Mohon tunggu...
Affa 88
Affa 88 Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jikustik - Puisi

7 Mei 2010   01:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134841" align="alignleft" width="266" caption="http://lh3.ggpht.com/ohgila/SHPQUL6rsXI/AAAAAAAAAC4/sZzlu7TG0Z8/lpin%20puisi%20cinta%20copy_thumb%5B4%5D.jpg"][/caption]

aku yang pernah engkau kuatkan aku yang pernah kau bangkitkan aku yang pernah kau beri rasa saat ku terjaga hingga ku terlelap nanti selama itu aku akan selalu mengingatmu

reff: kapan lagi kutulis untukmu tulisan tulisan indahku yang dulu warna warnai dunia puisi terindahku hanya untuk mu mungkinkah kaukan kembali lagi menemaniku menulis lagi kita arungi bersama puisi terindahku hanya untukmu...

Gumam si Budi dengan suara sendu melantunkan lagu Jikustik yang melegenda. Mata memandang langit hitam yang kali ini penuh dengan bintang. Kosong dan menatap hampa membayangkan seseorang nan jauh di sana. Berharap bahwa salah satu bintang itu menyampaikan pesan si Budi yang tersembunyi untuknya. Seseorang yang dulu pernah menjadi teman akrab bahkan lebih kini terendap. Seseorang yang selalu menginspirasi setiap jengkal langkah hidupnya, setiap hembus nafasnya, setiap suap sarapannya dan kini dia seperti hilang.

Satu tetes air jatuh tepat di pipi si Budi. Malam itu tidaklah ada awan, pun juga tidak ada orang menyemprot tanaman. Terusap oleh tangan yang luntur keringat. Ini air matanya. Ini air mata kerinduankah, kesedihankah, kegembiraankah atau apakah?

Tuhan mendengar keluhan si Budi. Bintang menyampaikan salam si Budi. Dia di sana tengah tersenyum bahagia, hatinya bersinar. Dia mendengar nyanyian itu. Lirik yang pernah menjadi soundtrack asmara mereka. Alunan akustik dan suara merdu Pongky telah menyihirnya menjadi insopirator.

Senyum dan tetesan air mata si Budi mengucur. Udara malam tak lagi dingin dan panas. Sejuk, sesejuk kebun halaman yang pernah menjadi latar mereka merajut cinta. Angin sedikit menghempaskan rambut. Dan kemudian tenang.

Kemanakah dia pergi? Apa kabar dia?

Dia tidak pergi kemana-mana, dia pun baik-baik saja. Dia masih di tempatnya yang dulu. Dia masih tidur di ranjangnya yang dulu. Dia masih berjalan dari jalannya yang dulu. Dan dia masih seperti dulu. Hanya, kini dia tak lagi dekat. Dan karena sebab si Budi semakin jauh darinya. Si Budi sadari itu.

Si Budi ingin dia menemani menulis di sini. Si Budi ingin menulis tentangnya. Si Budi ingin menulis tentang mereka. Si Budi mengais sebuah rindu untuknya. Si Budi tak harus dengannya. Si Budi hanya ingin dekat untuknya. Si Budi dan sebuah puisinya.

I look for u….in the crowd in the street, I look for u….in the rain drops at my window, I look for u….in the snow flakes, that are slowly melting, I look for u….on the sky, in the star I’m watching, I look for u….but I can’t find you! I can’t hardly wait for a sign, A sign of calling To soothe my longing for you. I look for you in my dreams to confide to me And only the night brings you closer I look for you deep in my soul Where the longing for you smiles to me And the calling becomes one with hope Of the moment when I’ll take you in my arms. The search is long and waiting is hard The hipe dies slowly, Like a tear that falls from my sad eyes Where else should I look for you? Ask your soul made of ice Listen to my silent soul And maybe I’ll find an answer. affa_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun