Pada suatu ketika, salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah usai kembali dari berperang, “Wahai Rasulullah, masih adakah perang yang lebih besar daripada perang yang baru saja kita lalui ini?” . Rasul menjawab, “Ya, masih ada perang yang lebih besar daripada ini, yakni perang melawan hawa nafsu”.
Puasa pada hakikatnya bukan hanya wadah latihan untuk meningkatkan kadar keimanan kita kepada sang Kuasa. Namun puasa tidak lain adalah momentum peperangan yang akan menjanjikan kemenangan bagi yang kuat dan tentu kekalahan bagi yang tidak bisa melumpuhkan musuh, yakni hawa nafsu.
Dalam artian yang lebih subtantif, puasa pada dasarya bukan sekedar proses mengendalikan diri dari makanan dan minuman mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Namun, puasa adalah menahan diri (As-Syaum) dari segala sesuatu yang dapat menodai kesucian puasa, khususnya hawa nafsu yang cenderung membawa manusia ke sisi kuadran negatif.
Di era modernisasi seperti sekarang ini, perkembangan pesat teknologi membawa perubahan besar terhadap pola konsumsi hidup manusia, khususnya konsumsi terhadap informasi di internet dan media sosial. Konsumsi terhadap media sosial sejujurnya bukanlah hal yang buruk, namun tidak selamanya baik.
Sebagai rumah-nya kata-kata dan status, media sosial banyak mempengaruhi pola hidup masyarakat, termasuk di bulan suci Ramadhan ini. Media sosial seperti facebook, BBM, twitter, line, WA kini banyak berisi konten status bernuansa ramadan, mulai dari status yang berkualitas wahid sampai dengan status ramadan yang berkualitas sampah. Belakangan ini memasuki bulan ramadan kita sering menjumpai status seperti: Sahur selesai, waktunya memulai puasa; Siap-siap sholat tarawih; waktunya sahur; buka bareng teman-teman; OTW masjid; habis solat, waktunya mengaji; racik es buah untuk berbuka dan lain sebagainya.
Penulis berpandangan, budaya narsis (narcius) dan update status di media sosial hukumnya sunnah muakkad bagi kebanyakan masyarakat, bahkan rasanya kurang afdol jika dalam kurun waktu 24 jam seseorang tidak menulis statusnya di media sosial. Penulis menilai, budaya update status, seperti status tentang aktivitas ibadah di bulan ramadan bukanlah hal yang dilarang, namun pengguna juga tetap harus mengedepankan nilai-nilai sosial-religius, jangan sampai status di media sosial mengarah pada perbuatan “ria” yang dapat menodai ibadah kita di bulan nan suci ini. Bukan tidak mungkin, ibadah puasa yang tanpa didasari niat karena Allah, namun karena unsur lain, maka tentu ini berpotensi mengurangi nilai puasa kita.#Wallahutaalaalambisawaf.
Wassalam, berkah for you all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H