Mohon tunggu...
Afdhil Mubaroq
Afdhil Mubaroq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Andalas

Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mitigasi Ancaman Kedaulatan Terhadap Konflik Tumpang Tindih yang Membuat Laut China Selatan Mendidih

31 Mei 2024   13:55 Diperbarui: 31 Mei 2024   14:30 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di kawasan Laut China Selatan (LCS) semakin memanas akhir-akhir ini. Laut China Selatan adalah  kawasan perairan yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Di samping itu, kawasan Laut China Selatan merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari berbagai negeri yang terletak di sekitarnya. Setiap tahunnya lebih dari 40.000 Kapal melintasi Laut China Selatan. Dengan letaknya yang sangat strategis dan memiliki berbagai potensi SDA membuat banyak negara pantai mengklaim hak kepemilikan atas suatu kawasan di wilayah tersebut, baik dari aspek wilayah ataupun dari fitur-fitur (pulau/karang) sebagai wilayahnya. Negara-negara yang terlibat dalam konflik tumpang tindih ini yaitu China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia, negara-negara ini bersikukuh untuk mempertahankan wilayah yang diklaimnya tersebut.

Terjadinya konflik yang berkepanjangan membuat wilayah LCS dijuluki sebagai destined for confligt atau jika diterjemahkan artinya ditakdirkan sebagai wilayah penuh konflik, hal ini memang benar adanya karena hingga kini wilayah LCS masih menjadi arena konflik bagi negara-negara yang berkepentingan. Negara yang paling berambisi untuk menguasai LCS adalah China. Pada 28 Agustus 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis Peta Standar China Edisi 2023, peta baru yang dirilis China tersebut menegaskan bahwa mereka memperluas wilayah teritorial yang diserahkannya kepada PBB pada tahun 2009 yang dikenal dengan sebutan Nine-dash line, tetapi kini diperluas menjadi Ten-dash line yang melingkar sejauh 1.500 km yang berarti bahwa negeri tirai bambu tersebut mengklaim hak kepemilikan hingga 90% wilayah LCS. Sehingga klaim tersebut menuai reaksi keras dari berbagai negara di kawasan tersebut. Ten-dash line ini memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei, hingga perairan Indonesia.

Jika kondisi tersebut tidak kunjung selesai dan tetap dibiarkan, maka bisa saja Ten-dash line akan menjadi Elevan-dash line dan seterusnya, tentu saja hal tersebut akan menimbulkan ancaman kedaulatan terhadap Indonesia, karena semakin memepet wilayah perairan Indonesia dan hal tersebut juga bertentangan dengan Konvensi PBB tentang hukum laut atau dikenal dengan United Nation Convention Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982. Lalu bagaimana tindakan yang seharusnya diambil oleh Indonesia. Dalam menyikapi hal tersebut pemerintah Indonesia bersama ASEAN telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi ketegangan yang terjadi di LCS, seperti diplomasi multilateral melalui ASEAN, pendekatan politik netral, diplomasi perdamaian berdasarkan ASEAN way, dan masih banyak lainnya. Namun hal tersebut hanya berlangsung sementara saja dan sering kali terulang, seperti pada 30 April 2024 saat kapal penjaga pantai Filipina ditabrak dan diserang dengan meriam air saat berpatroli di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.

Tindakan agresif China ini akan menambah ketegangan di LCS. Hal ini membuktikan bahwa besar kemungkinan suatu saat China akan mulai memprovokasi ZEE Indonesia, maka dari itu Indonesia harus melakukan upaya yang lebih ekstra untuk memperkuat pengawasan, keamanan, dan tetap mengutamakan jalur diplomasi, karena seringkali pada saat dilakukan pendekatan dengan cara “militer” seperti mengirim kapal perang ke dekat area konflik justru cenderung menaikkan tensi ketegangan di LCS, sehingga hal tersebut berpotensi memperbesar konflik dan menimbulkan perang terbuka di wilayah LCS. Kita tahu bahwa klaim sepihak China tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melanggar UNCLOS 1982, maka untuk melindungi wilayah kedaulatan NKRI, Indonesia harus mengambil sikap dan mencari solusi akan hal tersebut.

Setidaknya ada tiga strategi ataupun solusi yang dapat Indonesia lakukan dalam memitigasi ancaman kedaulatan terhadap konflik tumpang tindih di Laut China Selatan, pertama memperkuat pertahanan Indonesia dengan menambah anggaran pertahanan, kedua memaksimalkan dan memodernisasi sistem intelijen negara terutama untuk keamanan aspek laut, ketiga tetap melakukan upaya diplomasi sekaligus koordinasi yang baik, seperti mulai mendorog lagi terealisasinya code of conduct dan lebih rutin melakukan latihan militer bersama anggota ASEAN dengan mendorong keberlanjutan ASEX (ASEAN Solidarity Exercise). Upaya tersebut akan berdampak besar dalam memitigasi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia akibat konflik di Laut China Selatan.

Dengan menambah anggaran pertahanan Indonesia yang saat ini berkisar 0,8% dari PDB kemudian ditambah minimal 0,2% lagi, maka akan membuat anggaran militer Indonesia menjadi 1% dari PDB dan hal tersebut cukup ideal untuk Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Dengan anggaran yang cukup maka Indonesia bisa melakukan banyak hal terutama dalam mengatasi isu kedaulatan di LCS, Indonesia bisa memodernisasi alutsista terutama matra laut seperti menambah jumlah armada kapal selam, menambah fasilitas militer di Kota Ranai di Natuna dengan membuat stasiun atau pangkalan untuk titik kumpul anggota guna mengamankan perbatasan Indonesia di LCS, dan menambah peluru kendali (rudal) di sekitar area-area terluar Indonesia seperti di Pulau Natuna. Diharapkan dengan segeranya Indonesia mengakuisisi rudal Khan yang memiliki jangkauan 280-360 KM dan menempatkan sebagian di Pulau Natuna maka Indonesia setidaknya bisa mengawasi dan menjangkau sasaran hingga luar ZEE.

Selain menambah anggaran pertahanan, memaksimalkan dan memodernisasi sistem intelijen merupakan hal yang sangat diperlukan dalam mengawasi dan mempertahankan kedaulatan Indonesia akibat konflik yang terjadi di LCS. Sistem intelijen yang mumpuni sangat diperlukan Indonesia, sistem pengintaian yang dimiliki Indonesia masih sangat lemah. Hal ini dibuktikan pada peristiwa tahun 2021 dan 2022, dimana ditemukannya drone pengintai bawah laut di Sulawesi Selatan, Selat Malaka, Nusa Tenggara Timur dan wilayah Indonesia lainnya yang diduga milik China, drone tersebut malah ditemukan oleh nelayan, bukan oleh pihak keamanan negara. Dalam hal ini Indonesia harus memaksimalkan serta memodernisasi dengan cara menambah radar atau sistem pengintai bawah laut untuk mendeteksi semua pergerakan yang mencurigakan serta selalu menyiagakan kapal selam di sekitar wilayah Laut Natuna Utara.

Dua opsi diatas merupakan upaya Indonesia untuk memberikan efek gentar dan sikap serius Indonesia kepada negara-negara yang ingin memata-matai dan mengganggu kedaulatan Indonesia. Namun terdapat opsi ketiga yaitu diplomasi, upaya diplomasi merupakan solusi yang memiliki peluang paling besar dan dapat mengurangi resiko konflik yang lebih besar dalam menyelesaikan konflik tumpang tindih di LCS. Sebagai anggota ASEAN yang menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga sampai negara diluar kawasan, Indonesia dapat berperan besar dalam menjembatani dialog dan memperkuat kerjasama dalam memitigasi ancaman konflik kedaulatan yang terjadi di LCS. Indonesia harus bersikap proaktif dalam hal ini, terutama upaya negosiasi untuk mendapatkan kepercayaan agar mendorong untuk segera mempercepat penyelesaian code of conduct atau kode etik di LCS, selain itu mendorong keberlanjutan ASEX-01 N (ASEAN Solidarity Exercise Natuna) yang telah dilakukan pada 19 Agustus 2023, dimana kegiatan ASEX tersebut selain menjadi ajang mempererat solidaritas sesama anggota ASEAN tetapi juga mempertegas dan menunjukkan bahwa wilayah LCS merupakan kawasan yang tidak dapat diklaim seenaknya oleh negara-negara yang berkepentingan.

Dalam menyikapi konflik yang saat ini terjadi di Laut China selatan harus dengan penuh kehati-hatian dan pertimbangan yang matang, tidak semua konflik harus diselesaikan dengan “kekerasan” justru mencari kawan dan menjalin pertemanan di LCS merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Kita memang harus selalu waspada dan selalu siap akan ancaman kedaulatan dengan menyiagakan sarana-sarana pendukung seperti menambah dan memodernisasi alutsista untuk menunjukkan bahwa kita tidak main-main dengan isu kedaulatan, selalu waspada dan melakukan pengawasan dengan sistem intelijen juga merupakan upaya yang sangat penting dalam mencegah hal-hal yang dapat mengancam kedaulatan NKRI, namun saat ini kekuatan diplomasi serta negosiasi merupakan hal yang perlu diutamakan dalam penyelesaian suatu konflik. Membuka dialog dan mencari solusi bersama terhadap suatu permasalahan, dalam hal ini LCS merupakan wilayah yang sudah bertahun-tahun disengketakan akibat klaim tumpang tindih seharusnya diselesaikan dengan diplomasi agar resiko perang terbuka dapat diminimalisir, dengan mendorong kembali terealisasinya code of conduct atau kode etik di LCS akan meredam ketegangan dan dengan dilakukannya ASEX secara terus menerus akan lebih menegaskan kepada negara-negara kawasan bahwa wilayah LCS adalah milik beberapa negara dan tidak dapat diklaim secara sepihak oleh negara manapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun