Memasuki masa kampanye pilpres tahun 2014, para team sukses calon presiden dengan sekuat tenaga dan upaya menggadang-gadangkan calonnya sebagai calon terbaik untuk meraih singgasana utama dalam perebutan kursi kepresidenan RI. Ibarat iklan kecap, iklan kecap selalu merujuk nomor 1, tidak ada iklan kecap nomor 2, 3, dan atau nomor 10. Itulah yang dinamakan pencitraan.
Terlepas team sukses dalam mengelola kampanye secara sehat.
Ada kegiatan lain yang dilakukan para “team sukses”, yaitu mengelola kampanye secara “tidak sehat” (black campaign).
Mengelola kampanye“tidak sehat”, tentu menggunakan strategi gerilya. Menciptakan informasi yang asal-asalan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Team sukses resmi tidak akan mengakui, merelease berita berita miring yang dibuat untuk menjatuhkan pencitraan lawan politik.
Sehingga terjadi bully-membully antara team sukses. Menciptakan pengkotak-kotakkan massa. Dengan tujuan merubah sikap dan pemikiran masyarakat, untuk beralih kepada pilihan lainnya.
Menurut pakar dan pengamat politik dalam tulisannya maupun hasil wawancara yang direalese baik oleh media cetak maupun media online, kampanye “tidak sehat” merupakan hal yang wajar.
Penulis tidak sempat menanyakan kepada para pakar dan pengamat politik, apa yang menjadi ukuran kata “wajar” ?.
Tetapi secara pribadi penulis mempunyai penilaian tersendiri yang tentunya berlawanan dengan penilaian para pakar dan pengamat politik.
Yang menjadi dasar berpikir penulis adalah wawasan nusantara.
Indonesia adalah negara seribu pulau dengan keanekaragaman suku, budaya, adat istiadat. Yang terangkum dalam ke-bhinnekatunggalika-an, dengan Ideologi Pancasila menjadikan Indonesia “utuh” sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang menjadi Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara-negara didunia.
Elemen-elemen diatas wajib digunakan sebagai pakem bagi seluruh rakyat Indonesia dari ujung kepulauan sabang hingga merauke, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dan tentunya dalam kehidupan bernegara.
Timbulnya sikap perang tanding “tidak sehat” para team sukses calon presiden dalam Pilpres RI tahun 2014 tentu tidak bersandar kepada hal tersebut diatas. Yang ada, adalah konsep memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat dibayang-bayangi oleh ketidakpastian, menciptakan keraguan. Kebenaran dihasut oleh ketidakbenaran. Berita miring dan terkesan negatif tanpa data dan bukti akurat, menjadi porsi makanan yang halal dan wajib dinikmati, oleh para pemirsa baik media cetak maupun online yang memang sudah terkesan tidak “netral”.
Penjatuhan citra calon presiden lain, seolah-olah sudah menjadi ketentuan yang harus dilaksanakan bagi team sukses, baik yang resmi maupun tidak resmi. Sehingga melakukan bully/penindasan terhadap calon presiden lain bukanlah suatu dosa.
Tidak semestinya team sukses calon presiden melakukan pencitraan negatif terhadap calon lain.
Semestinya, team sukses bekerja secara profesional dan informatif, menjajakan rencana program unggulan para calon presiden kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat dengan keyakinan hati dapat menentukan pilihannya dengan tepat.
Calon presiden bukanlah manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan sakti mandraguna untuk menjadikan Indonesia Jaya dalam waktu lima, tujuh, atau sepuluh tahun. Kebesaran nama seorang calon presiden hanyalah pepesan kosong, tanpa dukungan rakyat.
Presiden membutuhkan dukungan dari rakyat, untuk bersama mengelola Indonesia, bahu membahu, gotong royong, menciptakan rasa saling senasib sepenanggungan untuk membangun kekuatan, menjadikan Indonesia Jaya.
Indonesia butuh seorang pemimpin yang berakhlak, Adil, bijaksana, jujur serta santun dalam bersikap, tegas dalam bertindak, teguh dalam menegakkan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H