjalankan tugas belajar sekadar untuk mendapatkan pekerjaan atau bahkan menjadi orang kaya. Paradigma itu semestinya didekonstruksi. Peserta didik tak harus mengejar taraf internasional untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Di sisi lain, pemerintah tetap harus merevitalisasi tanggung jawab sebagai pengemban amanat konstitusi. Itu untuk menjamin hak pendidikan bagi setiap warga negara melalui subsidi penuh dari hasil pendapatan yang juga diperoleh dari rakyat.

Intinya, biarpun goblok asal kaya, bisa menjadi dokter, bisa mendapat gelar SE, ST, S...., dan meskipun pintar, dan punya prestasi, tapi miskin, "hanya" menjadi buruh, karyawan atau tukang...

Keponakan saya dan kakaknya menjadi contoh begitu susahnya belajar yang benar-benar belajar. Ilmu yang menjadi anugerah Tuhan untuk makhluknya begitu susah digali. Sedangkan di pihak lain, banyak mahasiswa anak pengusaha atau pejabat misalnya, tanpa belajarpun ijazah sampai di tangan. Tidak jarang para pekerja, pegawai negeri, dokter kita banyak yang kurang professional dalam mengaplikasikan ilmunya. Ini fakta.

Berawal dari taraf internasional berakhir dengan tarif komersial.

Salam KOMPASIANA, affa_

Rujukan : Koran suara merdeka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun