Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan

Pegiat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengobarkan Spirit Tripusat Pendidikan

18 Juli 2016   23:05 Diperbarui: 18 Juli 2016   23:06 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Animo orangtua untuk mencari sekolah terbaik untuk anak-anaknya semakin bergeliat belakangan ini. Dinamika ini sebenarnya bukanlah ritual baru. Mencari sekolah bermutu untuk anak-anak sudah menjadi hajatan tahunan para orangtua menjelang penerimaan siswa baru, dengan harapan kelak anak-anaknya dapat menjadi manusia berkualitas wahid yang didamba dan diidamkan masyarakat.

Di era persaingan yang kian kompetitif seperti sekarang ini, orangtua nampaknya sudah sadar bahwa pendidikan tidaklah lagi dapat dideskreditkan sebagai hal yang tabu. Ibarat sebuah sistem transportasi kereta api, pendidikan harus dipandang sebagai lokomotif yang akan mengantarkan masyarakat menuju titik kulminasi kesejahteraan. Adapun sekolah, masyarakat, dan orangtua menjadi gerbong utamanya. Sebagai gerbong utama, maka orangtua, sekolah, dan masyarakat harus dipersepsikan sebagai unsur senyawa yang tidak dapat dipisahkan apalagi melakukan trikotomi antara satu dengan yang lainnya.

 Jika kita membuka lembaran sejarah bangsa, jauh-jauh hari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan tentang konsep tripusat pendidikan yang tidak lain adalah orangtua atau keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai komponen utama untuk menyukseskan tujuan mulia pendidikan. Mirisnya sekarang ini, dunia yang super sibuk yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar telah menggiring orangtua untuk memberat-bebankan urusan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah sepenuhnya. Alhasil, pihak sekolah yang tadinya berfungsi untuk menanamkan kecakapan akademis (membaca, menghitung, dan ilmu lain yang sifanya mencerdaskan) kini harus turun gunung untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang seyogyanya adalah tugas orangtua di rumah.

Yang terjadi selama ini, hanya sekolahlah yang aktif dan propokatif memberikan informasi kepada orangtua sehingga terkesan terjadi komunikasi satu arah. Tentu kondisi ini tidak begitu efektif karena tidak adanya umpan balik (feedback).

Kondisi pelimpahan peran pendidikan secara menyeluruh dari orangtua kepada pihak sekolah dewasa ini rapat hubungannya dengan kekeliruan paradigma masyarakat atau keluarga yang memahami bahwa pendidikan tempatnya (hanya) di sekolah. Anggapan ini tentu tidaklah salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Hemat penulis, pendidikan adalah upaya mentransmisikan ilmu pengetahuan tanpa harus mengenal waktu dan tempat (anytime and anywhere education). Ini berarti pendidikan dapat dilaksanakan kapanpun dan dimanapun, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.

Idealnya, sekolah harus memandang orangtua atau keluarga sebagai bagian yang berhak untuk memperoleh informasi yang jelas tentang kebijakan dan program sekolah, terlebih pula informasi tentang prestasi, kesulitan, dan kemajuan belajar peserta didik di sekolah.

Sebaliknya, orangtua pun sudah sepantasnya memahami bahwa sekolah membutuhkan keterlibatan mereka dalam menjalankan berbagai program yang diselenggarakan. Saran, kritik, dan partisipasi aktif orangtua sangat dibutuhkan sebagai bahan masukan dan ide dalam menyusun program dan kebijakan sekolah. Tak hanya sampai di situ, orangtua juga diharapkan dapat melakukan tindakan yang selaras dengan upaya sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik melalui pembelajaran dan pendidikan di rumah.

Sementara itu, masyarakat sebagai satu kesatuan tripusat pendidikan juga harus memahami urgensinya sebagai ruang inkulturasi bagi peserta didik. Masyarakat memiliki peranan yang sangat vital dalam rangka menanamkan nilai-nilai budaya yang pada gilirannya akan membentuk karakter luhur peserta didik. Memang dewasa ini, karakter luhur peserta didik sangat dibutuhkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadapi perang budaya dan peradaban (clash of civilization) yang memiliki tendensi untuk menyepak generasi muda menuju jurang dekadensi moral yang marak kita saksikan belakangan ini. Sebutlah saja freesexyang mentereng terjadi di kalangan pelajar.

Masyarakat atau faktor lingkungan (nurture aspects) mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap perkembangan fisik dan psikis daripada faktor genetik. Begitu besarnya pengaruh lingkungan pada perkembangan peserta didik sampai-sampai ahli ilmu jiwa anak, Watson mengatakan bahwa ia dapat melatih setiap bayi normal untuk menjadi apa saja yang diinginkan, baik itu dokter, ahli hukum, artis bahkan pengemis dan pencuri tanpa mempedulikan bakat, kemampuan, kecenderungan, dan ras anak itu. Karena itu, masyarakat diharapkan agar turut serta dalam menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.

Di lain sisi dan dimensi, masyarakat juga berfungsi untuk mengawasi (agen of control) jalannya roda pendidikan yang dilakukan secara didaktik-metodik oleh pihak sekolah sebagai mandataris pemerintah. Dalam hal ini, bukan hal yang tidak mungkin bagi masyarakat untuk turut andil memberikan kritik dan saran kepada pihak sekolah dalam hal perbaikan program dan kebijakan, termasuk masukan terhadap master design pendidikan mengingat tumpukan borok yang masih menggerogoti tubuh pendidikan nasional kita saat ini.

Sekiranya telah kita pahami bahwa mutu pendidikan akan tercapai apabila didukung oleh seluruh komponen pendidikan yang terorganisir dengan baik, dan ini harus mendapat perhatian secara integral-komprehensif oleh tiga aspek utama pendidikan yakni orangtua, sekolah, dan masyarakat. Penulis meyakini, tujuan pendidikan nasional yang diejawantahkan dalam UU No 20 Tahun 2003 hanya akan tercapai jikalau kita saling berjibaku untuk mewujudkannya. Jika kita mendambakan pendidikan yang berkualitas tanpa dibarengi dengan gotong royong antara komponen tripusat pendidikan, maka dengan masygul penulis juga meyakini bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya mustahil, namun bahkan akan jauh dari garis kemustahilan.

Makassar, Juli 2016

Dipersembahkan untuk bangsa dan negara tercinta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun