Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan

Pegiat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

1001 Tanya untuk Bapak Menteri Pendidikan

22 Juli 2014   19:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada kegiatan seminar nasional pendidikan yang digalar di Universitas Borneo Tarakan awal Mei 2014 lalu, Direktur Sekolah Guru Indonesia, Asef Sapa’at, memberikan saya buku karangannya berjudul Stop Menjadi Guru.Diberikannya buku tersebut lantaran saya memberikan jawaban bahwa ‘pendidikan kita saat ini telah berjalan pada rel yang tidak benar’. Jawaban ini atas pertanyaannya kepada peserta seminar bahwa ‘apakah konsep dan implementasi pendidikan Indonesia saat ini berada di jalur yang benar?’.

Saya ingat kala itu,beberapa peserta lain pun memberikan jawaban bahwa pendidikan nasional kita telah sesuai dengan koridor pendidikan dengan dalih bahwa peserta didik kita mampu menjuarai olimpiade internasional dan sebagainya.

Sungguh demikian kompleks ketika kita berbicara tentang pendidikan. Ini dikarenakan pendidikan menyangkut aspek di dalamnya, mulai peserta didik, kualitas guru, sarana prasarana dan berbagai aspek lainnya. Makanya jangan heran jika semua orang bisa memberikan perspektik yang berbeda tentang pendidikan. Di Indonesia sendiri, berbagai kaum dan golongan memberikan pandangan yang berbeda terhadap kondisi pendidikan nasional kita. Ada yang begitu masygul mengatakan bahwa pendidikan kita telah berada di jalur yang benar dan ada pula yang bersikukuh mengatakan bahwa pendidikan kita berada di jalur yang salah.

Memang, jika kita menengok secara pintas maka tidak ada yang salah dengan pendidikan nasional kita. Buktinya, dengan mudah kita melihat putra-putri Indonesia memenangkan olimpiade internasional, kontes robot, hingga riset tingkat internasional. Ini tentu menjadi kebanggaan dan indikasi riil suksesnya pendidikan kita.

Meskpin demikian, ternyata kita akan menemukan seonggok problema ketika kita menelisik secara detil kondisi kesehatan pendidikan nasional kita. Masihkah kita dapat mengatakan bahwa pendidikan kita berada di jalaur yang benar ketika anak bangsa harus melewati jembatan tali untuk sampai di sekolah? Masihkah dapat dikatakan bahwa pendidikan kita berjalan di jalur yang benar ketika anak bangsa harus mengayuh sampan atau ketinting untuk sampai sekolah? Masihkah dapat dikatakan bahwa pendidikan kita berjalan di jalur yang benar ketika anak bangsa harus membuka seragam saat menyebrang sungai ketika hendak menuju sekolah? Sampai kapan sebagaian anak bangsa belajar di gedung tua nan reyot yang kapan saja bisa runtuh dan mengancam nyawa? Apakah benar pendidikan kita berada di jalur yang benar ketika kita melihat output pendidikan kita yang sebagian menjadi manusia-manusia yang doyan korupis?

Apa yang harus kita banggakan dengan pendidikan nasional kita? Dimana suara lantang Anda, Bung? Masihkah dapat dikatakan bahwa pendidikan kita berada di jalur yang benar ketika ada sebagian orang tua harus menjual ginjal untuk membiayai pendidikan anaknya? Masihkah dapat dikatakan bahwa pendidikan kita berjalan di jalur yang benar ketika tawuran pelajar masih terjadi di sejumlah sudut-sudut kota di negeri ini? Tahukah Anda berapa jumlah anak bangsa yang menangis tersedu karena tak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan? Mampukah Anda menghitung berapa jumlah sarjana lulusan perguruan tinggi ternama yang kini mengonggok menjadi sarjana pengangguran? Dimana suara Anda, Bung? Masihkah Anda bangga dengan pendidikan nasional kita saat ini?

Seketika, Saya teringat dengan kata-kata Asep Sapaa’t, “untuk masalah pendidikan saat ini, Indonesia adalah contoh terbaik untuk tidak dicontoh.”

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu menjadi bahan kontemplasi untuk kita: untuk masyarakat, pemerintah, orang tua, stakeholder dan seluruh elemen yang bersentuhan langsung dengan pendidikan. Penulis yakin, masih banyak persoalan yang mesti kita benahi terkait wajah pendidikan nasional kita. Fesimis dan berpangku tangan tentu bukan solusi yang baik, tetapi bergerak, menggenjot diri, memperbaiki kualitas guru, memperbaikimanajemen pendidikan, dan mewujudkan pendidikan yang inklusifadalah solusi bijak untuk mewujudkan pendidikan nasional yang gemilang.

ADY AKBAR

Tarakan - Kaltara, 25 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun