Mohon tunggu...
Yohanes Pembaptis Widiawan
Yohanes Pembaptis Widiawan Mohon Tunggu... profesional -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sandal Jepit

24 Mei 2014   03:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi/Kompasiana (palembang.tribunnews.com)"][/caption]

Den Bagus Ing Ngarso berencana ikut pemilihan Kepala Desa Gemintang. Dia menghadap Ngarso Dalem untuk meminta restu pencalonannya, sekaligus kalau memungkinkan ia akan meminta Ngarso Dalem untuk bicara kepada masyarakat agar memilihnya, alias menjadi tim suksesnya.

Sudah setengah jam dia mondar-mandir di ruang tamu, plarak-plirik matanya memandang ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu larut. Ngarso Dalem sebenarnya ada di dalam rumah, hanya saja Ngarso Dalem tidak mau menemuinya, bukan tidak mau- tapi enggan. Ngarso Dalem sudah tahu tujuan Den Bagus Ing Ngarso mau menemuinya, karena sebelum kedatangannya, Ngarso Dalem telah menerima tamu yang juga meminta restu untuk pencalonan Kepala Desa Gemintang yang tak lain adalah lawan Den Bagus Ing Ngarso, Slamet Bejo Ngabadi, Kepala Desa incumbent.

Tapi dasar Den Bagus, tak kenal putus asa, walaupun ngabdi dalem telah memberitahunya lewat bisikan ketika Den Bagus baru masuk ke dalam ruang tamu setengah jam yang lalu, tak urung dia tetap mau bertemu dengan Ngarso Dalem.

Ngarso Dalem sudah setuju untuk Slamet Bejo Ngabadi meneruskan pengabdiannya menjadi Kepala Desa Gemintang untuk yang ke-3 kalinya, satu kali periode jabatan Kepala Desa adalah lima tahun. Ngarso Dalem berjanji akan mendukung penuh Slamet Bejo Ngabadi dan berbicara kepada masyarakat untuk memilihnya.

*

Akhirnya Ngarso Dalem yang mengalah, “Ono opo, Kir?” memanggil nama asli Den Bagus Ing Ngarso, Jumakir.

Den Bagus Ing Ngarso sungkem tangan kepada Ngarso Dalem.

“Opo ora iso sesuk, ini sudah larut malam.”

Den bagus tersenyum kecut, Ngarso Dalem mengambil duduk di kursi goyang, tangannya menggenggam cangklong yang sudah mengeluarkan asap.

“Anu, Ngarso Dalem...saya mau meminta restu untuk ikut dalam bursa pencalonan kepala desa.”

Ngabdi dalem masuk ke ruang tamu membawa baki yang berisi 2 gelas kopi, yang satu besar milik Ngarso Dalem, yang satu gelas kecil untuk Den Bagus.

“Eaalah, kamu mau ikut pemilihan kepala desa?” Ngarso Dalem Menarik gelas kopinya dari tatakan di atas meja kecil, di sampingnya duduk. Den Bagus mengangguk.

“Lah kamu ini kan sudah jadi pengusaha, pengusaha yang cukup berhasil di Gemintang, iso ongkang-ongkang sikil, kenapa kamu tidak mematangkan usahamu saja, ketimbang jadi Kepala Desa.”

Ngarso Dalem menghentikan sejenak pembicaraannya, meniup ujung gelas kopinya.

“Jadi kepala desa itu pengabdian Kir. Ora ono duite.“

“Anu, Ngarso Dalem... saya mau jadi kepala desa itu juga untuk pengabdian, mengabdi kepada Ngarso Dalem, membantu menjalankan roda pemerintahan di Desa gemintang.”

“Usaha saya kan bisa dijalankan oleh Jeng Nduk Sri, dia juga yang selama ini ikut membangun usaha saya.” Ngarso Dalem nglirik jam dinding yang sama dengan jam yang dilihat oleh Den Bagus tadi.

“Kalau aku lihat, kamu ndak cocok jadi kepala desa, Kir.”

Ngarso Dalem minum kopinya, Den Bagus memandangi lekat-lekat Ngarso Dalem, bingung dengan arah ucapan Ngarso Dalem.

“Loh iyo Kir...” Ngarso dalem meletakkan gelasnya ke meja kecil di sampingnya.

“Wibowo-mu itu ndak selevel untuk kamu nyalon kepala desa, kepala desa itu ibarat sandal jepit.”

“Maksud Ngarso Dalem?” ada kebingungan di benak Den Bagus, mimik mukanya mengerut.

“Sandal jepit itu kalau sudah waktunya rusak dibuang Kir, ndak dipake lagi."

“Lah ya iya to Dalem, masak sendal jepit semplah masih mau dipake, yo beli yang baru lebih ekonomis.”

“Nah kuwi... kuwi maksute... paham ora?”

Den Bagus mengernyitkan dahinya, mencoba mengulang ucapannya tadi di dalam benaknya.

“Waah saya ndak ngerti apa yang dimaksudkan Ngarso Dalem.” Den Bagus bicara jujur. Ngarso Dalem menarik napas dalam-dalam.

“Ngene kir, sandal jepit itu hanya perumpamaan untuk mewakili suatu perbuatan.”

Ngarso Dalem menggerayangi saku celananya, tangannya menarik geretan, menghidupkan cangklongnya yang sudah tidak berasap lagi. Asap mengepul kembali dari cangklongnya.

“Sandal jepit itu alas kaki, kegunaannya sebagai tandas kaki saat berjalan, supaya telapak kaki kamu bersih dari kotoran, supaya kakimu tidak terkena benda yang bisa melukai.”

“Filosofinya....“ pipi Ngarso Dalem kempot menghisap asap dari cangklongnya.

“Kepala desa dipilih rakyat untuk melayani kebutuhan masyarakat, dari kebutuhan yang bersifat administratif, kebutuhan bersifat material, dan rohani. Jadi kepala desa itu kerja penuh tekanan, diteken dari bawah, yo diteken dari atas.”

“Sifatmu seng mbalelo, ndableg itu ndak cocok untuk kamu menjabat kepala desa.”

Den bagus mengacungkan jari telunjuknya ke atas, meminta sela waktu untuk menanyakan sesuatu hal yang belum dimengertinya.

“Anu ndalem, maksudnya diteken dari atas dan diteken dari bawah itu tadi?”

Ngarso Dalem menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Diteken dari atas itu kamu harus patuh melaksanakan tugas atasanmu, dari jajaran camat, walikota, gubernur, baik tugas bersifat kedinasan ataupun di luar dinas, terkadang memaksa dan tidak mengenal waktu....

“Dan sebaliknya diteken dari bawah itu artinya, kamu mengabdi kepada masyarakat, dan kamu dipilih oleh masyarakat. Tentunya kamu mesti mengabdi ke masyarakat, mengelola hal-hal yang bersifat kepemerintahan, tugas-tugas lainnya yang memang diserahkan oleh masyarakat untuk kamu selesaikan. Dan itu juga selalu memaksa dan tidak mengenal waktu, Kir.”

Den Bagus manggut-manggut tanda mengerti apa yang diucapkan Ngarso Dalem.

“Setelah kamu tidak menjabat jadi kepala desa lagi nanti... yo kamu kembali jadi warga biasa, ndak ada tanda jasa, uang purna bhakti, uang pensiun... ora ono, Kir.”

Gelas kopi Den Bagus sudah tandas sekali teguk.

“Jabatan kepala desa itu betul-betul pengabdian, kamu menjadi ujung tombak dari wargamu, berbeda dengan walikota, bupati, gubernur yang punya anak buah untuk masing-masing kedinasan. Memang semua pekerjaan itu pengabdian, pengabdian kepada yang memberi pekerjaan kepada kita, Kir. Jabatan itu amanah, harus dijalankan dengan tanggung jawab dan kebenaran.”

Asap kemebul keluar lagi dari cangklong yang diisap Ngarso Dalem, membuat sesak ruang tamu.

“Kamu masih berniat, mau mencalonkan diri jadi kepala desa, Kir?”

Den bagus mengangguk-angguk pelan, meragukan keyakinannya sendiri untuk mencalonkan dirinya menjadi kepala desa.

“Wes mbok pikir disik, kalo sudah manteb, kamu daftarkan diri di sekretariat desa.“

Ngarso Dalem henyak dari duduknya, menandakan dia sudah selesai berbicara dengan Den Bagus.

Ia berjalan meninggalkan Den Bagus Ing Ngarso, yang masih manggut-manggut terkantuk.

*

Satu minggu berlalu, Ngarso Dalem keliling Desa Gemintang.

Pamflet-pamflet berisi ajakan untuk memilih calon-calon tertentu sudah mulai dipajang untuk kepentingan kampanye para calon kepala desa.

Ada sesuatu yang mengganjal hati Ngarso Dalem, sehingga meminta sopir menghentikan kendaraan yang membawanya. berhenti tepat di depan pamflet yang berlogo tidak seperti biasanya. Logo calon kepala desa biasa bergambar pohon pisang, singkong, atau padi dan kapas, tetapi logo calon kepala desa ini bergambar sandal jepit.

Ngarso Dalem membaca tulisan di bawah logo sandal jepit yang tertulis,

“SIAP DITEKAN DARI ATAS DAN DARI BAWAH.”

PILIHLAH DEN BAGUS ING NGARSO.

Ngarso Dalem menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun