Mohon tunggu...
Adyan Ibrahim
Adyan Ibrahim Mohon Tunggu... -

Social Worker

Selanjutnya

Tutup

Politik

E-budgeting APBD DKI, Inovasi ataukah Modus?

13 Maret 2015   11:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:43 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik  e-budgeting APBD DKI kian mulai terang setelah tim angket DPRD DKI bekerja, sedikit demi sedikit mulai terkuak ada apa sebenarnya dengan penyusunan APBD DKI 2015 ini. E-budgeting dipandang menjadi lompatan atau inovasi dalam proses penganggaran yang dilakukan oleh Pemprov DKI dan akan menjadi terobosan teknologi dan sitem anggaran. Tentu dalam konteks itu publik dan masyarakat mengapresiasi itu, namun sebagai instrumen negara maka tidak serta merta dapat mengadopsi begitu saja tanpa melihat landasan hukum dan mekanisme serta sitem yang mengaturnya.

Selama ini publik tidak banyak diberikan menu berita selain dana siluman dan tidak disajikan menu lain bagaimana sebenarnya proses penganggaran dalam penyusunan APBD yang benar dengan instrumen hukum dan aturan main lainnya.  Tentunya sebagai instrumen negara maka pemerintah DKI dan DPRD harus berpijak pada landasan hukum dan aturan main yang ada dalam penyusunan APBD yang benar walaupun tidak menutup adanya inovasi-inovasi teknis didalamnya selama ada landasan hukum dan tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Sesuai dengan mekanisme maka penyusunan APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu alurnya adalah pemerintah daerah menyusun RAPBD atas dasar usulan dari setiap  perangkat daerah dalam bentuk Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) kemudian pemerintah daerah mengajukan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas, sebelum dibahas, DPRD menyosialisasikannya kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan dan setelah itu DPRD membahas RAPBD bersama dengan tim anggaran eksekutif. Tentunya tidak akan ada polemik APBD DKI apabila proses itu dijalankan, polemik dan konflik terjadi setelah Gubernur Ahok tidak mau melakukan pembahasan dengan DPRD dan hanya berpegang pada inovasinya dengan e-budgeting yang sebenarnya belum ada landasan hukumnya sehingga berakhir dengan digunakannya hak angket oleh DPRD DKI.

Dalam rapat  hak angket DPRD DKI dalam rangka menyelidiki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI dengan agenda mendengarkan penjelasan konsultan sistem e-budgeting untuk Pemprov DKI konsultan e-budgetig  Gagat menuturkan kepada panitia hak angket, tentang asal muasal penerapan e-budgeting bisa diterapkan di Pemerintah DKI Jakarta. Menurut konsultan e-budgeting tersebut  pada akhir 2013 Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan ada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berkunjung ke Pemkot Surabaya, untuk membahas perihal e-budgeting. Kemudian, Pemkot Surabaya sebagai perintis sistem ini memperkenalkan Pemprov DKI kepada dirinya.  Setelah itu kerja sama pun dimulai, beserta  4 orang timnya yang direkrut untuk menjadi konsultan atau tim IT guna menerapkan sistem penganggaran elektronik tersebut di  DKI. Didepan tim angket  Gagat mengaku kerja sama dengan Pemprov DKI dirinya tak membawa institusi, melainkan secara perorangan,  sistem e-budgeting nya dia tidak dijual ke pemerintah dan  hanya mendapatkan honor sebesar Rp 50 juta lebih untuk satu proyek. Bisa baca http://metro.sindonews.com/read/975250/171/ini-pengakuan-konsultan-e-budgeting-apbd-dki-1426083397.

Tentunya ini sebenarnya membingungkan dalam konteks sistem negara bagaimana sistem e-budgeting yang dilakukan oleh pemerintah hanya dilakukan dengan penunjukan langsung dengan proses yang seperti itu sebagaimana penjelasan Gubernur DKI Ahok. Baca: http://www.merdeka.com/jakarta/ahok-soal-gagat-dia-dikontrak-sebagai-tenaga-ahli-e-budgeting.html. Kita semua tentu mengapresiasi dengan adanya inovasi sistem yang dibuat untuk tujuan memperbaiki sistem penganggaran, bagaimana anggaran dapat sisusun secara sistematis, efektif dan tepat sasaran. Namun tujuan baik juga harus dilakukan dengan benar apalagi ini negara yang mempunyai aturan main, sistem dan prosedur bukan warung kelontong yang bisa sesuai mau gue. Kita harus dorong bahwa ada perbaikan sistem namun tentunya proses memperbaikinya juga harus mengikuti sistem dan aturan main yang ada, kita tunggu bersama bagaimana temuan yang sebenarnya terkait e-budgeting ini dalam prosesnya sehingga publik juga tidak hanya diarahkan pada yang penting tujuannnya tercapai namun juga bagaimana proses yang dilakukannya adalah sudah benar, tujuan baik tentu harus dengan cara yang baik. Apalagi justru APBD yang diserahkan ke Mendagri yang berupa e-budgeting ditemukan indikasi banyak penggelembungan lebih besar dari yang diwacanakan.

Baca: http://www.jpnn.com/read/2015/03/12/292071/Sekda-DKI-Akui-RAPBD-yang-Diserahkan-ke-Mendagri-dari-e-Budgeting.

http://www.jpnn.com/read/2015/03/11/291702/Mendagri-Temukan-Banyak-Indikasi-Anggaran-Selundupan-di-APBD-DKI

Publik jangan hanya diajak pada emosi wacana populis dan seolah inovatif, ajari juga bagaimana taat aturan  dan proses, itu juga tugas pemimpin....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun