Dinamika perkembangan hukum terbaru tindak pidana penyalahgunaan narkotika secara teori telah mengalami kemajuan cukup berarti dengan masuknya pasal-pasal yang melihat posisi pecandu/pemakai narkotika sebagai korban sehingga diarahkan untuk tidak lagi dipidana sebagaimana sering terjadi pada penanganan perkara-perkara narkotika selama ini.
Pasal terkait dengan pecandu/pemakai dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA terdapat pada ketentuan Pasal 54, Pasal 55, Pasal 103 dan Pasal 127, dimana makna yang terkandung pada pasal-pasal ini mewajibkan para pecandu/pemakai untuk menjalani rehabilitasi sosial dan medis guna menghilangkannya ketergantungannya terhadap narkotika. Kewajiban ini, kemudian dipertegas kembali oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor Nomor 4 Tahun 2010 yang menyebutkan seorang pecandu narkotika yang tertangkap tangan penyidik Polri atau penyidik BNN dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan.
Namun demikian, kemajuan pasal-pasal perundangan narkotika ini sendiri dalam prakteknya tidak semudah membaca kalimat peraturan pasal tersebut. Hingga kini, praktek penegakan hukum pdana terhadap para pemakai/pecandu narkotika terlihat masih memandang mereka sebagai pelaku murni tindak pidana dan bukan sebagai korban dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Saat melakukan diskusi singkat dengan seorang Hakim pada salah satu Pengadian Negeri Kota Magelang, terlihat adanya kesulitan bagi Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara narkotika sehubungan dengan pecandu/pemakai agar menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
"Sukar rasanya menjatuhkan putusan kewajiban rehabiltasi bagi pecandu/pemakai, karena belum jelasnya pengaturan rinci tentang hal ini," ungkapnya.
Selain itu, Hakim ini menjelaskan, apabila Majelis Hakim menjatuhkan kewajiban rehabilitasi kepada pecandu/pemakai, maka akan muncul permasalahan baru yaitu siapakah yang akan membiayai rehabilitasi tersebut?
Prakteknya, biaya rehabilitasi bagi pemakai/pecandu bukanlah sebuah angka yang murah dan sedikit dan masih terkategorikan sebagai sesuatu yang mahal bagi para pecandu/pemakai kelas menengah ke bawah dan pemakai inilah yang banyak diajukan ke muka persidangan dalam penyalahgunaan narkotika sebagai pecandu/pemakai.
"Yah, mungkin saja dijatuhkan putusan kewajiban bagi terdakwa selaku pecandu/pemakai narkotika untuk menjalankan rehabilitasi tapi dengan adanya jaminan biaya dan juga orang yang akan menyakinkan majelis hakim untuk pelaksanaannya," ungkapnya.
Berkaca dari hal ini, tentunya diperlukan suatu langkah nyata dari pemerintah untuk kembali mempertegas pengaturan rehabilitasi pecandu/pemakai pada UU Nomor 35 Tahun 2009 ini sehingga bisa diterapkan secara efektif guna menjamin hak-hak sipil rakyatnya.
Seandainya, kondisi meletakkan dan menjatuhkan vonis penjara bagi para pecandu/pemakai tetap diteruskan, maka bukan tidak mungkin hal ini menimbulkan pelaku-pelaku kejahatan baru dalam dunia peredaran narkotika karena di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) para pecandu ini mendapatkan ilmu baru dalam dunia narkotika sehingga meningkatkan status mereka dari pemakai/pecandu menjadi pengedar dan bukan tidak mungkin menjadi distributor narkotika itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H