Mohon tunggu...
Afandri Adya
Afandri Adya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Afandri Adya, penulis lepas yang juga aktif di dua organisasi nirlaba : SCALA Institute dan SCALA Foundation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Restoran Padang dan Seni Kuliner Minangkabau

23 Desember 2011   09:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:51 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak ramainya lalu lintas darat yang menghubungkan satu kota ke kota lainnya, peranan rumah makan makin terasa penting. Di Indonesia, satu dari sekian banyak kelompok masyarakat yang bisa mengambil peluang tersebut adalah etnis Minangkabau. Orang Minang yang rata-rata suka berjalan dan berpetualang itu, mengerti betul kebutuhan para musafir yang sedang berpergian. Kebutuhan pangan, disamping tempat bermalam dan membasuh diri, adalah kebutuhan pokok yang harus segera terpenuhi. Oleh karenanya berdagang makanan atau membuka restoran, merupakan salah satu kegemaran sekaligus profesi utama para perantau Minang.

Dimana-mana di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, dari Banda Aceh hingga Bakauheni, kemudian bersambung ke Merak dan Banyuwangi, terus ke Denpasar dan Lombok, sampai ke kota-kota kecil di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, dengan mudahnya kita menemukan Restoran Padang. Bahkan dewasa ini, Rumah Makan Padang mencogok pula di kota-kota besar mancanegara : seperti Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, hingga ke Leiden dan New York City. Sampai saat ini belum ada data yang menyebutkan jumlah Restoran Padang di seluruh dunia. Namun sebagai gambaran, untuk wilayah Jakarta saja Ikatan Warung Padang Indonesia (Iwapin) mencatat ada sekitar 20.000 Rumah Makan Padang. Jeffrey Hadler memperkirakan, menjamurnya rumah makan khas Minangkabau ini, sejak dibukanya Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Padang - Medan dipermulaan abad ke-20 lalu.

Mencari akar berkembangnya kebudayaan kuliner di Minangkabau, tak bisa dipisahkan dari sistem sosial masyarakat Minangkabau itu sendiri. Di Sumatera Barat, anak laki-laki sedari kecil telah dididik dalam lingkungan yang bermacam-macam. Dulu, sebelum masuknya siaran televisi ke kampung-kampung, para remaja yang akil baligh diharuskan untuk tidur di surau. Disini mereka hidup mandiri dan otodidak : belajar mengaji, bersilat, berpetatah-petitih, berpidato, serta memasak. Di saat beranjak dewasa, anak-anak yang menonjol dalam kaji Qur'an biasanya akan masuk sekolah agama dan terus menjadi ulama. Anak-anak yang pandai berpidato dan berdebat akan terjun ke dunia pergerakan dan menjadi politisi. Dan yang pintar memasak biasanya akan mendirikan lapau nasi dan terus memperbesar usahanya dengan membuka restoran. Sehingga dari pola pendidikan surau, banyak lahir juru-juru masak yang handal. Dari corak kehidupan rumah makan, kita akan melihat bahwa yang terjun ke bidang ini bukanlah para pemuda bermental lembek, melainkan anak-anak muda yang tangguh. Yang kuat berdiri di depan kompor delapan jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, serta siap menghadapi pasang surut bisnis dan persaingan.

Segi lain yang terkait dengan budaya rumah makan ini adalah menciptakan rasa yang bisa menggugah selera. Karena kalau sekedar menyajikan makanan saja, semua orang mampu melakukannya. Di pinggir-pinggir jalan-pun, banyak kita temukan warung-warung yang menjual makanan dengan rasa tak karu-karuan. Namun dalam seni kuliner Minangkabau, si pemilik restoran tidak hanya sebatas menjual nasi, sambal, dan lauk-pauknya saja. Tapi termasuk pula rasa makanan yang enak, tempat yang bersih, dan pelayanan yang prima.

Rasa dan servis, adalah dua kata kunci kesuksesan Rumah Makan Padang. Soal rasa, tak ada satupun lauk-pauk yang dihidangkan ala kadarnya. Semuanya bersih, higienis, dan memiliki taste yang enak di lidah. Menghidangkan makanan yang enak-enak itu, tentulah dengan cara dan proses yang cukup panjang. Untuk memasak rendang saja, para koki Minang harus berdiri di muka kompor sekurang-kurangnya delapan jam. Cairan santan yang telah bercampur dengan aneka bumbu serta daun-daunan, dimasak hingga kering sampai berwarna coklat kehitaman. Dan teknik memasak rendang ini haruslah dengan api yang kecil dan dikacau berterusan. Dengan cara masak yang serumit ini, tak salah kiranya jika rendang dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia. Di Minangkabau, rendang tidak hanya terbuat dari daging sapi. Ayam, ati, paru, dan telur, dapat pula digunakan sebagai bahan dasar pembuat rendang. Di lapau-lapau nasi khas Payakumbuh dan Batusangkar, ada juga yang menjual rendang belut. Rendang ini terbuat dari belut sawah yang dikeringkan, dicampur dengan daun surian, serai, akar kesambi, pucuk palange, dan daun salam. Semua bahan-bahan ini diracik secara manual, dan disangai di atas bara api yang terbuat dari pelepah kelapa.

Selain rendang, dendeng balado juga merupakan makanan favorit Restoran Padang. Memasak dendeng yang garing dan renyah, juga memiliki teknik tersendiri. Daging yang telah dilumuri bumbu, harus batokok hingga pipih. Sesudah itu daging dijemur hingga agak mengering. Lalu digoreng di atas api yang kecil dengan minyak terendam. Daging yang telah digoreng, kemudian digelimangi sambal lado yang telah disiapkan sebelumnya. Agar hidangan nampak istimewa, cabai merah yang dipotong-potong serong diletakkan sebagai topping. Seni kuliner Minangkabau tak mengenal mecin dan pewarna makanan. Bumbu-bumbu alami seperti jahe, bawang putih, ketumbar, pala, daun sereh, dan kelapa, sudah cukup untuk membentuk rasa dan warna makanan. Satu lagi hal terpenting dari Rumah Makan Padang adalah nasinya yang berderai. Nasi ini ditanak dari jenis beras Perak Super atau yang biasa dikenal dengan beras padang.

Disamping rasa yang lezat, cara menghidangkan dan penyajian makanan juga menjadi perhatian para pengelola Restoran Padang. Makanan-makanan yang sudah selesai dimasak, akan didisplay dalam etalase besar yang terletak di depan rumah makan. Cara mendisplaynya-pun harus diatur sedemikian rupa. Piring-piring ceper berukuran besar yang diisi oleh aneka lauk-pauk, disusun bertingkat-tingkat hingga memenuhi etalase. Panci gulai dan tempat nasi, biasanya diletakkan agak ke bawah untuk mempermudah si penjual menjangkaunya.

Pengunjung Restoran Padang biasanya memilih untuk dihidangkan segala macam lauk-pauk yang tersedia. Dengan cara itu mereka bisa memilih sesuka hati jenis ikan dan daging yang hendak dimakan. Kadang ada pula pengunjung yang minta dihidangkan, hanya sekedar untuk melihat si pelayan membawa piring bertating-tating. Cara penghidangan seperti ini merupakan atraksi tersendiri yang menjadi ciri khas Rumah Makan Padang.

Meletakkan segelas air putih ketika tamu datang, merupakan adab dan etika Minangkabau. Oleh karenanya di Rumah Makan Padang terbawa pula kebiasaan seperti itu. Dimana si pelayan tanpa harus diminta, akan sigap mengantarkan segelas air putih ketika pengunjung datang. Air putih inipun terasa istimewa, karena direbus dengan daun pandan yang memiliki aroma wangi menyegarkan. Pengelola Restoran Padang, pantang untuk mengangkat hidangan sebelum tamu beranjak dari tempat duduknya. Tidak menyapu dan membersihkan meja ketika tamu sedang makan, juga merupakan etika yang terus dipelihara.

Pengelolaan Rumah Makan Padang umumnya menggunakan sistem syariah, yang membagi keuntungan sesuai dengan pekerjaan masing-masing karyawan. Juru masak dan pemilik modal biasanya mendapat persentase yang lebih besar. Baru kemudian keuntungan dibagi rata antara pramusaji, kasir, dan pencuci piring. Jenjang karir di Restoran Padang selalu dimulai dari pencuci piring, kemudian menjadi pramusaji, baru naik menjadi kasir. Seorang juru masak atau koki biasanya merupakan kenalan si pemilik modal. Entah itu kerabat, teman sekampung, atau sanak saudara sendiri. Persentase keuntungan yang berlaku umum menggunakan perbandingan 30% : 20% : 50% antara pemilik modal : juru masak : karyawan.

Dewasa ini banyak pula Restoran Padang yang membuka sistem waralaba, seperti Restoran Sederhana dan Simpang Raya. Untuk kedua rumah makan ini, masing-masing pemilik : Bustaman dan Mursal Bagindo, melatih juru masaknya sendiri serta menerapkan standardisasi mutu makanan dan pelayanan. Meski model bisnis waralaba bisa mempercepat penambahan jumlah cabang, namun cara ini tak dianut oleh Sari Ratu. Restoran yang sudah membuka usahanya sejak 29 tahun lalu itu, rupanya tak berniat menggerakkan bisnis dengan sistem franchise. Alasannya adalah hendak mempertahankan cita rasa makanan. Suatu masakan seperti apapun upaya untuk menstandardisasikannya, jika memasaknya tak dilakukan dalam satu kuali rasanya pasti akan berbeda, demikian penuturan Datuk Rama Windra sang pemilik Sari Ratu. Meski banyak cara yang dilakukan oleh pengelola Restoran Padang untuk memperbesar usahanya, namun jurus manajemen bagi hasil yang sesuai dengan ajaran Islam itu, merupakan strategi paling ampuh untuk memenangkan persaingan. Ibarat pepatah Minang, strategi itu tak kan lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun