Kuaduk santan yang berwarna kuning karena bercampur dengan kunyit bubuk. Pikiranku juga sama, teraduk-aduk. Masih jelas dalam ingatan ketika tadi pagi bertemu dengan Nyonya Juminten di warung.
"Ngapain beli santan dan kunyit instan?" Ia menyelidiki sambil mengintip-intip belanjaanku.
"Oh, Reno minta dibuatkan nasi kuning, Bu. Kalau pakai kelapa dan kunyit asli kan lama bikinnya. Maaf saya permisi dulu."
Sudahlah, buat apa mengingat nyonya sepuh itu? Rasanya aku bagai memasak di dapur MasterChef dan mendapat skor buruk dari Chef Juna karena pakai kunyit instan. Padahal sebenarnya malas marut kunyit.
Sejam kemudian, nasi kuning matang. Aku mengambil sepiring nasi kuning, kusandingkan dengan telur dadar dan kering tempe. Untung masih ada tempe goreng sisa kemarin, kupotong-potong dan kubumbui lagi. Untung juga kemarin Mbok Warni memberi 2 butir telur si blorok, ayam betina piaraannya.
Di tanggal tua, makan nasi kuning dengan lauk ini berasa sangat mewah. Semoga Reno lekas pulang dari masjid sehingga kami bisa makan bersama. Ayahnya? Aku hanya bisa bertemu dalam mimpi karena ia telah gugur setahun lalu.
Tok-tok-tok!
Kubuka pintu dengan segera. Ternyata ada Mbak Ir.
"Maaf Bu, saya disuruh ama Nyonya Juminten. Katanya mau minta nasi kuning." Ujarnya sambil membawa piring kosong.
Masya Allah! Masakanku yang sangat sederhana masih diminta oleh sang nyonya yang memakai gelang entah berapa puluh gram beratnya? Namun aku ingat pesan almarhum suamiku untuk selalu berbagi.
Segera kuambil piring itu lalu kuisi dengan nasi kuning dan lauknya. "Bilang ya ke Nyonya Juminten, maaf saya masih belajar masak. Takutnya keasinan."