Perempuan dan alam, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki fungsi yang sama, yakni memproduksi kehidupan. Maria Mies (1986) menyatakan bahwa perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam tetapi mereka juga membuat sesuatu tumbuh. Interaksi antara perempuan dan alam, menurut Mies, bersifat resiprokal atau hubungan timbal balik. Mereka meyakini bahwa sebagaimana perempuan yang menjadi penopang seluruh keluarga, keberadaan alam juga memiliki peran amat penting bagi kelanjutan kehidupan. Bagaikan tubuh perempuan yang harus dijaga, sebagai penopang hidup manusia alam harus dijaga kelestariannya. Sebagaimana sebuah slogan, “Kalau ingin hidup baik dan berkelanjutan, masyarakat harus menghargai alam sebagai Ibu Bumi.”
Diantara sumber daya alam yang sangat dibutuhkan perempuan dan harus dijaga kelestariannya adalah air. Mengenai kebutuhan perempuan akan air ini, beberapa hasil studi yang dilakukan oleh lembaga internasional seperti UNDP, World Bank, dan lembaga sejenisnya menyatakan bahwa perempuan menempatkan air bersih serta sanitasi dalam urutan prioritas kebutuhan ketika mereka mendefinisikan hidup yang sehat dan bermartabat.
Hal ini tidaklah mengherankan. Karena perempuan (sebagai ibu) akan menghabiskan waktu rata-rata empat hingga lima jam setiap hari untuk berinteraksi dengan air. Bahkan di beberapa wilayah yang jauh dari sumber air, perempuan menghabiskan waktu lebih dari lima jam untuk mengumpulkan air serta empat jam untuk menyediakan makanan. Ini disebabkan karena sistem budaya yang patriarkhi menempatkan perempuan sebagai yang mengurus ketersediaan air minum, makanan, air untuk mandi, mencuci dan seterusnya. Oleh karena itu, ketersediaan sumber air bersih akan sangat membantu dan mempermudah beban kehidupan masyarakat khususnya perempuan.
Sebaliknya, kelangkaan dan ketiadaan air bersih dapat berakibat bencana, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Baru-baru ini organisasi WaterAid yang menganalisis data dari pusat penelitian Seattle-based Institute of health Metrics, merilis sebuah studi bahwa penularan penyakit melalui air kotor dan sanitasi buruk adalah pembunuh perempuan kelima di seluruh dunia. Sekitar 800.000 perempuan meninggal dunia setiap tahunnya karena tidak memiliki akses ke toilet yang bersih. Lebih dari 1 miliar perempuan atau satu dari tiga perempuan di dunia tidak memiliki akses aman terhadap toilet pribadi. Sedangkan sekitar 370 perempuan atau satu dari sepuluh perempuan tidak memiliki akses terhadap air bersih.
Terhadap anak-anak, kelangkaan air bersih dan sanitasi sehat menyebabkan dunia kehilangan 1,8 juta anak setiap tahunnya akibat terserang diare. Sedangkan di Indonesia, menurut survey “Levels and Trends in Child Mortality” tahun 2014, lebih dari 370 balita meninggal setiap harinya karena penyakit yang disebabkan oleh air ini.
Banyak kerugian yang terpaksa harus diderita masyarakat terutama oleh perempuan dan anak akibat ketiadaan air bersih dan sanitasi sehat ini. Apalagi konstruksi sosial budaya mayoritas masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab membesarkan dan merawat anak-anak. Bilamana terdapat anak atau salah satu anggota keluarga yang sakit atau bahkan meninggal akibat sanitasi buruk ini, tentu beban psikologis perempuan akan semakin bertambah.
Selain telah merenggut hak untuk sehat, buruknya kondisi air dan sanitasi yang terjadi juga telah merampas hak perempuan dan anak untuk mendapatkan pendidikan dan penghasilan. Karena, dengan kondisi kesehatan yang buruk secara otomatis kualitas seseorang juga akan berkurang.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, kebutuhan akan air bersih dan sanitasi sehat, tidak dapat dipungkiri, telah menjadi satu isu penting untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia, terutama bagi kaum perempuan yang berada di daerah tertinggal dan atau dekat dengan kemiskinan. Karenanya, ketersediaan air bersih dan sanitasi sehat telah diangkat menjadi salah satu poin utama dalam upaya mencapai target MDGs 2015 dan Universal acces tahun 2019 oleh Pemerintah Indonesia.
Upaya ini tentu tidak bisa serta merta menjadi beban pemerintah saja, tetapi harus menjadi sinergi dan kesamaan partisipasi antara pria dan perempuan sebagai agen perubahan dalam proses ekonomi, sosial, politik yang meliputi kesamaan hak untuk menyuarakan keinginan dan kepentingannya, juga kesamaan hak untuk terlibat dalam perencanaan dan penentuan kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupannya.
Ini artinya, diperlukan pengelolaan sumber daya air terpadu dengan pendekatan manajemen strategis yang mempertimbangkan keberagaman dan saling ketergantungan di antara para pengguna sumber daya air dalam konteks sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya. Ini sejalan dengan salah satu dari prinsip Dublin yang dideklarasikan di Konferensi Internasional Air dan Lingkungan di Dublin, Januari 1992, yakni: “Perempuan berperan penting dalam penyediaan, pengelolaan dan pelestarian sumber daya air (Women play a central part in the provision, management and safeguarding of water)”.
Prinsip ini menekankan pada pemberdayaan perempuan dan keikutsertaannya secara keseluruhan dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam Agenda 21, hasil konferensi PBB mengenai lingkungan di Rio de Janeiro tahun 1992 juga disebutkan, pengelolaan terpadu pada wilayah sungai dilakukan berdasarkan pendekatan partisipasi publik yang melibatkan perempuan, generasi muda, dan komunitas lokal dalam penetapan kebijakan pengelolaan SDA. Program Water for Life Decade yang dicanangkan PBB menyebutkan, perempuan adalah pemeran utama dalam penyediaan, pengelolaan dan pelestarian SDA.
Begitu juga dengan UN-Water (2005), dalam kaitannya dengan program Water for Women, merekomendasi beberapa aksi antara lain: melibatkan perempuan dan pria dalam penentuan kebijakan; memperhatikan pribadi; dan keamanan untuk perempuan terkait dengan lokasi dan desain fasilitas sanitasi; meningkatkan akses terhadap air untuk semua; dan mendorong kesamaan kesempatan antara pria dan perempuan dalam program pelatihan dan pendidikan pengelolaan SDA dan sanitasi.
Perempuan dengan bekal yang cukup dalam pengelolaan air akan lebih meningkatkan kualitas dari air yang ada dan berperan dalam upaya penghematan penggunaan air domestik sebagai usaha konservasi air. Standar operasional basis partisipasi perempuan dalam pengelolaan air dapat memberikan kontribusi positif dalam keberlanjutan sumber daya air.
Last but not least, dekatnya perempuan dengan air memang mengharuskan perempuan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya air. Pemahamannya terhadap air, menurut Mies, juga jauh lebih baik dibanding pria. Ini karena perempuan tidak hanya bekerja dekat dengan alam, tetapi mereka adalah ‘alam’ itu sendiri, mereka melahirkan dan merawat anak-anak sebagaimana pekerjaan alam. Kedekatan perempuan dengan alam juga telah diabadikan dalam literature agama Islam melalui prosesi Sa’I dalam ibadah haji. Sa’I adalah replika perjuangan Siti Hajar bolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukit Shofa dan Marwa untuk mencari air demi kehidupan bayinya, Ismail. Dengan kegigihannya tersebut, Tuhan menganugerahkan kepadanya mata air yang muncul di dekat kaki Ismail, yang sekarang dikenal dengan sumur Zamzam. Semoga dengan cerita ini, kesungguhan dan perjuangan perempuan Indonesia untuk menjaga kelestarian air dan keterlibatan mereka dalam setiap proses pengelolaan sumber daya air akan mendapatkan hasil yang maksimal. Semoga…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H