Mohon tunggu...
Aerha Hakeem
Aerha Hakeem Mohon Tunggu... lainnya -

Mengumpulkan serpihan mutiara ||Site: www.alislam.org; www.mta.tv|| ||Email: aerhajamai@gmail.com|| ||Twitter: @arshaorabu||

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syariat Islam, Solusi atau Ilusi? Bag. II

1 September 2013   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasrat membentuk Negara Islam dengan menerapkan undang-undang dan hukum berdasarkan syariat Islam sampai sekarang masih bersarang di dalam nafsu sebagian golongan yang terus bermimpi untuk menyempurnakan hasrat tersebut sehingga sekularisme menjadi najis di telinga mereka, padahal selama ini kita dibiarkan tetap hidup menjalankan segala aktifitas duniawi dan spiritual oleh Tuhan dalam tameng sekularisme.

Sebenarnya judgement terhadap sekularisme menjadi buruk karena diartikan berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita harus mempunyai definisi yang jelas mengenai apa sekularisme itu, dalam konteks masyarakat majemuk maupun mayoritas muslim. Mengenai ‘Sekularisme’, beberapa orang mengartikannya sebagai suatu negara atau pemerintahan, yang irreligius atau areligius, yaitu tanpa agama / tidak beragama. Yang demikian itu bukanlah definisi yang absolute benar, dalam pengertian ‘Sekularisme’ yang sebenarnya.

Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV – Imam Jemaat Muslim Ahmadiyah IV r.ha., menjelaskan mengenai ‘Sekularisme’ bahwa “ia hanyalah berarti suatu pemerintahan yang tidak akan memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan keadilan dan perkara kehidupan sehari-hari dari orang-orang di dalam negara itu, dengan mengambil pandangan dari salah satu Kitab Tuhan, atau ketentuan agama. Pemerintahan ini hanya semata-mata akan mengikuti pada ketentuan yang berhubungan dengan kedamaian, ketentuan keadilan dan ketentuan dari kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Inilah arti yang benar dari ‘Sekularisme’, yang berlaku.”

Perhatikan dan telaah-lah definisi yang tertera di atas! Definisi tersebut adalah persis seperti definisi dari pemerintahan yang dianjurkan oleh al-Qur’an. Begitulah seharusnya pemerintahan yang betul dan benar. Karena sekularisme ini tidak akan memasukkan salah satu kitab agama atau sunnah ke dalam undang-undangnya dan harus bebas dalam memberikan keadilan. Sehingga tidak ada pembedaan atau diskriminasi kepada pihak lainnya, antara pengikut satu agama dengan pengikut dari agama lainnya. Yang tidak akan membuat diskriminasi di antara partai yang terpilih di dalam pemerintahan dengan pemerintahan dengan partai oposisi terhadap pemerintahan. Pada saat berkuasa, maka jika mereka mengerjakan urusan kepemerintahan, mereka sepenuhnya akan melakukannya dengan jujur dan adil. Inilah sekularisme.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”(Q.S. al-Nisa [4]: 58)

Dari penggalan ayat di atas saja dapat kita lihat bahwa jika kita menggunakan hak untuk memilih, yaitu amanat, berikanlah kepada orang yang paling dapat mengerjakannya, alias ‘right man in the right place’ dan jika kita terpilaih dalam pemerintahan, maka memerintahlah dengan keadilan yang sepenuhnya. Dimana kata-kata dari al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang Islam untuk memerintah dengan syariat? Adakah? Kalau ada, silahkan tunjukkan. Setengah ayat juga tidak mengapa! Yang penting dalam pemerintahan itu adalah keadilan yang absolut, karena I’dilluu huwa aqrabu lit-taqwa (Q.S. al-Maidah [5]: 8), “kerjakan dan lakukanlah keadilan, karena adil itu lebih dari pada takut kepada Tuhan.”

Jika konsep dari para kiyai dan ulama, yaitu memerintah dengan syari’at itulah yang dianjurkan maka menurut saya itu bukanlah konsep yang diajarkan oleh al-Qur’an bahkan sangat jauh berbeda dengan al-Qur’an. Itulah sebabnya tidak sedikit yang menolak konsep mereka tersebut. Sehingga, jika orang-orang sekuler yang menyuarakan tentang sekularisme dan tidak menyarakannya atas nama mereka sendiri, tetapi jika mereka merujuk dari ayat al-Qur’an tadi, maka para kiyai dan ulama itu akan dilucuti tidak berdaya. Karena dengan demikian bukannya pertempuran antara orang beragama dengan orang yang tidak beragama lagi, tetapi pertempuran antara orang yang mengikuti al-Qur’an (orang Sekuler) dan orang yang berbicara atas nama al-Qur’an, namun tidak ada buktinya dari al-Qur’an.

Pertama, tidak ada satu konsep tunggal tentang syari’at dalam perkara hak azasi manusia. Dimana pun itu, perkara itu tidak akan ditemukan. Dalam hubungannya dengan Tuhan, apa saja yang para kiyai atau ulama nyatakan kepada pengikutnya, apakah ada perubahan? Bagaimana pun cara shalat seseorang, apakah itu diterima atau tidak oleh Tuhan, tidak ada yang bisa memutuskan, karena semua itu diketahui setelah kehidupan ini berlalu. Oleh karena itu, lakukanlah apa yang kita sukai, karena segala sesuatunya akan diselesaikan oleh Tuhan.

Tidak ada di dalam pemerintahan manapun di dunia ini yang terdiri dari satu golongan saja. Jika orang yang berasal dari berbagai macam golongan hidup bersama dalam suatu negara dan menikmati hak-hak azasi manusia dari negara tersebut, maka bagaimana mungkin kita dapat berlaku adil, jika kita mencoba berusaha menerapkan syari’at kita terhadap mereka? Apakah yang seperti itu yang dikatakan adil berdasarkan al-Qur’an? Imposible! Hanya satu ukuran yang dapat digunakan untuk menerapkan dengan adil dan tidak ada lagi ukuran yang memungkinkan lainnya, maka pemerintahan yang ada dalam benak orang-orang yang menginginkan syari’at Islam menjadi landasan konstitusi itu, tidaklah dapat diterapkan. Karena pemerintahan syari’at pertama-tama harus menetapkan apa syari’at yang akan diterapkan terlebih dahulu, sebab syari’atnya itu pasti akan berbeda dengan syari’at di tempat yang lainnya.

Orang-orang Syiah, Sunni, Wahabi, dan pengikut-pengikut Imam-imam Madzhab, membaca dan menafsirkan al-Qur’an berbeda-beda sehingga hukuman yang ditetapkan atas suatu kejahatan pasti berbeda juga antar golongan yang satu dengan yang lainnya. Bahkan, kadang-kadang satu perkara dianggap sebagai satu kejahatan besar oleh beberapa golongan, tetapi oleh golongan lainnya nampak sebagai satu perbuatan yang baik bahkan bisa mencapai tingkat kesucian yang semakin tinggi apabila terus mengulangi perbuatan tersebut. Jadi, syari’at mana yang akan dipakai dan dimana?? Terdengar sangat lucu memang. Mungkin agama lain yang mendengar keluguan ini merasa geli dan menertawakan kita dalam pergumulan mereka.

Jika digunakan syari’at dari sebuah golongan khususnya di Indonesia dan syari’at golongan yang lainnya di tempat lain atau negara lain dengan mengatas-namakan Islam, maka ada orang yang akan dibunuh di satu daerah, sedangkan untuk perbuatan yang sama di daerah lainnya akan mendapatkan kehormatan. Apakah gambaran Islam yang seperti itu yang akan kita tunjukkan kepada dunia? Bukankah yang seperti itu justru menimbulkan kesan kesadisan untuk Islam? Sungguh, ini adalah kejahatan yang dilakukan terhadap Islam dengan menyajikannya dalam bentuk yang begitu paradoksial. Syari’at dengan mengatas-namakan syari’at, tidak ada satu pemerintahan pun di dunia yang memiliki kewenangan, untuk menyajikan satu syari’at yang memiliki konsep yang disepakati bersama-sama, di dalam seluruh dunia Islam. Syari’at tidak boleh berbeda-beda. Maka ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi itu adalah buatan orang-orang, karena jika demikian maka Tuhan itu tidak ada. Ini bukanlah issue kecil yang berkaitan emosional dengan undang-undang Islam, sama sekali bukan begitu. Tetapi berupa issue yang harus diputuskan bagaimana dapat memberikan pengkhidmatan yang terbaik untuk Islam. Jika kita mengikuti yang demikian, maka kenyataannya, kita akan memiliki syari’at buatan manusia (man-made syari’ah), yang dibuat dengan mengatas-namakan dari Tuhan. Karena dalam syari’at Tuhan yang benar tidak boleh terjadi kontradiksi, setiap aturan dan perintah dari syari’at harus konsisten dengan aturan dan perintah lainnya dari syari’at. Sekali terjadi kontradiksi, maka seluruh syari’at akan nyemplung ke laut, segala konsep “Tuhan” akan terbuang. Karena Tuhan tidak memerintahkan hal yang berbeda-beda di dalam kitab yang sama, dan 180 derajat bertolak belakang. Inilah tantangan yang tidak dapat diterima, dimana apabila diterapkan tidak ada kuasa untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan tersebut, bahwa mereka akan menerapkan syari’at Islam. Tidak ada lagi satu konsep syari’at yang tertinggal. Jika kita menerapkan syari’at dengan mengatas-namakan Tuhan, maka yang kita lakukan adalah “man-made” syari’ah buatan. Jika syari’atnya itu adalah syari’at Tuhan, maka pasti semua pun setuju. Jadi apakah orang-orang akan diatur dan diperintah oleh orang-orang dengan menggunakan atas nama Tuhan? Maka siapakah yang memiliki kewenangan dari Tuhan? Kiyai atau ulama? Mereka akan membunuh orang-orang dengan atas nama Tuhan, dimana Tuhan tidak akan mendukung argumentasi yang menjurus pada pembunuhan dari orang-orang yang tidak berdosa. Karena, jika demikian, “Tuhan” yang sama akan berbicara lain di negeri tetangga lainnya, dengan menggunakan nama Islam yang sama.

Maka hal ini sudah sangat jauh menyimpang dari zaman Hadhrat Rasulullah saw. Islam tidak lagi menjadi yang tidak dapat dipecah belah, tidak lagi berupa satu-kesatuan. Jadi apa pun yang mereka kerjakan, mereka tidak menerapkan syari’at dari al-Qur’an, yaitu syari’at yang diturunkan kepada Hadhrat Rasulullah saw., dimana pun di dunia ini.

Ada hal lainnya yang juga penting di dalam konteks ini, yaitu issue mengenai azas-azas dari kepemerintahan. Kembali pada issue azas kepemerintahan, dalam arti bahwa jika kita menerima satu prinsip azas untuk diberlakukan, maka azas ini juga harus sama-sama diberlakukan, dimana saja di bagian dunia yang lainnya juga. Atau, jika tidak begitu, maka akan terjadi perlakuan berbeda, atas issue yang sama, di negara-negara yang berbeda, yang bertentangan dengan ketentuan dari keadilan. Apa pun yang Islam miliki untuk digunakan pada dirinya sendiri, maka haruslah memberikan hak sama bagi yang lainnya juga, kalau tidak demikian, maka Islam akan dikatakan sebagai agama yang paling tidak adil, unjustice. Jika Islam menetapkan suatu keharusan untuk taat dalam memerintah dengan agama mereka, tidak jadi soal apakah mereka itu orang yang termasuk dalam agamanya atau tidak, maka hak-hak ini pun harus diberikan secara luas dengan otomatis kepada seluruh negara-negara di dunia. Karena tanpa prinsip ini, maka mayoritas dari orang-orang, jika mereka itu termasuk pada satu golongan agama, maka secara otomatis, dengan mengambil keuntungan sebagai pengikut dari satu golongan agama, yaitu hak-hak untuk memaksakan agama mereka terhadap golongan lainnya yang minoritas.

Inilah azas yang prinsip tersebut. Kita tidak bisa mempertahankan azas ini, pasti tidak, untuk tidak digunakan oleh negara-negara lainnya di dunia. Jadi apa yang kita ajak dari mereka adalah kesulitan besar, di seluruh dunia. Kita memberikan hak kepada Muslim di satu tempat, untuk menggunakan syari’at dalam mengatur pemerintahan terhadap semua penduduk, maka pemerintahan Hindu di India, di Nepal dan di mana saja, mereka pun akan memainkan hak yang sama. Dengan demikian, mereka akan memerintah kita dengan undang-undang mereka pula. Sebagai contoh, dalam undang-undang Manussamalty, Pengadilan Hindu. Pengadilan Hindu ini sangat keras dan jauh lebih kejam daripada apa yang para kiyai atau ulama dapat bayangkan. Setidaknya, para kiyai dan ulama itu mengajak Ulama Hindu dalam hal yang sama ini. Baiklah, yaitu untuk melakukan kekejaman dengan atas nama Tuhan, dan di sinilah tempatnya. Manussamalty membawa perkara ini pada suatu pandangan, yang para kiyai atau ulama tak dapat menandinginya.

Salah satu contoh undang-undangnya, menurut Manussamalty, jika seseorang pandita Hindu membaca kitab-nya, Weda, dan seorang non-Hindu, umpamanya seorang Muslim, jika ia kebetulan sebagai minoritas, berjalan lewat dan mendengar khutbah dari Weda, maka ia harus ditangkap dan dihukum dengan menuangkan cairan timah panas ke dalam telinganya, karena ia tidak layak untuk mendengarkan kata-kata suci dari kitab itu, karena katanya yang begitu itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan, untuk orang minoritas, atau dari kelas Sudra untuk mendengarkan kata-kata suci Weda. Itu hanyalah salah satu contoh dari Manussamalty, jika kita membacanya, akan lebih mengerikan lagi, begitulah agama Hindu, mempersyaratkan ketentuan-ketentuan untuk memperlakukan orang-orang yang bukan Hindu. Jadi, jika kita ingin menerapkan syari’at Islam dalam satu pemerintahan negara, maka kita harus sudah membuat komitmen, terhadap semua pelanggaran hak azasi manusia dengan kekejaman yang begitu dahsyat, yang dengan mengatas-namakan Tuhan. Apakah lebih dari 20 juta Muslim di India, dapat mengizinkannya? Mereka, yang menginginkan pemerintahan dengan memformalisasikan syari’at islam itu hanyalah bermain-main dengan api, seperti halnya anak-anak, mereka tidak tahu apa yang mereka permainkan itu, mereka tidak mengerti implikasi dari issue tersebut. Hanya karena perasaan sentimen terhadap beberapa perkara, dan yang tidak dapat menyelesaikan issue mengenai kemanusiaan yang serius, seperti halnya dalam pemerintahan dan sebagainya. Benarkah demikian? Bagaimana pun juga hal ini harus sampai kepada seluruh orang-orang di negera yang ingin menegakkan syari’at Islam karena kemayoritasan. Biarkanlah mereka mendengarnya, apa yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan apa yang diminta oleh akal sehat atau common sense.

Jadi, perkara ini jelas tertolak mentah-mentah, tidak dapat digunakan, tidak adil, tidak wajar, unfair, unjust, dan dapa menyeret dunia Islam ke dalam kesulitan yang sedemikian besar, yang dimana mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri lagi dari kesulitan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun