Mohon tunggu...
Afandri Adya
Afandri Adya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Afandri Adya, penulis lepas yang juga aktif di dua organisasi nirlaba : SCALA Institute dan SCALA Foundation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meritokrasi Dalam Kultur Masyarakat Indonesia

5 September 2013   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19 2814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meritokrasi di kemiliteran, sama seperti halnya yang terjadi di pemerintahan. Orang-orang keturunan China masih dibatasi untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Menurut sosiolog Mochtar Naim, hal ini dikarenakan kecenderungan para priyayi Jawa yang membagi daerah kekuasaan politik ke tangan mereka, dan urusan bisnis kepada kaum Tionghoa. Pada masa Kesultanan Mataram, elit-elit Jawa selalu memandang rendah kalangan saudagar, yang menurut mereka sering melakukan kecurangan dan tindak penipuan. Oleh karenanya menjadi abdi (dalam hal ini sebagai PNS) atau prajurit, merupakan pekerjaan idaman yang dicita-citakan banyak kawula Jawa. Tradisi semacam ini masih terus berlanjut hingga sekarang, yang berakibat dominannya orang-orang Jawa di dunia militer dan pemerintahan.

Untuk jabatan strategis dalam profesi ketentaraan, faktor kedekatan dengan sang penguasa tentu memegang peranan cukup penting. Meski meritokrasi dalam hal kepangkatan telah lama diterapkan, namun hal itu hanya berlaku hingga jenjang panglima Kodam. Untuk posisi panglima TNI atau kepala staf, jamak diberikan kepada orang-orang dekat presiden. Pada masa Soeharto, posisi komandan TNI hanya eksklusif milik Angkatan Darat. Dan mereka itu biasanya merupakan orang-orang di bawah lutut penguasa, yang sebelumnya pernah menjadi asuhan atau ajudan presiden. Diskriminasi etnis dalam penunjukan komandan militer juga masih kentara hingga saat ini. Suku-suku yang pernah memberontak, seperti Aceh, Minangkabau, atau Minahasa, sebisa mungkin dihambat untuk menduduki posisi puncak. Hal ini untuk meminimalisir penggalangan kekuatan yang bisa menghancurkan kredibilitas penguasa.

Di dunia bisnis, sistem meritokrasi juga berjalan tertatih-tatih. Hal ini terlihat dari pencapaian perusahaan-perusahaan Indonesia diantara perusahaan lainnya di dunia. Dari daftar Fortune Global 500 -- yang berisi 500 perusahaan dunia pencetak penjualan terbesar, Indonesia hanya menempatkan satu wakilnya : Pertamina. Sedangkan BUMN-BUMN lainnya, seperti PLN, Telkom, dan Bank Mandiri, belum mampu menghasilkan omzet yang memuaskan. Melihat hasil tersebut, tentu ada yang salah dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan negara. Tanri Abeng dalam bukunya “Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi Makro” mengatakan, bahwa mismanajemen di BUMN disebabkan tidak adanya meritokrasi dalam pemilihan pucuk pimpinan. Seperti halnya dalam penunjukan direksi perusahaan, yang hanya berdasarkan like and dislike pejabat pemerintah -- bukan melalui uji kepatutan dan kepantasan.

Di perusahaan-perusahaan swasta keadaannya jauh lebih baik, meskipun tidak seluruhnya menerapkan merit system. Beberapa perusahaan besar terutama yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, telah melakukan perekrutan pegawai secara profesional. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan keluarga (family business owner), masih banyak yang menempatkan kerabat dekatnya di posisi-posisi kunci. Pada masa Orde Baru dan mungkin pula hingga saat ini, mayoritas perusahaan swasta yang dikendalikan orang Tionghoa mengambil karyawan-karyawan puncak (middle-up management) dari kalangan mereka. Sebagian karena kesamaan marga dan kepercayaan, dan sebagian lagi karena ingin menjaga rahasia perusahaan. Namun begitu hal ini tidak berlaku pada kalangan Tionghoa saja. Orang-orang keturunan India ataupun kaum Bugis dan Minangkabau, juga melakukan tipikal yang sama. Sehingga banyak perusahaan swasta yang semacam ini, tak mampu bersaing dihadapan perusahaan-perusahaan asing. Krisis moneter 1998, menguak kebobrokan banyak perusahaan keluarga yang kemudian mengantarkan mereka ke jurang kebangkrutan.

Kebudayaan, termasuk di dalamnya seni dan olah raga, mungkin satu-satunya bidang yang telah menjalankan sistem kepantasan dengan baik. Di negeri ini, hanya orang-orang berbakat-lah yang bisa sukses menjadi atlet, penyanyi, ataupun bintang film. Meskipun ada beberapa anak pejabat yang tampil ke muka, namun hal itu murni karena talenta mereka. Tak ada satupun atlet atau seniman yang berhasil karena intervensi tangan penguasa.

Hal ini tentu berlawanan dengan keadaan di negara-negara totaliter, dimana para seniman harus berkreasi sesuai doktrin penguasa. Di negara-negara tersebut, para seniman yang berseni di luar pakem penguasa, akan dilarang atau dipenjarakan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia pernah merasakan hal seperti itu. Dimana Soekarno melarang dipentaskannya musik ngak-ngik-ngok (jenis musik rock and roll), yang dianggapnya sebagai musik kaum kapitalis. Memasuki Orde Baru terus ke zaman Reformasi, proses meritokrasi di bidang kebudayaan berjalan dengan baik. Pembatasan terhadap aliran musik tertentu ditiadakan. Dan semua anak negeri, bisa berkreasi sesuai kehendak mereka. Akibatnya negeri ini berlimpah karya-karya seni bermutu. Hampir sebagian besar karya-karya tersebut laku di pasaran. Dan mereka-pun kemudian banyak yang kaya mendadak.

Berkat sistem kepantasan itu pula-lah, di bidang olah raga terutama bulu tangkis, Indonesia bisa merajai berbagai turnamen. Malahan di kejuaraan bergengsi Thomas Cup, Indonesia menjadi negara terbanyak yang berhasil menggondol piala. Selain cabang bulu tangkis, prestasi Indonesia di dunia tinju patut pula untuk diapresiasi. Seperti halnya atlet bulu tangkis, beberapa petinju nasional yang hebat justru datang dari kalangan minoritas. Disamping talenta, mereka bisa berprestasi tentu karena adanya kesempatan yang diberikan secara fair.

Jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi sepenuh hati, maka impian untuk menjadi bangsa besar pada tahun 2030 akan mudah terwujud. Semoga !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun