“In principle a work of art has always been reproducible”
- Walter Benjamin, 1935 -
Rangkaian studium generale bertemakan ‘Philosophy in The City’akan semakin menarik jika dapat kita dikaji lagi sebagai refleksi budaya masyarakat modern yang sedang berjalan saat ini akibat perubahan jaman. Karakter dari budaya masyarakat modern selalu diikuti dengan adanya konstruksi tanda dan simbolisasi atas rasionalisasinya. Trajektori hasil perenungan dari beberapa narasumber acara tersebut memberikan semacam rekam jejak fenomena sosial budaya masyarakat kontemporer di perkotaan terutama Ibukota Jakarta.[1]
Pada saat diskusi tentang ‘Kota dan Budaya’ yang disajikan oleh Mudji Sutrisno, setidaknya ia telah mengingatkan kita pada kompleksitas persoalan masyarakat modern (baca: Jakarta) yang sedang mengalami ‘desublimasi sosial’.[2] Masyarakat, kini menghadapi kepadatan aktifitas dan rutinitas yang luar biasa. Kesibukan untuk mengkonsumsi simbol-simbol makna yang tersebar, yang berfungsi membangun identitas gaya hidup atau status lainnya, serta bernegosiasi dengan alam pikirannya yang modernis. Di dalam suatu ruang budaya konsumen (consumer culture) mendorong masyarakatnya untuk terlibat aktif memasuki dunia tanpa batas/virtual. Realitas dunia seakan menghilangkan ritual-ritual interaksi sosial (termasuk ekonomi) masyarakat dan menggantikan dengan nilai-nilai baru yang lebih variatif. Maka di sinilah aspek penting lainnya ketika perkembangan dunia periklanan mulai memanfaatkan internet di samping karena visualitas image-nya yang beragam dibandingkan media massa.[3] Lebih jauh, nampaknya internet telah menjadi semacam alat marketing (marketing tolls) abad 21 (Schroeder, 2002).
Pasar media elektronik dan digital yang tergolong sebagai media baru (new media), seperti, komputer, internet, gadget, dan jenis-jenis layanan real time, sudah semakin sesak oleh gambar-gambar dari rayuan-rayuan, yang membentuk budaya konsumerisme baru. Jelasnya, kondisi yang perlu disadari adalah makhluk sosial manusia tidak bisa lepas dari proses interaksi dan pola-pola komunikasi menggunakan perangkat tadi. Maka yang terjadi, proses pemaknaan sebuah produk akan terus mengalami metamorfosa dalam kerangka sistem makna yang lebih besar.
Tulisan ringkas ini hendak menjelaskan fenomena budaya konsumsi masyarakat modern yang muncul dari pola interaksi (informasi dan komunikasi) maya yang terjalin melalui perangkat media baru berupa internet sebagai sistem makna. Korelasinya, proses transformasi budaya pascaruang menimbulkan gejala determinasi teknologi informasi dan komunikasi bagi masyarakat sekarang ini. Selanjutnya, keadaan tersebut dapat mempengaruhi sistem makna yang dikonstruksikan di ranah budaya konsumsi visual/digital. Akibat dari kemajuan modernisasi ini, penulis berusaha mengkajinya menggunakan perspektif postmoderndari Marshall McLuhan dan Jean Baudrillard.
Keterputusan Mendasar Mekanisme Sosial Budaya bagi McLuhan
Problem interaksi sosial masyarakat kontemporer dalam memanfaatkan ruang bersama (publik) maya digunakan untuk saling bertukar informasi dan bersosialisasi. Kini penggunaan alat teknologi komputer dan jaringan sibernetis-nya (cybernetic) sudah semakin dekat dengan keseharian kita. Orang lebih mudah melakukan transaksi jual beli melalui internet. Meski demikian, kondisi ini merupakan ciri perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat. Kelanjutan dari teknologi ini telah menemukan jalurnya yang paling cepat, melesat bak Apollo yang diluncur ke luar angkasa. Paul Virilio menyebutnya dalam teori The Dromosphere, yang menjelaskan bahwa dengan kecepatan teknologi dapat mempersempit ruang gerak masyarakat secara topografik (Virilio, 1991).
Secara sederhana model percepatan ruang dan waktu yang tak terbatas itu terbuka lebar bagi siapapun untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi media dalam melakukan proses interaksi dan relasi sosial lainnya. Permulaan ini dilihat saat karya science-fiction cyberpunk, ‘Neuromancer’ mampu menggambarkan keadaan dunia virtual melalui ide cerdas William Gibson (1984). Dunia ini tidak lagi menghadirkan sosok diri kita secara utuh. Dan, Gibson menyebutnya sebagai ‘the information superhighway’ atau ‘the Matrixs’[4].
Dalam studi akademis, proyeksi masa depan itu pernah dibuktikan oleh Sherry Turkle. Ia setidaknya telah memberikan dasar pengetahuan yang cukup menyeluruh pada budaya-tekhno (technoculture) masyarakat kontemporer dan memperkenalkan sejenis ‘sosiologi komputer’. Mark Poster mengkajinya lebih dekat kepada persoalan human-machine relationship yang berasal dari pendapat Gilles Deleuze, Felix Guattari dan Donna Haraway. Di samping itu, Baudrillard memakai jurus simulakra untuk memaknai sepak terjang citraan semu yang berpola pada ide reproduksi mekanis milik Walter Benjamin. Garis besarnya, studi-studi ini bersumber dari gagasan Marshall McLuhan yang turut memberikan penajaman aspek keterhubungan antara media, budaya dan masyarakat melalui jenis media (elektronik) dan efek media yang ditimbulkannya (McLuhan, 1964).
Sejauh pandangan dari para tokoh postmodernis itu mampu mengamati dan menjelaskan hubungan teknologi komputer dengan konstruksi imajiner, citra-citra, image yang mengubah rasionalitas setiap aktor mendorong bentuk keniscayaan yang tak terelakkan di era cyberculture. Haluan ini perlahan dideteksi sebagai realitas “semu” antara batas-batas wilayah psikososial menuju pada keteraturan yang homogen dan integral namun sesungguhnya terfragmentasi.
Dalam Teori Media Baru, Marshall McLuhan memperkenalkan istilah “Medium is an extension of man”—medium adalah perpanjangan tangan manusia. Dan, yang paling mendekati dari pandangan McLuhan adalah mengenai teknologi mekanik (mechanical technology) dan elektrik, dalam kajian utama tulisan ini berupa internet. Semboyannya yang paling terkenal adalah “Medium is the message”. Medium atau sarana yang mempengaruhi manusia, bukan isi (content) apa yang disampaikan. Karakteristik medium sebenarnya adalah makna dari pesan itu sendiri sedangkan isi pesan menjadi hal yang ‘nothing’.
‘The medium is the message’ because it is the medium that shapes and controls the scale and form of human association and action. The content or uses of such media are as diverse as they are ineffectual in shaping the form of human association. Indeed, it is only too typical that the "content" of any medium blinds us to the character of the medium. It is only today that industries have become aware of the various kinds of business in which they are engaged.
(McLuhan, 1964: 11)
Di sisi lain, McLuhan membuat konsep global village atau ‘kampung global’, ia berpendapat bahwa ‘dunia tidak lebih dari sebuah dusun karena diringkas secara elektrik’ (Cavallaro, 2001: 199). Hal ini mencerminkan internet telah membawanya pada efek kecenderungan homogenisasi budaya akibat teknologi post-industrial. Oleh karena itu, pemikiran McLuhan juga banyak mencermati bentuk-bentuk efek dari teknologi mekanik elektrik sehingga pandangannya ini sering disebut ‘determinisme teknologi’.
Teknologi media, internet berperan dalam proses produksi budaya massa. Artinya ini lebih dekat pada sebuah industri budaya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Adorno dan Horkheimer bahwa budaya tidak lepas dari ekonomi politik dan produksi kebudayaan kapitalis. Dalam tataran Cultural Studies, Raymond Williams berpendapat bahwa kata kebudayaan digunakan dalam dua pengertian, pertama sebagai keseluruhan cara hidup, dan kedua, untuk menunjuk pada kesenian dan pembelajaran...“kebudayaan itu adalah hal-hal yang dialami dalam hidup sehari-hari” (Williams, 1989:4).
Praktik ini terwujud dari kehidupan para aktifis netter, artinya keberadaan mereka semakin mengukuhkan adanya budaya digital, kegiatan untuk konsumsi material dan tanda yang ada dimediasi oleh material. Hal tersebut dapat dicirikan pada aktifitas masyarakatnya yang massif, karena dipengaruhi kultur industri demi menjaga produktifitas, efesiensi dan kepraktisan. McLuhan akhirnya berkesimpulan bahwa masyarakat sekarang sedang mengalami ‘keterputusan fundamental dengan masa lalu’. Lebih jelas, Mcluhan menyadari bahwa visual, budaya cetak individualistis cetak akan segara diakhiri apa yang disebut dengan ‘ketergantungan elektronik’ (electronic interdependence).
Kemudian, McLuhan menjawabnya dalam karya monumental Understanding Media, yaitu tentang bagaimana media bisa mereproduksi dirinya dan kita mengantisipasi teknologi elektronik yang hadir, oleh karena itu muncullah apa yang ia sebut dengan ‘implosion’ (ledakan ke dalam).[5] Artinya, pandangan Mcluhan terhadap teknologi internet ini adalah optimis, meskipun ia memberikan catatan kritis: Media elektronik telah mengarahkan suatu fase dari Gutenberg galaxy ke electronic tribalism.
Reproduksi Makna Sebagai Efek dari Konsumsi Visual: Baudrillard
Konsumsi visual yang dilakukan para netter lebih lanjut akan memakai sebagian pemikiran Baudrillard yang juga dipengaruhi oleh McLuhan dan Walter Benjamin. Baudrillard secara konsisten kembali ke dua teori, untuk menguraikan dan membangun gagasan mereka berdua bersama-sama, melihat McLuhan sebagai teori, dalam hal-hal tertentu, merupakan kelanjutan dari wawasan Benjamin (Baudrillard 1983a: 98-102). Menurut Baudrillard, Benjamin (kemudian McLuhan), yang pertama kali memahami bahwa teknik reproduksi mekanik itu penting. Teknologi, dan berbagai bentuk itu mengasumsikan, sebagai 'struktur langsung dunia'. Di bidang kebudayaan, teori ini menyiratkan bahwa previlage dari kekhasan suatu bentuk teknologi menyebabkan hubungan tertentu, pengalaman dan efek, melihat isi atau makna yang terkandung dalam berbagai mediasi.
Pandangan Baudrillard yang muncul, yaitu bagaimana visual-image mampu mereproduksi secara teknis, ia mengungkapkan sebagai aspek utama masyarakat industri. Di satu sisi, ia berpendapat bahwa yang penting dari reproduksibilitas ini terletak pada kecepatan, kelebihan, kelebihan produksi, dari informasi atau pesan. Untuk menganalisis konsumsi tanda-tanda dalam bentuk visual yang ditampilkan internet dan atau iklan-iklan, Baudrillard menemukan tanda-tanda interaksi ‘semu’ yang diproduksi oleh media tersebut. Proses simulasi yang melahirkan adanya reproduksi mekanis ini berasal dari ide dasar Walter Benjamin. Alat simulasi itu disebutnya sebagai mekanisme (mechanism). Apa yang bisa dihadirkan, tentunya kita sering menemukan adanya interaksi konvensial di dunia offline untuk sementara dapat di fasilitasi oleh jaringan internet.
Menurut Benjamin, reproduksi mekanis mengacu pada proses teknis sebuah alat produksi yang mampu menghasilkan karya. Karya ini bisa berupa gambar, Benjamin mencontohkannya dengan kehadiran fotografi yang menggantikan fungsi Litografi untuk mengambil obyek gambar sesuai ‘aslinya’ (Benjamin, 1969).
Bagi Baudrillard (1983b: 67), yang sosial adalah suatu simulacrum, yang menjadi dasar individu-individu sosial yang merefleksikan diri. ‘acuan satu-satunya yang masih berfungsi adalah acuan tentang ‘mayoritas yang diam’, karena massa tak lagi menjadi milik aturan representasi.Lewat televisi, film dan iklan, termasuk internet, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1983b).
Baudrillard menganalisis masyarakat modern di era modern. Melalui bukunya Simulations (1983a), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra. Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983a: 54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.
Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1983b: 17).
Argumen yang dikemukakan oleh Baudrillard adalah bahwa media internet telah menyebabkan makna ganda dan begitu juga urusan sosial menjadi hilang: ‘informasi telah memamah isinya sendiri; ia menelan komunikasi dan sosial’ (Baudrillard 1983a: 97). Menurut Baudrillard kita bisa mengindetifikasi dua alasan dan aspek dari situasi yang aneh ini. Pertama, dalam istilah media sendiri, media beroperasi untuk menghasilkan makna; media melakukan permainan komunikasi. Tetapi bagi Baudrillard, media sebenarnya menghabisi dirinya sendiri dalam usaha menghasilkan makna ini.
Di sini argumen Baudrillard mencerminkan pengaruh gagasan McLuhan tentang ‘sarana adalah pesan’. Selain dipengaruhi juga ide mengenai ‘Reproduksi Mekanik’ suatu karya seni (the work of art) Benjamin, yang merupakan bagian dari pola representasi yang diproduksi secara terus menerus dengan menggunakan suatu alat mekanis yang meniscayakan kehadirannya dalam ruang dan waktu tertentu.
***
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. 1983a. Simulations. New York: Semiotext(e).
__________________. 1983b. In The Shadow of The Silent Majorities. New York: Semiotext (e).
Benjamin, Walter. 1969. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. Media and Cultural Studies: Keyworks. Halaman 18-40. Oxford: Blackwell Publishing.
Cavallaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory. London & New Jersey: The Athlone Press.
McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media. The Extension of Man. London: Routledge & Kegan Paul.
Schroeder, Jonathan E. 2002. Visual Consumption. London & New York: Routledge.
Virilio, Paul. 1991. Lost Dimension. New York: Semiotext(e).
William, Raymond. 1989. Resource of Hope. London: Verso.
http://www.williamgibsonbooks.com/books/neuromancer.asp
[1] Kegiatan ini diadakan atas kerjasama Goethe Institute Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dilaksanakan setiap dua bulan sekali sejak tahun 2008, dengan menghadirkan pembicara: Franz Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, F.Budi Hardiman, Herry-Priyono dan Karlina Supelli.
[2] Istilah ini diambil dari desublimasi represif-nya Karl Marx untuk menggambarkan proses dehumanisasi yang terpisahkan dari kondisi sosial yang dirasuki oleh bentuk-bentuk konsumsi.
[3]Menurut Schroeder, lebih awal, internet mengadopsi teknologi audiovisual. Gambar-gambar photografis—scaned, digitalized, dan incorporated ke dalam halaman Web sebagai elemen grafis –yang membantu memindahkan internet dari komunikasi text-based network menuju image-dominated World Wide Web.
[4] Lihat http://www.williamgibsonbooks.com/books/neuromancer.asp diakses pada tanggal 27 November 2009.
[5]Istilah ‘implosion’ ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Baudrillard. Di situlah Baudrillard mengambil gagasan penting dari McLuhan selain konsep ‘medium is the message’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H