[caption id="attachment_309446" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber : www.rri.co.id"][/caption]
Kepahlawanan adalah sebuah cerita kontoversi dan tragedi. Tak terkecuali untuk seorang Anggito Abimanyu.
Anggito adalah tragedi kecil tentang sebuah cerita ketidakberuntungan akan ‘niat’ kebaikan. Keputusan perjuangan suci Anggito yang menantang dengan memilih menjabat sebagai Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenang), berujung kisah tak manis malah berakhir buntung dan tumbal.
Dia yang begitu disanjung sebagai ekonom ulung kerakyatan terkapar dalam episode-episode pembenahan dan perbaikan yang diproklamirkannnya ketika memilih perhelatan tersebut. Anggito tidak hanya bingung dan lumpuh mengawal mahligai kemurnian dan ketulusan harapan tamu-tamu Allah di tanah suci, tapi tersesat dan terbuang dalam pusaran tekanan, kepentingan, dan godaan yang bertubi-tubi.
Pilihannya yang gagah berani melawan angkara murka pengelolaan haji, kini menjadi sinisme dan ketakutan bahwa ‘orang baik’ dalam sistem yang buruk justru hanya akan menjadi bulan-bulanan. Heroismenya babak belur, dan alkisah kepahlawanan tersebut pun menjadi olok-olok yang menyesakkan. Kekalahan-kalau memang itu sebuah ending catatan ini-sungguh tak mengenakkan. Bagi sang bintang, dan saya yang salah satu idolanya. Kita sulit menampik, tapi juga tentu tak perlu menangis untuk sebuah ketidaketisan konyol.
Entah mengapa, setelah tragedi terpental dari kursi Wakil Menteri Keuangan, meninggalkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan kegagalan dalam seleksi komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Anggito memang seperti Ekonom tak bertuan. Dia membangun jarak dan menarik titik samar. Dia terlihat bukan lagi milik dan kepentingan pemerintah sebagaimana ketika menjabat Kepala [BKF], namun pada sisi yang lain dia juga tampak mulai melepaskan diri dari umat sebagaimana ketika dia memerankan posisi sebagai akademisi Universitas Gajah Mada [UGM] dan dan Ekonom Indonesia.
Anggito raib dalam popularisme yang menggila dan syahwat kekuasaan yang liar. Entah apa yang beliau ingin tunjukkan, keberanian, kebaikan, atau cita-cita kemaslahatan ataukah justru sebatas obsesi, aktualisasi, prestise, dan keinginan untuk menorehkan sejarah. Tiba-tiba dia memilih melibatkan diri dalam percaturan kepemimpinan nasional, mulai dari menggarap organisasi keolahragaan hingga menahkodai ke-Dirjen-an Haji dan Umrah.
Anggito rajin mempopulerkan diri dengan rajin menyambangi berbagai tayangan talk show media elektronik, sembari sesekali menunjukkan kepiawaiannya bersuling. Dia berbicara tentang [kehebatan] diri dan mimpinya. Menghembuskan inspirasi dan kebijaksanaan, tapi seakan ada yang hampa. Dia memang akhirnya tercatat sebagai tokoh, namun entah atas brand status dan latar belakang apa kita akan mengistilahkan serta mengidolakannya lagi.
Beliau seakan berusaha menunjukkan kacerdasan dan kompetensi masih laris-manis dan disambut dimana-mana setelah dihempas di Kementerian Keuangan. Dia membuktikan betapa menarik dan kuatnya dia. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu, karena di Indonesia setiap lahirnya seorang [bocah] tokoh baru, bisa jadi sudah akan dipersiapkan acara 'kematian'nya. Bak kisah Raja Firaun yang mencari anak-anak laki yang baru lahir untuk dibunuh karena dianggap akan menggulingkan keabadian penguasa di masa mendatang.
Bukan kedigjayaan heroisme akhirnya yang kita petik dibalik sepaka terjang Anggito. Di Kementerian Agama justru beliau terhempas. Indikasi dan keganjilan bertebaran, dengan salah satu kabar pahit ada aliran dana yang mencurigakan dalam rekeningnya. Dia pun kini menjadi sasaran tembak praktik korupsi dan kerugian negara di Kemenag.
Setelah gagal menjadi Wakil Menteri Keuangan, Komisioner OJK, kekhilafan plagiarisme, maka bayang-bayang menjadi tersangka [munking] akan menjadi ujian kehidupan terberat bagi Anggito. Dan [mungking] saja orang-orang baik di luar sana akhirnya akan berpikir berulang kali untuk kembali menjadi pahlawan. Agar tak buntung,menjadi tumbal, menanggung malu dan derita.
Entahlah, tapi mungking masih ada di sudut sana, di sebuah bagian Lapangan Banten anak-anak muda cerdas dan optimis yang disekolahkannya keluar negeri sewaktu menjabat Kepala BKF, pasti sedang khusyuk berdoa untuk Anggito. Agar beliau tabah, dan ceritera kepahlawanan sang Anggito tak meracau seperti yang berhembus kencang saat ini.
Salam Perkawanan Selalu
Afandi Fatriah Mansyur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H