[caption id="attachment_188004" align="alignleft" width="300" caption="Produk kondom dipasaran bebas (dok. pribadi) "][/caption]
    Jika handphone atau ponsel itu adalah pintu masuk untuk menikmati informasi bebas dan pornografi secara bebas. Jika merokok adalah pintu masuk untuk menikmati narkotika dan psikotropika. Maka kondom adalah pintu masuk untuk menikmati kehidupan seks bebas (free sex).Â
    Saya masih ingat ketika akhir tahun 2004 dan setelah punya anak pertama, betapa sulitnya mendapatkan kondom. Kondom baru bisa didapat di Apotek dan Supermarket besar. Sementara saat ini di mini market di pinggir jalan sampai ke gunung-gunung sekalipun, kondom sangat mudah dijumpai. Bahkan dipajang di etalase depan, agar mudah dijangkau. Saya pun teringat dengan aksi kampanye kalangan NGO penanggulaangan HIV/AIDS pada medio tahun 90-an, yang menyebarkan kondom untuk kelompok seksual beresiko bahkan kondom itu ditempatkan didalam toples dan diletakkan di meja tamu supaya banyak dilihat dan bebas diambil oleh setiap orang yang memerlukan. Kebetulan saya pernah aktif dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang penaggulangan HIV/AIDS hingga tahun 1997.Â
caption id="attachment_188005" align="alignright" width="300" caption="Kondom aneka rupa dan rasa beredar bebas (dok. pribadi)"]
    Saat itu kondom sudah banyak ragam dan rasanya. Ada rasa cokelat, strawberry, dan sebagainya. Bahkan kondom untuk perempuan pun sudah ada saat itu dan beredar di kalangan tertentu. Kondom aneka rasa dibuat untuk membuat nyaman bagi pelaku seks oral, yang banyak dilakukan oleh kalangan homoseksual dan transgender (gay dan waria). Bahkan saya pun sempat membawa-bawa kondom yang bisa saya peroleh dengan mudah ketika itu ke kampus, sebagai bahan diskusi dengan teman-teman di kampus dan untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuannya tentang kondom dan seks bebas ini.Â
Gebrakan Kondomisasi Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.Â
   Tidak lama setelah dilantik sebagai Menteri Kesehatan oleh Presiden, Nafsiah Mboi langsung menggebrak publik dengan rencananya melakukan sosialisasi dan kondomisasi terhadap kelompok seksual beresiko, termasuk kepada kelompok remaja dengan perilaku seksual beresiko. Yang dimaksud kelompok dengan perilaku seksual beresiko, antara lain pelacur, pria hidung belang, buruh di pelabuhan, nelayan, pelaut, termasuk kelompok gay dan waria.Â
   Rencana sosialisasi dan pembagian kondom kepada khalayak dengan perilaku seksual tidak sehat dan beresiko sempat menjadi berita besar di masyarakat dan media massa. Namun akhir-akhir ini, seakan redup, kalau tidak dikatakan hilang. Padahal rencana sudah digodog matang dan siap untuk diluncurkan ke masyarakat sebagai kebijakan Menkes yang baru. Ini sebenarnya lagu lama Nafsiah Mboi sebagai pegiat penanggulangan HIV/AIDS.Â
   Nama Nafsiah Mboi memang tidak asing lagi di kalangan pegiat penanggulangan HIV/AID, bahkan penulis pun, pernah di training oleh Nafsiah Mboi, dimana Nafsiah Mboi sebagai salah satu fasilitatornya dalam Pelatihan Calon Konselor  HIV/AIDS yang diselenggrakan oleh LSM HIV/AIDS di bilangan Jakarta Pusat pada pertengahan tahun 1994 yang lampau. Tidak tanggung-tanggung, dana yang akan dihabiskan dalam proyek ibu Menkes yang baru senilai Rp. 25 miliar untuk melakukan sosialisasi dan pembagian kondom kepada kelompok dengan perilaku seksual beresiko tinggi tersebut.Â
   Sementara itu kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku seks sehat dan sah dan jumlahnya mayoritas, tidak diperhatikan oleh seorang Nafsiah Mboi. Lagu lama yang coba diangkat menjadi sebuah kebijakan publik yang tidak populis dan bebas nilai. Padahal politik kesehatan negara, menempatkan aspek spiritualitas dan agama sebagai hal yang penting dan menentukan dalam penentuan kebijakan dan implementasi kesehatan kepada masyarakat. Kebijakan sosialisasi dan pembagian kondom oleh Kementerian Kesehatan ini tidak berdasar secara sosiologis dan secara yuridis.Â
   Secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis dan menolak setiap perilaku seksual yang menyimpang dan segala bentuk prostitusi. Secara yuridis pun, penulis melihat tidak ada dasar bagi Menkes untuk membuat kebijakan kondomisasi ini. Payung  hukum dibidang kesehatan, yakni UU nO. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 1 angka 1  disebutkan bahwa "Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis".Â