Mohon tunggu...
Afandri Adya
Afandri Adya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Afandri Adya, penulis lepas yang juga aktif di dua organisasi nirlaba : SCALA Institute dan SCALA Foundation

Selanjutnya

Tutup

Money

Wirausaha Tiga Generasi

11 April 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46 2957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ciputra sering mengatakan bahwa salah satu tonggak dari kemajuan bangsa ialah lahirnya pengusaha-pengusaha tangguh yang memberikan kontribusi besar terhadap rakyat banyak. Diantara ciri pengusaha tangguh itu ialah berdikari, merintis usaha dari bawah, dan mampu bertahan dalam waktu cukup lama. Di Indonesia, banyak usahawan yang memulai bisnisnya dari modal kecil. Namun sedikit yang bisa bertahan lama dan mampu mewariskannya (setidak-tidaknya) kepada generasi ketiga. Dari nama-nama yang sedikit itu, yang cukup menonjol adalah : Nakhoda Mangkuto, Oei Tjie Sien, Liem Seeng Tee, Achmad Bakrie, dan Haji Kalla.

Nakhoda Mangkuto, lahir di Bayang, Sumatera Barat, pada akhir abad ke-17. Ia memulai usahanya dengan menjual hasil-hasil bumi, dengan komoditas utama : lada. Setelah beranjak dewasa ia pergi merantau meninggalkan kampung halamannya. Mengembara ke seantero Nusantara, dari Sumatera, terus ke Jawa, ke Kalimantan, dan Kepulauan Karimata. Disini ia menikah dan memperoleh anak yang bernama Tayan (setelah dewasa dikenal sebagai Nakhoda Muda). Keberadaannya di Karimata tak disukai para perompak Bugis. Ia pun berpindah ke Banjar dan akhirnya menetap di Piabung, Lampung. Disini ia terus berbisnis dan mengkhususkan dirinya dalam perdagangan lada. Semasa itu Kesultanan Banten menguasai perkebunan lada di Lampung dan Jawa Barat, dan Mangkuto diberi kepercayaan untuk memasarkan hasil-hasilnya.

Ada hal yang menarik terkait dengan idealisme Mangkuto yang diajarkan kepada putranya Nakhoda Muda, yang kemudian diturunkan pula kepada anak-anaknya. Pertama, putranya itu disuruhnya mengaji, membaca, berhitung, hingga pandai surat-menyurat. Kedua, dikirimnya menjelajahi dunia selama tujuh tahun untuk memperoleh pengalaman dan asam garam kehidupan. Dan yang ketiga, ia menasehati putranya agar menghindari hutang-piutang. Ia berkata : "Jika sampai hukum Allah kepadaku, sepeninggal aku jangan anakku membuat hutang! Jika tiada modal berlayar, kayu di rimba boleh dipotong, ikan di laut dapat dipancing, buat modal engkau berlayar. Jangan sekali-kali anakku berani berhutang kepada raja atau kompeni atau orang banyak sekalian ..."

Di tahun 1740, Nakhoda Mangkuto wafat. Anaknya, Nakhoda Muda melanjutkan bisnis lada yang telah dirintis ayahnya. Setelah kaya dan sukses, ia menikahi gadis Lampung dan dikaruniai delapan orang anak. Lalu menikah lagi dengan gadis Banten dan hanya mendapat seorang anak. Dari beberapa selir ia masih memperoleh tiga orang anak. Di puncak kariernya, ia memperoleh jabatan demang dari Sultan Banten yang menjalin bisnis dengannya. Meskipun begitu, disaat kapalnya karam ia menolak bantuan dari sultan dan memilih membeli lagi sebuah kapal dengan uangnya sendiri. Setelah menguasai perkebunan kelapa di Teluk Semangka, ia memerintahkan untuk membangun sebuah tempat tinggal dengan panjang sepuluh depa dan lebar delapan depa. Kemudian ia memberikan sedikit modal dan kapal kepada putra-putranya untuk mulai berdagang lada.

Namun keberhasilan mereka dalam membangun imperium perdagangan lada, tak disenangi para saudagar Eropa. Maka berkomplotlah kompeni Belanda dari Banten, orang Inggris dari Bengkulu, dan pedagang Prancis dari armada Comte d'Estaing, untuk meruntuhkan bisnis mereka. Sejak saat itu, maka berakhirlah kisah sukses Nakhoda Mangkuto dan anak-cucunya, yang pernah menguasai perdagangan lada di kedua sisi Selat Sunda. Untuk mengenang kisah keluarga tersebut, maka pada tahun 1788 Lauddin menulis sebuah hikayat yang berjudul "Nakhoda Muda". Hikayat tersebut kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh William Marsden, dan diterbitkan di London.

Oei Tjie Sien merupakan pengusaha Tionghoa kelahiran Tong An, Fujian, China selatan. Ia pergi ke Semarang setelah menjadi buronan politik dalam pemberontakan Tai Ping. Pada mulanya ia hanya bekerja dengan menjual tenaganya. Menghela pukat di pelabuhan dan memikul beras dari kampung ke kampung. Setelah itu ia mencoba berjualan beras, dupa, dan gambir. Dari tabungan yang dimilikinya, pada tahun 1863 ia mendirikan kongsi dagang Kian Gwan. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor hasil bumi Jawa dan produk-produk dari Tiongkok. Di bawah pimpinan Oei Tiong Ham, anak keduanya, Kian Gwan yang kemudian berubah nama menjadi Oei Tiong Ham Concern melakukan ekspansi secara luas. Selain di Semarang, kantor-kantornya juga terdapat di Singapura, Penang, Bangkok, Kalkuta, Hongkong, Shanghai, Rio de Jenairo, London, dan New York. Aset perusahaannya meliputi tanah dan pabrik-pabrik di Jawa, kapal uap, sebuah bank, dan kantor broker di London.

Kekayaan Oei Tiong Ham terutama ditopang oleh perkebunan dan pabrik gula. Selain itu kedekatan dengan penguasa Hindia-Belanda dan posisinya sebagai mayor Tionghoa, juga menjadi faktor keberhasilannya. Dalam menjalani usaha, ia memenej semuanya secara modern. Mempekerjakan ahli hukum dan akuntan-akuntan terbaik, serta merekrut para manajer dan direktur berkebangsaan Belanda. Di tahun 1920, ia lari ke Singapura untuk menghindari hukuman pajak. Empat tahun kemudian, Oei Tiong Ham meninggal secara mendadak. Kabarnya ia diracun oleh seorang gundik yang bernama Ho Kiem Hoa. Ketika wafat ia mewariskan kekayaan mencapai 200 juta gulden, suatu angka yang cukup besar pada masa itu. Sebagai gambaran betapa kayanya keluarga Oei di zaman itu, di Semarang mereka tinggal di atas tanah seluas 9,2 hektar, dengan bangunan yang memiliki 200 ruangan, dapur, vila pribadi, dan dua ruang pesta keluarga. Mereka juga memiliki kebun binatang sendiri dan rumah khusus untuk para pelayan. Staf rumah tangga mereka mencakup 40 pembantu rumah tangga, 50 tukang kebun, dan dua orang koki yang berasal dari China dan Eropa.

Namun bakat dagang Oei Tjie Sien dan Oei Tiong Ham tidak menurun kepada generasi selanjutnya. Justru anak-cucu mereka hidup dalam kemewahan dan jauh dari sifat-sifat wirausahawan sejati. Disamping bergaya hidup boros, anak-anak Oei Tiong Ham acap pula bertengkar. Terutama jika menyangkut masalah harta warisan. Oei Tjong Tjay dan Oei Ing Swie, dua kubu pewaris Oei Tiong Ham Concern, tidak mampu menjalankan roda perusahaan dengan baik. Sejak tahun 1957, para pemegang saham perusahaan meninggalkan Indonesia, dan menjadi warga negara asing. Empat tahun kemudian perusahaan ini dinasionalisasikan. Seluruh aset-asetnya diambil alih pemerintah dan dipergunakan sebagai penyertaan modal dalam pendirian PT. Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia.

Seperti halnya Oei Tjie Sien, Liem Seeng Tee juga merupakan perantau Tionghoa asal Fujian. Ia datang ke Jawa pada tahun 1898 bersama ayah dan saudara perempuannya. Dia mulai berjualan pada usia 11 tahun di gerbong-gerbong kereta jurusan Jakarta - Surabaya. Kemudian ia belajar melinting tembakau yang dijualanya di stasiun kereta api. Setelah menikah dengan Siem Tjiang Nio, ia membuka warung kecil dan menjual rokok racikannya sendiri. Sukses menjual rokok, ia ditawari untuk membeli unit usaha sigaret yang bangkrut. Dari pabrik ini ia banyak menerima pesanan rokok dan kemudian membentuk perusahaan berbadan hukum dengan nama "Handel Maatschappij Liem Seeng Tee". Nama ini kemudian menjadi "Handel Maatschappij Sampoerna" dan berubah lagi menjadi "Handala Mandala Sampoerna" (H.M. Sampoerna).

Sepeninggalannya, H.M. Sampoerna diteruskan oleh dua putrinya dan suami mereka. Banyaknya investor asing yang masuk, serta bermunculannya pabrik-pabrik rokok lokal, menggerogoti pangsa pasar Sampoerna. Namun setelah putra-putrinya kompak mengembangkan perusahaan, pabrik rokok ini terus melaju. Di bawah arahan Liem Swie Ling (Aga Sampoerna) yang kemudian dilanjutkan oleh Putera Sampoerna, perusahaan ini makin berkibar dan merajai rokok "mild" di Indonesia. Beberapa produk keluaran Sampoerna, seperti Dji Sam Soe dan A Mild, bahkan menjadi ikon merek Indonesia. Pada Maret 2005, keluarga Sampoerna memutuskan untuk menjual seluruh sahamnya di PT H.M. Sampoerna, Tbk kepada perusahaan rokok asal Amerika Serikat, Philip Morris. Kini anak keturunan Liem Seeng Tee itu, lebih berfokus ke bisnis perkebunan dan telekomunikasi.

Achmad Bakrie, lahir di Kalianda, Lampung pada tahun 1916. Usahanya bermula dari CV Bakrie & Brothers yang didirikannya di Teluk Betung pada tahun 1940. Perusahaannya itu banyak menjual hasil-hasil bumi seperti lada, kopi, dan karet. Untuk memberikan nilai tambah perusahaan, ia membangun pabrik pengolahan karet dan kemudian merambah ke industri pengolahan baja. Pada tahun 1957, disaat politik Benteng sedang membuncah, ia membeli pabrik kawat yang ditinggalkan pemiliknya ke Belanda. Setelah ia wafat, Aburizal, Indra, dan Nirwan meneruskan usahanya. Hingga di penghujung milenium kedua, Grup Bakrie belum menunjukkan tanda-tanda akan menjadi kelompok bisnis berskala besar. Namun di bawah kendali Aburizal Bakrie, kekayaan keluarga ini terus meroket, hingga Aburizal sendiri ditasbihkan sebagai manusia terkaya di Indonesia.

Kini kepak-kepak sayap bisnis Kelompok Bakrie telah merentang ke semua lini. Dengan menguasai lima pilar pokok : pertambangan, media, telekomunikasi, infrastruktur, dan properti, serta sebuah universitas dan klub sepak bola, Bakrie menjadi salah satu kelompok bisnis paling tajir di Indonesia. Perusahaan pertambangannya Bumi Resources, diklaim sebagai produsen batu bara terbesar nomor dua di dunia. Selain itu perusahaan telekomunikasinya Bakrie Telecom, menjadi operator telepon berbasis CDMA yang memiliki market share cukup besar. Satu lagi mahakarya kelompok ini yang cukup prestisius adalah sebuah pusat bisnis terpadu di tengah-tengah kota Jakarta : Rasuna Epicentrum. Di atas lahan seluas 53 hektar ini, berdiri megah gedung setinggi 215 meter yang menjadi pusat aktivitas Grup Bakrie. Disekelilingnya dibangun beberapa menara apartemen dan mal yang diperuntukkan bagi kalangan atas. Sebuah bulevar dengan lebar 25 meter, yang membentang dari utara ke selatan, mengabadikan nama sang pendiri : Achmad Bakrie. Kini beberapa perusahaan Bakrie telah dikelola oleh generasi ketiga. Diantara cucu-cucu Achmad yang paling menonjol adalah Anindya Bakrie.

Haji Kalla, merupakan pengusaha asal Bugis yang lahir pada tahun 1920 di Bone, Sulawesi Selatan. Pada usia 15 tahun ia telah memiliki kios sendiri dan berjualan di Pasar Bajoe, Watampone. Setelah itu ia merantau ke Makassar, dan membeli tujuh buah firma peninggalan Belanda. Di tahun 1952 ia mendirikan NV Hadji Kalla Trading Company, yang bergerak di bidang perdagangan tekstil dan jasa transportasi. Pada tahun 1968, putra tertuanya Muhammad Jusuf Kalla memimpin perusahaan. Anak ini seorang yang campin, ulet, dan cukup tangguh. Tak puas dengan pencapaian sang ayah, Jusuf melakukan ekspansi bisnis ke segala bidang. Selain memperbesar usaha perdagangan dan transportasi yang telah eksis, Jusuf juga merambah ke bisnis otomotif, konstruksi, properti, dan perkebunan.

Semenjak ia aktif berpolitik, urusan bisnis keluarga banyak diserahkan kepada generasi ketiga. Solihin Kalla yang merupakan putra bungsu Jusuf, didapuk sebagai Direktur Pengembangan Bisnis Kalla Grup. Solihin juga menjabat sebagai Direktur PT. Bumi Lintas Tama, yang menangani transportasi laut di Sulawesi Selatan. Selain fokus membangun Sulawesi Selatan, Kalla Grup juga mengembangkan Indonesia Timur. Dan kini ia menjadi perusahaan terbesar di wilayah tersebut. Setelah sukses melakukan peremajaan Bandara Hasanuddin, perusahaan konstruksi milik Kalla siap membangun monorel lintas Makassar - Maros sepanjang 30 kilometer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun