Mohon tunggu...
Fatah Ismail
Fatah Ismail Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Undergraduate writer. Dikenal hanya untuk dilupakan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mereka Disebut Anak Nongkrong

27 November 2016   20:14 Diperbarui: 27 November 2016   20:24 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda sedang berpergian, cobalah untuk sekedar mengamati berapa banyak warung kopi yang bisa ditemui. Saya sendiri mencoba mengamati hal tersebut. Bahkan ketika saya ditugaskan ibu untuk beli telur di warung sembako yang jaraknya dari rumah tidak sampai satu kilo, bayangkan, sudah tiga warkop saya lewati. Sudah bukan hal baru menjamurnya warkop di sekitar kita. Para owner warkop tersebut pasti jeli melihat kondisi pemuda kita yang menjadikan nongkrong sebagai hobi.

Kita tahu, bahwa Indonesia memang memiliki relasi budaya yang kuat dengan minuman satu ini. Kopi. Tengok saja kebiasaan kita. Mau kerja, minum kopi dulu. Mau narik becak, minum kopi dulu. Bahkan ada yang mau berangkat sekolah, tak lupa ngopi dulu. Seolah-olah semboyan "coffe before life" adalah kata-kata asli bangsa kita. Tapi konteks yang saya maksud memiliki relasi kuat dengan budaya kita adalah meminum kopi, bukan nongkrong sambil ngopi, yang sudah jadi kebiasaan pemuda saat ini. Dan yang jadi persoalan adalah nongkrongnya, bukan kopinya. Sekalipun keduanya berhubungan.

Budaya nongkrong yang sejatinya bukan budaya asli kita ini, telah menjauhkan pemuda kita dari nilai-nilai kerja keras dan semangat perjuangan. Dan lucunya para pemuda alias anak nongkrong ini malah berdalih bahwa ngopi itu meningkatkan kebersaman lah, memperluas jaringan lah, apalah, sehingga membenarkan kegiatan nongkrong tersebut sebagai sesuatu yang bermanfaat. Meningkatkan kebersamaan bagaimana, jika ketika nongkrong hanya memandangi ponselnya masing-masing. Memperluas jaringan bagaimana, bila nongkrong hanya dengan gengnya sendiri, atau dengan pacarnya sendiri. Yang ada, anak nongkrong tersebut jadi terbiasa bermalas-malasan, hidup santai tanpa persaingan, dan hilangnya etos kerja dalam diri mereka. Mereka bisa nongkrong berjam-jam tanpa berpikir bahwa waktu dalam hidupnya terus berkurang. Sudah waktu habis, uang habis, tapi yang didapat? NIHIL. Nol besar.

Sudahlah, tidak ada alasan yang membenarkan bahwa nongkrong itu memiliki faedah. Tidak ada gunanya. Dengan tamda kutip, jika kita membiasakan nongkrong setiap hari. Tentu salah, jika menjadikan nongkrong sebagai hobi. Nongkrong boleh saja, tapi ingat waktunya. Mungkin saat kita penat setelah berhari-hari kerja atau sekolah, bersantai sedikit boleh lah. Atau mungkin ketika kita ingin reuni dengan teman lama, melepas rindu yang ada, nongkrong bisa jadi solusinya.

Pokok yang perlu diingat, ada waktu dimana kita perlu menikmati "coffe break" agar tidak stress. Tapi setelah itu, jangan lupa kembali fokus ke dunia kita dan berlari kembali mengejar sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun