Sabtu 2 Maret 2024, Mahasiswa Inbound program Pertukaran Mahasiswa Merdeka batch 4 Universitas Airlangga melakukan kunjungan ke Kabupaten  Mojekerto, Jawa Timur. Kunjungan ini merupakan bagian dari kegiatan Modul Nusantara  Kebhinekan ketiga Program PMM 4 UNAIR. Tujuan nya untuk mengeksplor berbagai peninggalan Kerajaan Majapahit khusunya di daerah yang dulunya merupakan ibukota Kerajaan Majapahit yaitu daerah Trowulan.Â
Kami dari kelompok Daha yang merupakan bagian dari kelompok modul nusantara Sodara Team berkesempatan untuk mengulas mengenai Kolam Segaran yaitu fungsi irigasi dan alat penunjang irigasi di zaman Kerajaan Majapahit Kawasan Cagar Budaya Trowulan memiliki banyak situs di antaranya Candi Brahu, Candi Wringin Lawang, Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Kedaton, Candi Gentong, Makam Putri Cempa, Situs Lantai Segi Enam Sentonorejo, Makam Panjang, Siti Inggil, Candi Minak Jinggo, Situs Umpak Sentonorejo. Selain situs percandian tersebut juga ditemukan Kolam Segaran yang diduga kuat sebagai pusat irigasi untuk mengairi lahan pertanian Kerajaan Majapahit. Dengan ditemukannya berbagai situs candi tersebut seakan menguak kembali tabir sejarah dari Kerajaan Majapahit (Soeroso, 1983).
Kolam Segaran ini tepatnya berada di Dusun Trowulan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kab.Mojekerto.Kolam ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dengan ukuran kolam yaitu: panjang 375 meter, lebar 175 meter, dan lebar dinding 1,6 meter.Untuk pembuatan kolam nya sendiri dibangun dengan batu bata merah yang disusun sedemikian rupa dan direkatakan dengan teknik bata kosok (gosok) yaitu teknik menggosokan batu bata satu sama lain dengan diberi sedikit air.Â
Kolam Segaran merupakan kolam kuno buatan manusia terbesar di Indonesia yang ditemukan oleh Maclaine Pont pada tahun 1926, beliau ini seorang insinyur di badang gula namun sangat tertarik pada bidang arkeologi.Menurut para ahli arkeologi kolam besar ini berfungsi sebagai waduk untuk membendung dan menampung air, selain itu kolam Segaran diyakini sebagai kolam renang kerajaan yang digunakan oleh raja, keluarganya, dan juga para bangsawan Majapahit. Selain sebagai tempat rekreasi dan olahraga renang, kolam tersebut juga memiliki makna simbolis dan kemungkinan digunakan untuk upacara keagamaan atau upacara-upacara istana lainnya.
Kolam Segaran ini juga memiliki banyak kontibusi dalam kegiatan irigasi pada masa Majapahit. Kolam segaran biasanya dibangun di wilayah pegunungan atau dataran tinggi di sekitar mata air. Air dari sumber-sumber alami ini dialirkan ke dalam kolam segaran melalui saluran-saluran atau sistem kanal yang dibangun secara khusus. Fungsi utama kolam segaran adalah sebagai tempat penyimpanan air. Air hujan yang terkumpul di daerah pegunungan atau dataran tinggi disalurkan ke dalam kolam segaran. Kolam ini memiliki kapasitas yang cukup besar untuk menyimpan air selama musim kemarau sehingga dapat digunakan untuk irigasi selama musim tanam.Â
Selain itu, Air yang tersimpan di kolam segaran kemudian diatur alirannya menuju saluran-saluran irigasi yang mengalir ke sawah-sawah di dataran rendah. Pengaturan aliran air ini dilakukan melalui sistem kanal atau saluran air yang terhubung dengan kolam segaran. Air yang mengalir dari kolam segaran dibagi secara adil di antara para petani yang memiliki sawah di wilayah yang dilayani oleh sistem irigasi tersebut. Sistem pembagian air ini sering kali didasarkan pada prinsip-prinsip adat dan hukum lokal yang diatur oleh pemerintah setempat.
Selain penemuan kolam segaran sebagai bukti keberhasilan irigasi di zaman Kerajaan Majapahit, ditemukan juga beberapa alat penunjang irigasi lainnya yaitu jambangan air yang merupakan wadah yang bagian dasarnya berbentuk setengah bola dan bagian atasnya berbentuk silinder dan bermotif kelopak bunga teratai, tumpal, dan tumbuh-tumbuhan.Bahan dasarnya tanah liat dibuat dengan teknik tekan gores dan ukir. Kemudian juga ditemukan Jaladwara yaitu pintu air/pancuran air yang digunakan di candi atau pemandian kuno (petirtaan) untuk menyalurkan air.Bentuk Jaladwara yaitu makara (ikan yang berbelalai), guci yang dibawah Kinari, padma, garuda, kepala naga, arca wanita, dan lainnya. Bentuk-bentuk tersebut mempunyai arti sebagai lambang kesucian dan kesuburan.
Juga ditemukan Pipa kuno peninggalan Majapahit yang terbuat dari terakota. Pipa ini berbentuk silinder berdiameter sekitar 15 cm dengan panjang sekitar 50 cm. Sejauh ini, terdapat dua bentuk pipa kuno yang ditemukan para ahli. Yakni, lurus dan berbentuk menyerupai huruf T dengan ujung yang melengkung. Benda cagar budaya satu ini ditemukan tersebar di wilayah Trowulan. Pipa ini ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada periode tahun 1924-1980. Tersebar di wilayah Trowulan. Tidak spesifik di satu titik atau desa tertentu. Total ada sekitar 20 pipa yang diamankan di Museum Majapahit. Salah satu peran terakota dalam konteks irigasi pada masa Majapahit adalah sebagai material untuk membuat pipa atau saluran air yang digunakan dalam sistem irigasi.Â
Pipa-pipa terakota ini dapat digunakan untuk mengalirkan air dari sumber-sumber alami seperti mata air atau kolam segaran ke area pertanian atau sawah. Penggunaan terakota dalam sistem irigasi membantu memastikan kelancaran aliran air menuju tanaman yang membutuhkannya. Selain itu, terakota juga bisa digunakan untuk membuat pelat pembatas atau pintu air dalam sistem pengaturan aliran air. Hal ini penting untuk mengontrol volume dan arus air yang mengalir ke setiap bagian sawah atau ladang. Â
Meskipun terakota bukanlah bagian utama dari sistem irigasi, penggunaannya dalam pembangunan infrastruktur irigasi menunjukkan tingkat keahlian teknis dan perencanaan yang maju pada masa Majapahit. Penggunaan material seperti terakota dalam pembangunan saluran irigasi membantu meningkatkan efisiensi dan daya tahan sistem irigasi, yang pada gilirannya mendukung pertanian yang berkelanjutan dan kemakmuran masyarakat pada masa tersebut. Penemuan alat penunjang irigasi ini dapat kalian lihat langsung di Museum Trowulan.
Ada juga penemuan di Museum Trowulan yang sangat memiliki sejarah yang menarik, yang bernama Samudramanthana. Samudramanthana, dalam mitologi Hindu, merupakan kisah pengadukan samudra oleh para dewa dan asura untuk menghasilkan amerta, eliksir keabadian. Meskipun kisah ini berasal dari mitologi, konsep pengadukan atau pencarian kekayaan dari samudra memiliki keterkaitan dengan praktik hidrologi yang digunakan dalam pembangunan sistem irigasi. Pada masa Majapahit, sistem irigasi sangat penting untuk mengatur dan mengelola air bagi pertanian, terutama di daerah yang memiliki musim kering yang panjang. Perpaduan antara konsep Samudramanthana dengan sistem irigasi pada masa Majapahit dapat dilihat dalam upaya untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya air yang melimpah agar dapat digunakan untuk pertanian secara efektif.