Mohon tunggu...
Emha Aedhir
Emha Aedhir Mohon Tunggu... -

saripati kumpulan pikiran yang terbuang. catatan tercecer seorang diplomat. laksana menoreh buku harian. ditulis di sela bunyi tik-tok cuckoo clock. lahir di kampung seberang. di sebuah kota pantai yang mulai kehilangan eksotikanya. garis tangan membawanya \r\nberlayar jauh. mengharuskan berkantor di pejambon \r\nno.6 jakarta pusat. karunia tuhan berbicara. destiny \r\nmenitip amanah. agar profesi ini memberi manfaat bagi \r\nbangsa dan negara (twitter @emteaedhir)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cuckoo Clock

16 Maret 2011   21:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dadang bergegas keluar dari perut gerbong U-bahn 6 di stasiun Wahringer yang membawanya
dari Florisdorp. Langkahnya berbaur dengan penumpang lain yang tergesa-gesa memburu senja yang segera berganti malam. Hampir saja ia menabrak kakek tua yang melintas di hadapannya.

"Passl mal auf kleiner!" labrak orang tua itu menyumpahi. Dadang hanya menjawab dengan raut muka bersalah, "onjoligung" sembari mempercepat langkahnya. Ia harus memburu bus-40 agar bisa sampai ke rumah sebelum magrib. Dadang tak sabar menyetel CNN dan berharap ada berita lengkap mengenai Merapi.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen di Dobling, pikirannya berlomba dengan running text
berita yang dibacanya sekilas di sebuah layar tivi terpampang di Shopping City North. Berita Gunung Merapi kembali meletus dan mengeluarkan lavanya. Kali ini asap debu dan goncangannya dikabarkan sudah mencapai radius kota kelahirannya. Padahal Dadang baru saja mengeposkan paket untuk ayahnya di Desa Babadan. Sebuah cuckoo clock yang dibelinya dari tabungan selama lima tahun studi master dan PhD-nya di Wina, Austria yang setahun lagi akan tuntas.

Dadang tahu keinginan ayahnya dari Pakdenya. Sunarto, saudara ayahnya yang paling bungsu memberitahu kalau sang ayah sangat menyenangi cuckoo clock milik Pak Tarman, Kepala Desa Babadan yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka. "Ayahmu saban kali maen ke rumah Pak Tarman suka memuji bunyi cuckoo clock yang katanya sangat khas" ujar Sunarto ketika Dadang memutuskan untuk mengambil tawaran bea-siswa dari Universitas Wien, Austria sehabis memenangkan kompetisi peneliti terbaik LIPI 2005 "Kata Pak Tarman, barang seperti itu banyak dijual di negara yang akan kamu datangi" tutur Pakdenya.

Ingatan Dadang melayang jauh ke belakang. Belasan tahun silam. Melintas percakapan berdua dengan ayahnya saat ia menerima surat yang menginformasikan namanya termasuk di antara 12 siswa SMA se-Magelang yang diterima di UGM melalui jalur jaringan khusus PMDK. "Nduk, kamu diberi jalan oleh Tuhan ke sekolah lebih tinggi. Bukan untuk sekedar menjadi pandai. Tetapi agar kepandaianmu bisa kamu gunakan untuk mengubah desa ini menjadi lebih baik," ujar ayahnya sembari melipat kembali surat itu ke dalam amplopnya.

"Jadi Ayah mengizinkan aku ke Yogya?" tanya Dadang gelisah. Karena ia tahu, keluarganya tidak punya cukup uang untuk membiayai sekolahnya di Yogya. Apalagi masih ada dua adiknya, Yana dan Tudiono yang membutuhkan biaya pendidikan serupa. Ayahnya hanyalah seorang petani bajakan yang mengerjakan sawah orang lain. Berpindah-pindah dari satu musim ke musim lainnya. Dari satu dusun ke dusun yang lebih jauh. Sesekali membajak sawah Pak Tarman beberapa musim jika pekerjanya memutuskan memburu nasib di Jakarta.

"Le, ayahmu ini meskipun baru bisa baca setelah kawin dengan ibumu, tahu hanya ini celah buat kamu. Kesempatan ini tak akan kembali lagi jika kamu melepaskannya!". Dadang merasakan ada nada getir sekaligus pita suara yang bergetar ketika sosok kokoh yang membesarkan dirinya selama ini menyebut ibunya. "Almarhum ibumu akan sedih kalau kamu dan adik-adikmu hanya bisa meneruskan nasib ayahmu yang pahit ini dan bukan mengubahnya," ujar ayahnya sendu. Dadang tak mampu menahan kegalauan hatinya melihat perawakan sosok yang sangat dikasihinya. Dulu tangan ayahnya yang kasar seperti ditumbuhi akar pohon, kini terlihat seperti kulit kayu yang terkelupas dimakan usia.

"Le, kamu pergilah. Raih impianmu dengan kesempatan ini. Jangan risaukan biayanya. Lagi pula, saya masih menyimpan taspen dan sedikit tabungan ibumu. Kamu harus tahu, meskipun almarhum ibumu hanya seorang pengajar di sekolah inpress desa sebelahan, ia selalu punya keyakinan kamu dan adik-adikmu ingin sekolah yang lebih tinggi. Sebelum penyakit itu merengut dirinya, ibumu menitipkan siampanan yang ia yakini akan kamu butuhkan nanti." Tenggorokan Dadang terasa kering mendengarnya. Air matanya hampir jebol, keluar dari bola mata kaca yang sedari tadi ditahan. Hening cukup lama menyelimuti percakapan mereka berdua. dadang lebih banyak tertunduk dengan tatapan yang tidak lepas dari amplop yang diterimanya pagi tadi dari pegawai pos desa. Sementara jemari ayahnya terus memainkan lentingan kretek yang sesekali dibentur-benturkan ke gelas kopi yang sejak tadi kosong tersedot.

"Le, sebenarnya Ayahmu ini malu dengan cuckoo clock yang ada di rumah Pak Tarman," tutur ayahnya lirih. Dadang sendiri bingung. Kenapa cuckoo clock itu harus membuat ayahnya malu. Dadang melihat tatapan ayahnya menerawang jauh ke luar jendela. Menerobos deretan pohon bambu kuning lebat yang memagari rumah Pak Tarman, satu-satunya rumah megah di Desa Babadan. "Setiap kali ayahmu berkunjung ke rumah Pak Tarman, berlama-lama ngobrol, saya merasa cuckoo clock itu suka mengejek kebodohan saya," dadang terpekur diam menunggu kalimat selanjutnya. Ia tidak suka mendengarnya, tetapi itulah kepahitan hidup yang sering tercetus dari  sarkasme ayahnya. Seorang petani yang bermimpi melihat anak-anaknya tidak akan memikul pacul yang sering dibawanya ke sawah.

"Cuckoo clock itu seperti menyanyikan mars kematian setiap jamnya. Mengingatkan ayahmu untuk melihat ke belakang. Apa yang ayah siapkan untukmu dan adik-adikmu? Kadang-kadang seolah ikut menghitung hari-hari ayah yang sama setiap harinya. Sedikitpun nasib yang tak  berubah. Meski nyanyian cuckoo clock juga selalu sama setiap harinya. Ayah hanya berdoa semoga surat panggilan yang kamu terima bisa mengubah segalanya. Kecuali bunyi cuckoo clock itu," Kalimat terakhir ayahnya terus terngiang di telinganya hingga Dadang terbangun dari lamunannya. Bus 40 ternyata dua blok lagi dari halte terakhir berjarak seratus meter dari apartemen yang ditinggalinya.

Dadang tak sabar menghidupkan tivi channel berita CNN. Semuanya diberitakan lengkap dalam suasana muram. Ia hanya mengingat pembawa berita membacakan teks yang sudah diduganya. The loss and damage in Desa Babadan, Kecamatan Dukun, Magelang is overwhelmingly and completely devastating. Sedatik kemudian, Dadang tahu apa yang harus dilakukannya. Menelpon dan text messaging. Sayang, hasilnya nihil. Satu-satunya balasan sms yang diterimanya dari adiknya, Tudiono. isinya, "Kami semua selamat. Kini ada di pengungsian. Ayah hanya tak bisa menghilangkan batuknya dan tak bisa tidur lelap,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun