Jika belakangan ini kita marak melihat pejabat yang berwatak manusia binatang dan iblis, siapa yang paling tepat disalahkan jikalau bukan sekolah. Bukankan koruptor-koruptor yang tidak beres otaknya itu adalah lulusan dari sekolah sebelum akhirnya mereka menjadi pejabat korup? Bukankah anggota DPR, Pimpinan Partai, dan kepala daerah yang doyan menipu rakyat paling tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah nasional kita di masa lalu?Â
Lalu siapa pula yang paling tepat disalahkan jikalau bukan sekolah ketika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data bahwa kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun, dan sekolah menjadi lumbungnya. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan kekerasan secara signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus.
Lunturnya derajat kemanusiaan dan moralitas bangsa belakangan ini membuat kita terperanjat untuk menanyakan kembali sejauh mana sekolah menjalankan peran dan fungsinya sebagai wadah untuk mencetak manusia berakhlak mulia sebagaimana cita-cita pendidikan nasional yang diamanatkan dalam UU nomor 20 tahun 2003. Apakah sekolah telah mati sehingga perlu dihidupkan kembali?Â
Bisa jadi, karena sesuatu dapat dikatakan telah mati ketika ia tidak dapat berfungsi lagi sebagaimana mestinya, seperti sekolah dewasa ini yang tidak lagi mampu mencetak manusia yang seideal-idealnya sebagaimana hakikat dan fungsi sekolah.Â
Sekolah pada dasarnya adalah bagian dari instrumen transformasi sosial yang memiliki peran untuk mengantarkan masyarakat menuju peradaban yang lebih baik dan lebih menusiawi.Â
Tetapi akibat globalisasi yang menuntut persaingan di segala aspek seperti sekarang ini, perlu dipahami bahwa sekolah memang dapat mempercepat perkembangan masyarakat, namun di sisi lain harus pula disadari bahwa sekolah dapat ditunggangi oleh penguasa atau kalangan elit untuk membelokkan nilai-nilai masyarakat melalui penetrasi hidden curriculum ke dalam kerangka kurikulum nasional.Â
Oleh karena itu, sekolah sebagai instrumen kebudayaan telah hadir di tengah-tengah masyarakat dengan membawa dua wajah sekaligus, wajah manis sekaligus wajah bengis.Â
Di satu sisi sekolah dipandang sebagai alat untuk memanusiakan manusia, namun di sisi lain sekolah juga membawa misi laten untuk memperalat manusia. Apesnya, di era globalisasi yang semakin kompleks, wajah yang kedua semakin mendominasi.Â
Alhasil, aspek moralitas kian gersang diajarkan di sekolah sehingga tak heran jika di sana-sini kian ramai praktik KKN dilakukan oleh pejabat negara yang dulunya pernah mengenyam pendidikan di sekolah.
Disadari atau tidak, sekolah telah memperalat masyarakat tidak lebih hanya sekedar alat-alat ekonomi. Tak menutup kemungkinan, sebagaimana dikemukakan Francisco Ferrer, marak dan "berkibarnya" sekolah sekarang ini bukan karena adanya kehendak pemerintah untuk mereformasi masyarakat, melainkan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak.Â
Dalam hal ini pemerintah mendirikan sekolah-sekolah dan kampus-kampus bukan karena mereka ingin mereformasi masyarakat melalui pendidikan, tetapi lantaran mereka butuh individu-individu, pekerja-pekerja, dan alat-alat pruduksi yang disempurnakan untuk menjadikan usaha-usaha perindustrian mereka semakin maju. Hal ini sejalan dengan perkataan Adam Smith bahwa sekolah adalah alat produksi yang mahal.