Mohon tunggu...
Haeruddin Zulbahara Zamani
Haeruddin Zulbahara Zamani Mohon Tunggu... -

Nothing special with me. just an ordinary people....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

K.A.R.M.A…? (Bag. 8)

14 Juli 2011   22:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MILLENIUM BERDUKA. Aku menemui Laksmi keesokan paginya. Memintanya membantuku, untuk yang terakhir kalinya. Meski setengah hati, akhirnya ia mau juga membantuku setelah yoko turut meminta. Kuserahkan cincin perak tak berintan itu padanya. "Kau katakan padanya, suatu saat akan kuganti cincin itu dengan yang pantas untuknya...." Aku mungkin takkan pernah tau, akankah cincin itu melingkari jari manisnya, atau teronggok disisi ranjangnya tak tersentuh kecuali debu dan jelaga. Aku berkalang duka, meski memupuk rasaku sedemikian besarnya, aku sadar ia tak terjangkau olehku. Singgasananya terlampau tinggi untukku. Sejauh ini, yang bisa kulakukan hanyalah menyandingkannya dihatiku. Aku sungguh tak berdaya. --------------------------------------- Akhir Desember 1999, ornamen natal terpasang disudut-sudut pusat perbelanjaan kota Tidak seramai idhul fitri maupun lebaran haji namun kemeriahannya tetap terasa. Bahkan olehku yang tidak merayakannya. Mungkin karna bersamaan dengan akhir sebuah millennium. Media cetak dan televisi ramai membahas kemungkinan terjadinya kekacauan komputer. Yang dapat berakibat pada semua sendi kehidupan masyarakat yang terprogram oleh computer. Mulai system transportasi hingga sistem perbankan. Aku tidak seberapa paham, sebab pada saat aku bahkan tak tahu bagaimana cara menggunakan benda secanggih itu, karena itulah aku tak mau repot-repot mencari tahu apa hubungnya teory chaos dan system computer itu. aku bermasa bodoh. Peduli amat dengan teori chaos yang tidak kupahami itu. peduli amat dengan akhir millennium. Aku ingat Natal tahun itu. bukan karena natalnya. Melainkan kejadian yang menimpaku dihari itu. aku pulang dari rumah bibiku selepas magrib. Disetiap akhir bulan, kami menjadi lebih sering berkunjung kerumah bibi. Alasannya, disaat itu persediaan ransum kami kosong, isi dapur ludes, kantong kosong maka satu-satunya cara bertahan hidup mengisi perut adalah berkunjung dirumah sanak saudara. Hujan gerimis merinai pelan. Hawa dingin yg ditimbulkannya meraup belulangku. Aku berlari kecil.kakiku lincah melompat kesana kemari Menghindari genangan air dijalan tanah yang becek. Rumah bibiku didekat sungai wanggu baypass kota kendari. Sekitar 500 meter dari tempat tinggalku. Cukup dekat, hanya beberapa menit berjalan kaki melewati jalan potong disebuah hutan kecil. Aku menyebutnya begitu, sebab bersemak tinggi dan berpohon banyak. ketika aku didalamnya, sekonyong-konyong hutan kecil itu berkabut. Seketika, aku diam tak bergerak. Kabut itu mengumpul bercahaya membentuk sketsa tubuh perempuan dan berjalan kearahku. Semakin lama semakin jelas. Ia perempuan yang selama ini kurindui, perempuan yang berbenam dalam kerinduanku yg mengakar. Ia tersenyum. Sangat indah, mata beningnya memijar syahdu penuh suka. Ia menghampiriku dengan senyumnya yang menawan, sebuah senyum terindah yang pernah kulihat. Aku mengangkat tanganku menyentuh pipinya. Ia menutup mata, merasakan lembut belaiku dipipinya. Dan ia memudar, berhalimun lalu sirna. Aku menitik air mata. Dadaku sesak seketika. Merasakan duka yang dalam, seolah aku telah kehilangannya untuk selamanya. Tubuhku menggigil, dingin seumpama berbaring dibalok-balok es. Rasanya begitu menyakitkan. Dengan tertatih aku tiba dan terjatuh tepat didekap kakak lelakiku. Badanku menggigil kedinginan, rasa dingin hingga menembus hatiku. Maroo, kakakku memapahku berbaring diranjang. Menyelimutiku dengan selimut yang tebal. Samar kudengar suaranya panik memanggil namaku lalu pandangan mataku memudar dan gelap. Saat sadar, Maroo bercerita padaku. Menurut Om Dami, tetangga sebelah yang pandai dalam pengobatan alternatif aku bertabrakan dengan mahluk gaib yang berdiam dihutan kecil itu. ia yang menghuni dalam hutan kecil itu adalah seorang wanita muda. Aku diam, aku memang bertemu dengan wanita muda itu. tapi dia yang kutemui adalah kekasih hatiku. Berhari-hari setelahnya, kadang rasa dingin itu datang membekap tubuhku. Saat itu yang bisa kulakukan adalah menggigilkan tubuhku dan melinangkan air mataku karena sakitnya. Entahlah tapi kurasakan, dibalik semua penderitaan itu seolah ada kerinduanku yang terbalaskan. Dan aku menyukainya. ........................ Suara terompet menggema diseluruh pelosok kota kendari. Malam tahun baru, menyambut millennium baru. Berbagai pernak-pernik tahun baru yang bernuansa perak terpasang dan meriahkan pergantian millennium saat itu. Aku baru saja membuka gerbang, malam itu aku ingin membaur dlm suka cita pergantian millennium. Berkubang duka berminggu mejengahku hingga ingin kukecap kemeriahan tahun baru itu. Sekedar mengecap, sebab kupikir berselimut murung lebih lama, mungkin akan merasuk pikiran picikku untuk mengakhiri hidupku. Baru saja kulangkahkan kakiku ketika sebuah motor Suzuki satria biru berhenti tepat didepanku. Yoko dan laksmi menghampiriku tergopoh. Laksmi berpias sendu, matanya sembab merembah duka. "d.. di..ah, meninggal.... 25 desember, dihari natal..........." ujarnya, lalu menangis sesugukan. Yoko membelai kepalanya. Ia menangis keras, dlm dekap kekasihnya. Aku diam tak bergeming, dunia yang kupijak serasa runtuh, indra penglihataku memudar dan pendengarku seolah tak berfungsi. Aku tak mendengar suara apapun, kecuali suara desah semilir angin yg berhembus sendu. Aku diam mematung. Laksmi memberiku sepucuk surat beramplop biru langit. "Diah menitip ini untukmu, lewat adik sepupunya disampaikan padaku...." Mereka pamit, sesaat sebelum motornya menderu laksmi tersenyum pilu padaku. "kau tahu, dia sangat mencintaimu. Ayahnya memaksakan ini terjadi........" air matanya bergulir. Merambat turun menggenangi pipinya. Ucapan laksmi seolah memberi perintah bagi pelopak mataku untuk menguras tetes airnya. Hatiku bergemuruh penuh duka. Aku jatuh, duduk dialas bumi yg merah bata. Terisak panjang. Dan anginpun berhembus pelan, malam merambat menyambut pergantian tahun. Dilangit sana, kembang api indah bertabur, suaranya memecah buana. Semakin bising diiringi bebunyian terompet tahun baru. Milenium baru, baru saja dimulai.

PASUNG JIWA

Aku berjalan tak tentu arah, hilir mudik kenderaan ramai memekik malam dgn bingar berpuluh terompet yang disuarakan serempak berbalas didalamnya. Belum lagi suara klakson yang dibunyikan bersahutan. Milenium baru menapaki detik pertamanya. Diatas langit yg gelap, kembang api berdentum indah menghias langit. Lewat tengah malam, jalan belum juga meregang. Jarum jam menunjuk angka 2.

Gemintang tak lagi berkerlapan. Ditutup mendung menggumpal diawang malam. Nampaknya sesaat lg hujan merintik. Lalu lalang kenderaan menggila. Mgkn enggan berkuyuban terguyur rinainya. Dalam sekejab jalanan melenggang sepi.

Aku melangkah menyusuri jalan tak tentu arah. Hatiku yg gamang membuatku terus melangkah Tak pasti. Jiwaku terpasung, sementara kakiku melenggang berat.

Suara petir menggelegar, mengawal rinai hujan lebat mengguyur bumi. Tumpah ruah seketika mengguyurku. Beku malam menusuk belulangku. Lelah melangkah kujatuhkan tubuhku ditrotoar jalan. Hujan kian melebat. Aku berbaring, menatap rinai hujan yg mengguyur bumi. Kupaksa mataku membuka tapi Aku hanya bisa memicing. Mataku memerih, aku menangis. Meneriaki malam, menangisi takdir burukku.

…………………………………………………………………………………………….

Rin membuka pintunya. Mendapati tubuh kuyupku dibawah desar hujan mengguyur didepan pintunya.

“Lihat, betapa bodohnya dirimu…!” ujarnya menarikku masuk. Aku berjalan menyeret langkah kakiku. Menyisakan jalur basah dilantai semen rumahnya.

Dari dalam kamarnya dikeluarkan handuk kering. Ia mengeringkan rambutku yang basah hingga tak satu tetes air menitik dihelainya.

“ada apa denganmu, sobat ?” ia bertanya risau sembari melepaskan kancing kemejaku yang basah. “kumohon, berkatalah sesuatu…”

Aku mematung, diam. Tak berkata. Bibir pucatku bahkan tak sanggup lagi bergetar. Apalagi menutur kisah. Aku diam. Hingga ia mengalungkan handuknya ditubuhku. Memelukku dari belakang. “kau slalu bisa mengandalkanku, kau tau itukan…?” bisiknya dikupingku. Berbulir air mata dipelopakku. Tak banyak. Tapi kurasakan mataku berkaca dan dadaku menyesak bergemuruh. Rin mendekapku erat. Sesaat aku merasa damai dan tak sendirian.

Hujan mereda dipertiga akhir malam. Mendung menggeser seketika. Dari sela jendela kaca aku memandang gemintang berkerlipan ditinggi langit. Mataku enggan memejam. Aku ingin melihat gemintang, hingga bengis sinar sang surya mengusirnya. Rasanya enggan melepas gemintangku.

Bersambung…………………………….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun