Mohon tunggu...
Weni Adityasning Arindawati
Weni Adityasning Arindawati Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Singaperbangsa Karawang

Alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Alumni dari Sekolah Pascasarjana UGM program studi Kajian Budaya dan Media. Saat Ini aktif mengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang dan tergabung dalam Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Realitas Cybersubculture di Facebook

21 Juli 2010   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_200395" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Suatu hari halaman facebook saya tiba-tiba dipenuhi berbagai macam ‘kiriman hadiah-hadiah’ (gifts) yang berasal dari teman-teman (jejaring pertemanan) berupa gambar-gambar seperti bunga, kue, coklat, es krim, makanan, kado, dan sebagainya. Padahal, hari itu tidak ada yang istimewa, acara khusus, atau undangan spesial. Saya pun menangkapnya kiriman itu adalah bentuk ‘ucapan’ salam pertemanan. Namun, ada hal yang mengagetkan bagi saya dan mungkin menarik perhatian kaum pria, mungkin saja. Di salah satu gifts yang berjenis rekaman video itu terdapat gambar seorang perempuan yang sedang memperlihatkan (secara sengaja) paha termasuk bagian pantatnya dengan posisi sedikit agak menungging. Bisa dibayangkan, bisa jadi mata kita langsung tertuju pada bagian tubuh yang dianggap aurat itu, sebab potongan gambar itu jelas sekali seperti menggunakan teknik extreme close up.

Sebetulnya yang membuat saya kaget bukanlah gambar ‘kiriman’ itu, tetapi teman yang mengirimkan gambar itu justru tidak tahu, kapan, bagaimana, dan mengapa gambar itu bisa terkirim ke bagian wall (dinding) facebook saya. Bisa dikatakan ‘kiriman’ itu nyasar, tapi ternyata seorang teman saya yang lain dan mengalami kejadian serupa justru memperingatkan agar jangan membukanya dengan meng-klik ‘accept.’ Beruntunglah saya yang tidak tertarik menyimak video itu sehingga saya mengurungkan niat untuk membukanya. Akibatnya kalau membuka video itu bisa jadi komputer/laptop/netbook terserang ‘virus’ yang akan merusak sistem operasi windows. Parahnya, berkas-berkas (files) jenis tertentu tidak bisa diakses kembali seperti semula, atau akan muncul berkas-berkas asing. Realitas virtual semacam ini baru saya dapatkan beberapa waktu lalu. Saya memahami kejadian ini seperti analogi kecelakaan tabrak lari. Suatu tindakan yang sebenarnya dilakukan orang lain tapi seolah pelakunya adalah teman saya, kenyataannya pelaku ‘bersembunyi’ di balik identitas diri teman saya. Pada posisi ini sebetulnya siapa yang dirugikan, saya yang telah menerima kiriman itu ataukah teman saya yang menjadi ‘korban’ tabrak lari itu? Lalu siapakah ‘korban’ tabrak lari yang sebenarnya? Lagi-lagi, saya atau teman saya? Rasanya pertanyaan ini patut dijawab setidaknya menggunakan landasan analisis kritis tanpa meninggalkan jejak pelakunya. Di sisi lain yang ingin dikemukakan pada tulisan ini ialah melakukan proses pelacakan jejak-jejak (traces) seperti metode yang dikembangkan oleh Derrida mengenai dekonstruksi. Inti yang ingin disampaikan, berupaya mempelajari kaidah ontologi kemudian epistemologi yang akan mendasari langkah aksiologi dari sekelumit pengalaman saya selama mengakses dan menggunakan fasilitas layanan yang disediakan facebook, yang bertujuan untuk mempertemukan teman-teman (yang sudah dikenal) di berbagai sisi dunia. Thus, ekspresi sosial di ruang virtual setidaknya dapat saya nikmati sebagai sebuah fenomena yang menarik, yang terjadi bukan hanya di ruang berbasiskan transfer data bit (internet), melainkan lebih dari itu saya memaknainya sebagai salah satu bagi kecenderungan tipe budaya cyber (cyberculture) yang agak berbeda dari biasanya. Mengapa berbeda? Sebagaimana yang saya ambil dari konsepnya David Bell yaitu cybersubcultures atau subkultur cyber/maya. David Bell (2001: 163) telah mengungkapkan sejumlah reaksi terhadap subcultural atau countercultural dalam cyberspace. Keterangannya itu memberikan kekuatan yang khas pada tema lain, yaitu cybersubcultures. Bell kemudian membahasnya secara khusus pada bab cybersubcultures dari bukunya yang berjudul “An Introducing to Cybercultures”. Meski menurut Bell tidak mudah membagi dasar tema ini, namun ia telah membaginya menjadi dua kategori, pertama, penggunaan ruang maya (cyberspace) untuk menyebarluaskan proyek mereka, sekaligus juga sebagai wujud dari bentuk-bentuk komunikasi lain. Saya menambahkan, di sini ruang maya hanya dijadikan medium, penghantar, memediasi nilai-nilai ideologis golongan subkultur yang berada di dunia offline, sehingga difasilitasi melalui online. Faktanya dapat kita saksikan, munculnya komunitas maya budaya para penggemar online (on-line fan), berbagai budaya konspirasi, dan aktifitas kelompok-kelompok “pinggiran” lainnya yang mengekspresikan bentuk-bentuk komunikasi baru secara online dalam arus teknologi informasi dan komunikasi yang melaju pesat. Kategori kedua ialah adanya isyarat atau tanda hubungan ekspresif pada teknologi sebagai aktifitas subkultur. Bell memberikan contoh pada bagian karya subkultur lain, antara lain penggemar maya yang ini mampu menyatukan dirinya melalui objek atau produk, konteksnya berupa representasi seperti menggunakan cerita pahlawan fiksi, nama tokoh-tokoh pahlawan fiksi dan lain sebagainya. Selain itu, ia mengelompokkan ciri yang kedua ini pada subkultur teknologis, lebih jelasnya seperti MUDers, Hacker, Cyberpunks, dan Neo-Luddites. Gambaran Bell sebetulnya belum cukup untuk mendefinisikan fenomena baru seperti yang baru saya alami ini. Catatannya, realitas yang dihadapi adalah situs jejaring sosial yang mungkin sampai saat ini orang belum menyangka bahwa dengan kita menerima (accept) kiriman itu maka yang terjadi, virusisasi. Logika dasarnya, yang paling sering kita temui jika komputer (PC) kita terserang ‘virus’ disebabkan karena mengakses situs-situs yang disuguhi kelengkapan fitur gambar-gambar atau berkas lainnya hasil unduhan (download). Sekarang ‘virus’ ternyata juga bisa berasal dari facebook ini. Jadi, apa yang sedang terjadi ketika situs jejaring sosial yang sudah memiliki ratusan juta orang pemakai di dunia ini menghadapi ‘masalah’ demikian? Dalam perspektif cyber terrorism masalah yang mengganggu ini bisa disebut cyber terror. Istilah cyber terrorism yang digunakan dalam konteks tulisan ini merujuk pada definisi yang menyebutkan, Cyber terrorism is the premediated use of disruptive activities, or the threat thereof, in cyber space, with the intention to further social, ideological, religious, political or similar objectives, or to intimidate any person in furtherance of such objectives (Denning, 2000). Sedangkan tindakan tersebut bisa terjadi pada situs jejaring sosial ini yang masuk ke wall facebook kita meski secara teknis bisa dihalau dengan merubah pengaturan (setting). Cyber terror membuat saya menjadi cemas jika ini dialami anak-anak yang belum memiliki sekumpulan pemikiran/pengetahuan yang lebih terutama soal seksualitas. Faktanya, meski pengguna facebook masih dibatasi oleh umur dan kepemilikian email tetapi di era globalisasi teknologi informasi ini, boleh jadi hal-hal yang menjadi tergolong berbau seksualitas mudah ditemui bagi anak yang sering mengakses internet atau khususnya facebook. Lalu efeknya juga bisa menjadi isu pornografi. Korelasi ini memberikan dampak pada beberapa aspek yang membawa kita pada temuan-temuan menarik dan dapat memperlihatkan hubungan antara kemajuan sistem data teknologi komunikasi dan informasi dengan hubungan realitas sosial di ruang maya. Saya menyebut facebook sebagai realitas sosial sebab dari kemunculannya relasi sosial antar individu bisa saling terhubung dan bisa berlanjut di ruang riil (offline) secara konvensional. Pada prinsipnya dalam realitas cyberculture yang sedang kita hadapi saat ini, gejala cyber terrorism ini menunjukkan adanya reaksi yang berasal dari tindakan individu atau kelompok subkultur baru yang turut ‘bermain’ dalam ruang maya. Artinya, subkultur dapat diartikan juga sebagai budaya tandingan (counterculture), yang didominasi budaya induk. Namun saya kurang setuju jika tindakan ini berujung pada diskursus mengenai “Hacker” yang sudah menjadi bagian dari cybersubculture. Fenomena ini belum menemukan istilah yang pas menurut saya, sebab dalam buku Cyberculture: Key Concepts ( 2004: 85) istilah “Hacker” dijelaskan, Individuals who use their knowledge to violate security on protected computer systems are known as hackers, but the term is also used as a general description of people with an interest or career in programming. Lagipula perdebatan soal identitas ‘Hacker’ agak sedikit disalah artikan dengan ‘Cracker’. Cracker diangap orang yang mampu ‘membuka’, memecahkan (breaks) keamanan copy software suatu program. Senada dengan itu, Douglas Thomas, pernah menyebut “Hacker” sebagai a group of computer enthusiasts who operate in a space and manner that can be rightly defined by a sense of boundless curiosity and a desire to know how things work. (Thomas, 2002 : 3). Akhirnya, saya berpendapat “budaya hacker” (hacker culture) dapat ditafsirkan sebagai cara hidup yang menggolongkan dunianya semata pada teorisasi komputer. Teknologi komputer dan digital yang mulai menghantui keseharian hidup kita disertai beragam fasilitas situs (seperti facebook, twitter, dan chatting room) yang membantu memperkuat jejaring sosial. Sebuah fakta baru ditemukan, membuat saya harus memblokir (block) ‘kiriman hadiah-hadiah itu’. Tentunya, “virus-virus” yang sempat mengganggu di halaman wall facebook saya itu hampir merusak kepercayaan (trust) jalinan pertemanan saya. Selain juga berdampak lanjut pada sistem operasi komputer kita jika sampai itu terjadi meluas. ‘Virus’ jelas telah merugikan hubungan pertemanan saya karena mengganggu hubungan komunikasi yang sebelumnya baik menjadi buruk. Anggapan dan dugaan negatif muncul terlebih bila itu sudah menyinggung privasi kita. Kebebasan kita berkomunikasi lewat facebook semakin dihantui adanya kiriman hadiah unik ini, yang lebih mengejutkan dari biasanya. Pesan saya, mungkin sekarang kita tetap harus waspada, jangan terlalu senang dulu menerima pemberian hadiah dari teman kita meski itu bersifat ‘semu’, tetapi banyak orang mempercayai kiriman itu menandakan suatu jalinan yang lebih erat dari sebelumnya dan cenderung mengekspresikan perasaan masing-masing penggunanya. Berikutnya, yang perlu dikritisi, apakah kita bisa betul-betul menghindarkan diri dari ulah cyber terrorism ini? Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun