Banyak pihak yang tidak menyangka kalau akhirnya PDIP lebih memilih untuk mengusung pasangan hasanudin-anton untuk maju di pilgub jabar tahun 2018. Keputusan yang tidak biasa dilakukan itu serta merta memunculkan pertanyaan yang mendalam bahkan kecurigaan di banyak pihak, apalagi pada 2 Pilgub sebelumnya partai banteng ini mengusung calon yang populer bahkan termasuk jajaran tokoh nasional.Â
Tengok saja pilgub jabar tahun 2008 PDIP mengusung Agum Gumelar, tokoh nasional, mantan menteri dan pensiunan jenderal serta pernah mencalonkan diri di pilpres 2004 sehingga secara popularitas dan elektablitas dianggap tinggi dan dijagokan akan memenangkan pertarungan waktu itu (survey LSI). Kemudian pada pilgub tahun 2013 PDIP resmi mengusung Diah Pitaloka atau biasa disebut Oneng, seorang artis papan atas dan juga anggota DPR RI yang tentu saja tak diragukan lagi popularitasnya. Lalu kepana pada pilgub Jabar 2018 PDIP malah mengusung pasangan yang secara popularitas dan elektabilitas termasuk rendah (menurut beberapa surevy).Â
Ya langkah politik yang merupakan bagian dari strategi politik memang seringkali penuh dengan kejutan, cepat berubah dan memaksa semua pihak untuk berubah seperti halanya langkah politik gerindra yang mencabut dukungan terhadap demiz, dan menyeret 2 partai lainpun (PKS & PAN) untuk mengalihkan dukungannya dari demiz ke sudrajat.Â
Di sisi lain langkah politik pun bisa terlihat senyap, lambat, hati-hati dan cenderung melihat dan menunggu  (see and wait), percis seperti yang dilakukan oleh PDIP di Pilgub Jabar. Sikap dan langkah politik PDIP saat ini cenderung hati-hati walaupun memiliki jumlah kursi terbanyak di DPRD jabar (20 kursi). Barangkali kekalahan PDIP yang beruntun di 2 Pilgub sebelumnya yakni Banten dan DKI Jakarta sedikit banyak telah membuat kebringasan Sang Banteng rontok ditambah selama ini, partai pemenang pemilu di Jawa Barat ini selalu menelan pil pahit di pemilihan gubernur.
Ketika ke 3 calon pasangan Gubernur dan wakil gubernur Jabar 2019-20124 sudah semakin jelas yakni pasangan Sudrajat-Syaiku, Demiz-Dedi, dan Emil--UU, barulah PDIP bersikap dengan mengusung pasangan Hasanudin-Anton walaupun sebelumnya dikabarkan PDIP akan hinggap dipasangan Emil-UU.Â
Hasanudin sendiri berlatar belakang tentara, sementara Anton berlatar belakang polisi, sehingga secara basis keduanya hampir sama yakni sama-sama keluarga besar TNI dan Polisi.Â
Sekilas apanya yang menarik mengingat keduanya hampir memiliki basis yang sama, apalagi keduanya memiliki popularitas yang tergolong bontot di bawah kandidat lain (hasil survey beberapa lembaga). Namun kalau kita cermati lebih jauh, pasangan ini bisa saja menjadi pemenang di Pilgub jabar ke depan dan mendobrak tradisi kekalahan yang selama ini mendera PDIP, sedikitnya ada 4 alasan yang bisa  dipertimbangkan kala partai besutan mega ini memenangkan pertarungan, diantaranya :
Pertama, PDIP menguasai 20% kursi di DPRD Jabar atau 4,159 juta pemilih (19,63%) , dengan kata lain bisa bulatkan 20% pemilih di Jabar merupakan pemilih PDIP yang kebanyakan berada di bagian utara Jawa Barat. Jangan salah, sejarah telah membuktikan selama ini, bahwa di Indonesai hanya ada 2 Partai yang mempunyai basis masa yang loyal dan kuat, yakni PKS dan PDIP, sehingga di Pilgub Jabar saat ini minimalnya PDIP sudah mengantongi modal awal untuk memenangkan pertarungan dengan memiliki sekitar 20% suara.
Kedua, 3 calon pasangan yang lainnya sangat kental berlatar belakang islam, di koalisi Gerindra-PKS-PAN ada syaikhu yang mencerminkan perwakilan umat islamnya dan tak perlu aneh basis PKS yang merupakan kalangan islam dan tergolong loyal akan memilih pasangan ini, di koalisi yang lain Demokrat-Golkar ada Demiz yang juga merupakan representasi umat islam, punya basis kuat islam. Kemudian terakhir di koalisi Nasdem, PPP, PKB dan Hanura ada UU, tak perlu diragukan sosok UU merupakan representasi dari kalangan santri/pesantren. Dengan hadirnya 3 pasangan yang merupakan representasi kalangan islam, maka bisa dipastikan suara umat islam akan pecah terbagi ke dalam 3 pasangan, artinya secara jumlah akan kecil karena terpecah. Kondisi ini tentu akan menguntungkan pasangan yang mempunyai segmentasi pasar yang berbeda dalam hal ini PDIP.
Ketiga, PDIP telah memantapkan segementasi pemilih yang berbeda dengan pasangan lain. Langkah Moncong Putih menggandeng Anton yang notabene perwira tinggi kepolisiaan, tentu bukan tanpa dasar, jaringan keluarga kepolisian yang loyal ditambah sebagian jaringan keluarga tentara bisa menambah pundi suara mereka yang sudah start diangka 20%.Â
Apalagi selama ini anton cukup dekat dengan kalangan LSM lokal yang jaringannya cukup banyak di Jabar. Selain itu modal sosial yang dimiliki PDIP selama ini, harus kita akui lebih memiliki kedekatan dan hubungan emosional yang tinggi dengan kalangan minoritas baik dari segi kelas sosial, agama,maupun suku bangsa dibandingkan partai lain di Jawa Barat. Tentu ini merupakan keuntungan tersendiri ketika koalisi yang lain tengah merebutkan segmen yang sama, PDIP malah focus memilih garapan yang berbeda.