Mohon tunggu...
Adzkia Qonita Huwaidah
Adzkia Qonita Huwaidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Childfree: antara Kontroversi dan Realitas Sejarah

26 Juni 2024   23:29 Diperbarui: 26 Juni 2024   23:40 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Mbah memang dari dulu nggak pengen punya anak nduk" ucap Mbah Mardiyem sambil tersenyum tipis. Mbah Mardiyem adalah nenek-nenek sebatang kara yang suka sekali keliling desa dengan bosan di rumah sebagai alasannya. Saya ingat sekali saat itu saya merespon perkataan Mbah Mardiyem dengan hanya menganggukkan kepala sok paham meski sebenarnya sama sekali tidak peduli - jangan harapkan apapun pada anak umur tujuh tahun. Setelah saya besar, saya baru mengetahui alasan Mbah Mardiyem memilih tidak punya anak adalah karena dulu suami Mbah Mardiyem adalah pelaku kekerasan dalam  rumah tangga (KDRT). 

Alasan Mbah Mardiyem untuk tidak memiliki anak atau yang sekarang digadang-gadangkan sebagai childfree sangat bertolak belakang dengan alasan teman saya, sebut saja namanya Icha. Saya masih ingat Icha dengan semangat menunjukan foto dari artis favoritnya, Cinta Laura. "Adzki, Cinta Laura ternyata childfree loh, kaya aku." ucapnya menggebu-gebu. Saya menjawab Icha dengan sedikit sarkas "Bukannya kamu pengen childfree gara-gara Cinta Laura?," Icha saat itu terkekeh dan berkata " Salah, aku pengen childfree biar awet muda".

Malangnya Icha karena saat itu percakapan kami terdengar oleh ibunya. Ibunya Icha dengan bersemangat menasihati Icha bahwa mempunyai anak adalah 'kewajiban' dari perempuan dan childfree merupakan hal yang haram di agama Islam serta 'ajaran setan'. Setelah mendengar 'nasihat' dari ibunya Icha, saya kemudian menyadari bahwa childfree merupakan hal yang 'tabu' dan dianggap negatif oleh orang-orang di Indonesia. Padahal childfree meskipun berlawanan dari konsep pembentukan keluarga yang sakinah mawadah dan rohmah, childfree tetap diperbolehkan dengan syarat alasannya harus jelas dan syar'i.

Meskipun kerap kali dianggap negatif, perempuan yang memutuskan untuk childfree meningkat selama kurun waktu empat tahun terakhir. Berdasarkan DATAin BPS, pada tahun 2022 persentase perempuan yang memutuskan untuk childfree adalah 8% atau setara dengan 71.000 orang.

Sejarah Childfree

Rachel Chrastil, profesor sejarah di Universitas Xavier mengatakan bahwa Childfree bukan lah suatu hal yang baru. Pada awal 1500-an perempuan-perempuan di Eropa Barat Laut memilih untuk menunda pernikahan hingga usia pertengahan 20-an. Alih-alih menikah muda dan tinggal bersama mertua, mereka memilih untuk membeli rumah sendiri. Saat beranjak dewasa, mereka bekerja untuk menabung untuk mahar, untuk membeli linen, panci, dan wajan rumah tangga yang akan bertahan seumur hidup dalam pernikahan mereka.

Pada tahun 1800-an, tingkat kelajangan di Amerika Serikat meningkat sejalan dengan tingkat kelajangan di Eropa Barat. Hal tersebut karena semakin banyak perempuan yang percaya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan yang mereka inginkan dan memperjuangkan kesetaraan serta hak pilih tanpa beban membesarkan anak. Terlebih lagi, pada akhir tahun 1800-an, perkawinan dan melahirkan anak perlahan-lahan menjadi terpisah. Semakin banyak perempuan mulai membatasi kehamilan mereka dalam pernikahan, bahkan jika mereka menikah pada masa subur.

Puncaknya pada tahun 1900-an. Setidaknya 1 dari 5 wanita Amerika yang lahir antara tahun 1885 dan 1915 tidak pernah memiliki anak. Tingkat tidak memiliki anak yang serupa terjadi di seluruh Eropa Barat, Kanada, dan Australia. Menurut Donald T. Rowland dalam "Historical Trends in Childlessness" (Journal of Family Issues, 2007), Pada tahun 1800 dan 1900-an childfree tidak menjadi kontroversi karena mereka banyak yang tinggal di dalam lingkungan keluarga besar yang selalu ramai sehingga jika tidak ada anak tidak masalah.

Ketika childfree mengalami peningkatan pada tahun 1800-an di barat, di Indonesia sama sekali tidak demikian. Hal tersebut disebabkan adanya filosofi "banyak anak banyak rezeki" yang muncul karena adanya tanam paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830-1870. Karena dengan adanya kebijakan tersebut, maka penduduk pribumi yang punya banyak anak berarti punya banyak pekerja. Pandangan ini terus berkembang sampai pada tahun 1960 kontrasepsi diperkenalkan dan terjadinya pola dari agraris menjadi ke industri. Sesuai dengan pola yang telah terjadi di Eropa dan Amerika sebelumnya, perubahan itulah yang menyebabkan konsep childfree tersebar luas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun