Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan

Pegiat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orang Bodoh Dilarang Sekolah

8 Agustus 2014   15:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belakangan ini, dan hemat penulis ini adalah tradisi sekolah: memasuki tahun ajaran baru atau penerimaan siswa baru, sekolah mulai beramai-ramai bersolek dan unjuk gigi. Kebanyakan yang terjadi, semisal sebut saja sekolah A, mulai memasang standar tes atau nilai standar kelulusan (masuk) yang tidak tanggung-tanggung tingginya sehingga hanya sekelumit siswa-siswa cerdas yang mampu masuk di sekolah tersebut. Singkatnya, hanya orang cerdas yang dapat melanjutkan pendidikan di sekolah A. Artinya, siswa yang di bawah rata-rata, alias kurang pintar, alias bodoh, alias goblok, sudah bisa dipastikan tidak dapat masuk di sekolah A.

Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa siswa yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena nilainya tidak mencapai standar tes yang telah ditentukan. Nampaknya keangkuhan sekolah untuk memasang standar kelulusan yang meroket secara tidak langsung telah melarang dan mengurangi kesempatan siswa (yang kurang cerdas) untuk melanjutkan dan mengenyam pendidikan. Padahal seharusnya, kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan sudah sepatutnya dinyatakan layak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa harus mengikuti tes seleksi penerimaan. Semisal siswa yang lulus UN SMP berarti berhak mendapatkan pendidikan di bangku SMA.

Lucunya saat ini, untuk masuk ke jenjang SMA pun, sekolah masih mewajibkan siswa untuk melewati hajatan tes seleksi penerimaan yang tak kalah hebohnya dengan ujian nasional. Begitulah adanya, nampaknya sekolah hanya menerima siswa-siswa di atas rata-rata sementara siswa jongkok kian termarginalkan. Jikalau memang seperti ini, ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi pendidikan untuk memanusiakan manusia (Baca: mencerdaskan orang yang tidak cerdas).

Selain mengurangi kesempatan siswa untuk melanjutkan pendidikan, budaya sekolah yang memasang standar tinggi akan berdampak pada ketidakmerataan kualitas pendidikan. Dalam suatu daerah misalnya, di satu sisi ada sekolah yang berkualitas dengan indikator siswa yang cerdas, sementara di sisi lain juga ada sekelumit sekolah yang siswa-siswanya di bawah rata-rata. Makanya, jangan heran jika ada sebagian sekolah yang dicap dan diberi label oleh masyarakat sebagai sekolah pembuangan, yakni sekolah yang menampung (menerima) siswa yang tidak lulus tes di sekolah yang berstandar tinggi tadi. Sekolah pembuangan ini menjadi tempat pelarian semata.

Lagi-lagi begitulah adanya, persaingan sekolah yang semakin ketat mendorong sekolah untuk meningkatkan citranya dengan cara-cara yang sungguh sangat tidak elegan dengan hanya menerima siswa-siswa yang cerdas. Ini dilakukan agar sekolah dapat dicap sekolah yang berkualitas. Padahal, sebuah sekolah seharusnya tidak perlu bangga ketika siswanya memiliki prestasi yang baik karena memang hanya menerima siswa di atas-rata-rata saat penerimaan siswa baru. Namun yang sesungguhnya patut dibanggakan adalah ketika sekolah mampu mencerdaskan siswa yang sebelumnya memiliki kemampuan ala kadarnya.

Pemerintah melalui Dinas Pendidikan (Disdik) di masing-masing daerah seharusnya mampu melakukan kontrol untuk menanggulangi bencana terhadap cara seleksi yang dilakukan sekolah pada saat penerimaan siswa baru. Paling tidak, pemerintah harus memetakan sekolah-sekolah mana saja yang harus menerima siswa berkapasitas tinggi, sedang maupun maupun rendah. Jika ingin adil dan menghindari ketimpangan kualitas pendidikan, paling tidak, cara yang paling bijak adalah menempatkan siswa jongkok di sekolah-sekolah yang berkualitas dengan indikator guru dan fasilitas yang mumpuni.

Sementara itu, jika memang sekolah tetap ngotot mengadakan tes seleksi penerimaan, maka saat perengkingan nilai hasil tes, sekolah harus menerima siswa yang memiliki kecerdasan rendah, cukup, dan tinggi dengan persentase yang seimbang. Ini dilakukan agar tidak ada ketimpangan dan homogenitas kemampuan siswa, terlebih-lebih lagi untuk menghapuskan label sekolah pembuangan.

Jika ingin bersikap bijak dan cerdas, banyak keuntungan yang akan kita diperoleh jika mencampuradukkan siswa yang berkapasistas cerdas, sedang dan kurang cerdas. Menurut teori belajar yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, Vigotzky, kondisi kelas yang heterogen akan memudahkan anak untuk belajar. Kondisi kelas yang heterogen memungkinkan peserta didik untuk mengisi satu sama lain.

Kendari-Sultra, 4 Juli 2014

ADY AKBAR

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun