Di sebuah rumah megah di pinggiran kota, hiduplah Bobby, seekor kucing berbulu abu-abu dengan sorotan mata tajam seperti sedang memikirkan nasib bangsa. Bobby bukan kucing sembarangan. Dia dipelihara oleh Wowo, seorang politikus senior dari Partai Gurinda, yang gemar berbicara tentang "kedaulatan kucing" di setiap pidatonya. Bahkan ia terkenal dengan istilah "Meong Asia".
Bobby tumbuh menjadi kucing yang pintar dan manipulatif. Setiap kali Wowo pulang dari rapat partai, Bobby akan duduk manis di sofa, mendengarkan dengan serius sambil mengangguk kecil, seolah-olah memahami segala strategi politik Wowo. Wowo sering berkata, "Kalau Bobby ini manusia, pasti dia jadi ketua partai! Lihat saja, pintar sekali!"
Namun, hubungan Wowo dan Bobby tidak selalu harmonis. Bobby mulai memperhatikan bahwa Wowo lebih sering bicara tentang "perjuangan" daripada memberi makan tepat waktu. Suatu malam, saat Wowo sedang sibuk menyusun pidato besar tentang kemandirian nasional, Bobby menyelinap ke dapur dan menemukan lemari makanan kosong.
"Begini caranya dia memperjuangkan kedaulatan kucing? Makananku saja tak terurus!" gerutu Bobby sambil menjilat bulunya.
Hingga suatu hari, sebuah kejadian besar terjadi. Wowo kalah dalam perebutan kursi ketua partai. Lebih parah lagi, Wowo terpaksa "bergabung" dengan rival politiknya, Nono dari Partai Gorong-Gorong, demi menyelamatkan kariernya. Ironisnya, Wowo kini menjadi "pembantu" politik Nono, sebuah posisi yang sebelumnya ia cemooh habis-habisan.
Bobby, yang selalu memandang Wowo sebagai pemiliknya, kini menyaksikan perubahan aneh. Wowo mulai membawa pulang makanan kucing yang diberi label Partai Gorong-Gorong, lengkap dengan slogan "Kucing Sejahtera, Pemilik Bahagia!"
"Wowo, kau ini bagaimana?" pikir Bobby. "Dulu kau bangga berbicara soal integritas dan prinsip. Kini kau malah menjilat mangkuk orang lain."
Di sisi lain, Nono tampaknya menyadari potensi Bobby. "Kucingmu ini tampaknya lebih cerdas daripada kamu, Wowo," kata Nono suatu hari sambil tertawa. "Mungkin sebaiknya aku jadikan dia juru bicara partai!"
Wowo hanya tersenyum kecut, tapi Bobby menatap Nono dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Dalam hati, Bobby berpikir, "Mungkin aku memang harus ambil alih. Kalau manusia-manusia ini tak mampu menjaga prinsip, biar kucing yang turun tangan!"
Sejak itu, Bobby mulai memanfaatkan situasi. Ia mengatur waktunya sedemikian rupa, menjilat bulu di depan Nono saat ada kamera, dan mencakar-cakar meja Wowo saat mereka berdua sedang rapat. Setiap langkahnya diperhitungkan dengan cermat, seperti seorang politisi sejati.
Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya Bobby mendapat julukan baru di media: "Sang Kucing Elit."