Di tahun politik apapun yang dikatakan bisa mengundang beragam komentar baik yang pro maupun kontra, apalagi yang menyampaikan tokoh publik atau bangsa. Sebut saja kritik pedas pak Amien Rais beberapa waktu yang lalu terkait isu agraria membuat semua orang berkomentar dari yang mendukung sampai yang menolak secara keras kritikannya, bahkan sekaliber pejabat publik setingkat menteri balik menyerang dan mengancam segala. Belum lama ini juga, pidato Prabowo terkait kekhawatirannya bahwa Indonesia akan bubar di tahun 2030 menimbulkan polemik di tengah masyarakat, dari mulai politisi sampai rakyat biasa ikut berkomentar.
Media sosial untuk beberapa minggu ini penuh dengan isu agraria disusul dengan isu bubarnya bangsa. Entah ke depan, akankah isu yang hangat akan muncul kembali, seperti soal keterangan terdakwa kasus korupsi e-ktp, bung novanto tentang penyebutan nama 2 elit pdip yakni puan dan pramono yang menerima dana bagi2 proyek e-ktp. Satu hal yang menarik adalah tak ada yang kebetulan dalam politik, semuanya sudah di desain dari awal, apalagi di tahun politik. Semuanya tentu saja dilakukan untuk mempengaruhi opini publik terkait kinerja pemerintahan selama ini.
Opini publik dalam ilmu komunikasi dijelaskan sebagai pertukaran informasi yang dapat membentuk sikap, menentukan isu dalam masyarakat dan dinyatakan secara terbuka. Selain itu, opini publik bisa muncul karena adanya isu kontroversial yang muncul. Thompson mengemukakan bahwa publik tertentu yang mengahadapi isu kontroversi dapat mengeluarkan reaksi yang berbeda-beda sehingga menimbulkan kondisi yang juga berlainan, dimana perbedaan reaksi tersebut disebabkan oleh 3 hal yakni, perbedaan pandangan terhadap fakta, perbedaan terhadap cara mencapai tujuan dan terakhir perbedaan terhadap motif.
Maka tak aneh kalau isu agraria atau bubarnya Indonesia di tahun 2030 sukses menuai kontroversi di tengah masyarakat dari yang setuju atau mendukung sampai yang kontra dan balik menyerang. Semuanya tentu saja ditujukan untuk mempengaruhi opini publik terutama kepercayaan publik terhadap rezim yang berkuasa.
Lalu bagaimana isu kontroversi itu bisa mempengaruhi opini masyarakat. Ferdinand Tonnies mengemukan 3 tahap pembentukan opini publik yakni : 1. luftartigen position : tahap awal masuknya isu, bagaikan angin semrawut, tak terarah dan mengarah kesana kemari. 2. fleissigen position : tahap pembicaraan yang mulai terarah untuk membentuk pikiran yang jelas dan menyatu, sehingga tak aneh kalau data dan fakta bahkan mungkin asumsi akan muncul dan satu sama lain saling menguatkan atau justru meniadakan. 3. festigen position : tahap penyatuan pendapat atau bisa dibilang tahap kesimpulan.
Hal yang menarik dalam budaya politik di negeri ini, seringkali hanya sampai ke tahapan ke dua itupun tak sampai selesai, adu argumentasi lewat data dan fakta pada debat atau diskusi seringkali tak banyak muncul yang ada hanya asumsi semata yang mendominasi, sehingga perang opini yang ada tidak mencerahkan dan membangun kecerdasan bangsa, malahan membuat semrawut kondisi yang ada.
Semisal kemarin, ketika isu agraria dimunculkan saya tidak melihat komentar dari pejabat yang berkaitan dalam hal ini menteri agraria dan tata ruang bicara lantang dan membuka data-data yang ada, ini yang ngomong malah menko maritim, sehingga secara kewenangan tak nyambung, malah yang muncul adalah pertentangan. Ujungnya isu agraria jadi kabur dan digantikan dengan isu ancaman dan anti kritik.
Penting bagi kita untuk memantapkan budaya baru yang telah dirintis selama era reformasi, ketika kritikan menjadi hal yang biasa dalam budaya demokrasi. Kritikan yang mencerahkan adalah ketika kritikan tersebut diuji diruang publik (media) dan kaya akan data serta informasi yang tentu saja akan mempengaruhi opini publik.
Pemerintahan akan dianggap cerdas dan punya kapasitas ketika setiap isu yang sensitif di lawan dengan data dan fakta yang valid, bukan malah diam membisu dan menyerahkan semua urusan ke publik sehingga yang konflik bertarung adalah sesama publik sendiri yang sudah dari awal terbelah. Pejabat publik yang menarik penonton untuk menjadi pemain dan ikut permainan adalah pejabat publik yang tidak mencerahkan atau berkemajuan. Kita merindukan pejabat publik yang mumpuni dan berani tampil ke depan mempertanggungjawabkan kinerjanya, ketika ada yang mengkritisinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H