Bila tidak aral melintang, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa dan memutuskan perkara penistaan agama yang dilakukan oleh Ir. Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok akan menjatuhkan putusannya pada 9 Mei 2017 pekan depan.  Bermula dari pidato Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sebelum Pilgub DKI Jakarta pada September 2016 di Pulau Pramuka kawasan Kepulauan Seribu  yang dianggap menistakan agama Islam dan al-Qur'an, khususnya penistaan terhadap surat al-Maidah ayat 51, akhirnya membawanya menjadi terdakwa dalam kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejak Desember 2016 kemarin hingga saat ini.
Dugaan saya mengenai pengkerdilan kasus Ahok sudah penulis duga sejak adanya Gelar Perkara di tingkat penyelidikan di Bareskrim Mabes Polri. Berdasarkan UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun dalam Perkap No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Pidana, dalam tingkat penyelidikan tidak dikenal adanya gelar perkara. Gelar perkara hanya dikenal dalam tingkat penyidikan. Sementara itu penyelidikan secara teoritis maupun secara normatif merupakan bagian integral dari penyidikan. Yang agak aneh dan janggal juga dalam "gelar perkara" yang tidak dikenal itu, Kabareskrim Mabes Polri mengungkapkan adanya dissenting opinion diantara para penyidik.Â
Setelah ditingkatkan menjadi penyidikan setelah "gelar perkara" tersebut, kembali kasus ini kembali dikerdilkan dengan menambahkan pasal 156 KUH Pidana yang disandingkan dengan pasal 156 huruf KUH Pidana. Padahal dengan diterapkannya pasal 156 huruf a KUH Pidana sebagai lex specialis, harusnya tidak diperlukan lagi pasal 156 KUh Pidana sebagai lex generalis. Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diharapkan peran untuk meluruskan pemahaman yang keliru Penyidik atas penerapan pasal yang tumpang tindih tersebut, justru ikut menambah keruwetan penanganan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang sebenarnya dan senyatanya sudah terang benderang fakta dan tersangkanya serta barang bukti sebagai petunjuknya.
Perkara penistaan agama dengan terdakwa Ahok bukan sekedar adanya gejala  pengkerdilan yang nyata, namun terjadi politisasi hukum yang dilakukan oleh pihak istana melalui Mendagri Tjahyo Kumolo. Pada 12 Februari 2017 yang lalu, baru ada dalam sejarah pemerintahan di republik ini, seorang Gubernur DKI Jakarta yang berstatus terdakwa dn diaktifkan kembali kedudukannya sebagai Gubernur DKI Jakarta hanya berdasarkan pernyataan politik seorang Mendagri Tjahyo Kumolo. Ketentuan hukum pun ditabraknya.Â
Padahal menurut  Pasal 83 ayat (1) sampai ayat (5) UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap Kepala Daerah yang berstatus sebagai Terdakwa diatur sebagai berikut :Â
(1) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan  pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
(2) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan berdasarkan register perkara di pengadilan.Â
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil walikota.Â
(4) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Â
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota  Â
Berdasarkan Pasal 83 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 23 tahun 2014 sejak 13 Desember 2016 yang lalu cukup jelas, bahwa Ahok secara de jure haruslah diberhentikan sementara oleh Presiden sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun secara de facto, kedudukan Ahok tetap menjabat dan secara yuridis aman dengan menikmati masa cutinya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mencalonkan diri sebagai Paslon Pilkada DKI Jakarta dan sebagai pasangan petahana. Lalu mengapa Ahok tetap aman dan menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan status terdakwa sejak pukul 00.000 wib dinihari tanggal 12 Februari 2017 tadi ? Menurut penulis, ada kekuatan politik yang melindungi AHok secara yuridis maupun secara politik. Siapakah pihak tersebut, penulis mempersilahkan para pembaca untuk mencernanya secara cerdas. Bila ada pendapat dan pernyataan Menteri Dalam Negeri soal pengaktifan kembali dan pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menunggu Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, menurut penulis itu adalah pernyataan yang keliru dan sesat fikir yang melanggar hukum dan undang-undang serta melanggar sumpah jabatan dari pejabat yang berwenang untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sehingga penulis memberikan istilah yang sangat tepat dalam kasus ini yakni malapetaka hukum. Bisakah dibayangkan bila seorang Mendagri tidak memahami hukum dan hukum acara lalu memberikan pernyataan politik. Â
Suasana politisasi hukum dan kongkalikong, juga ditampakkan dengan nyata oleh Tim Jaksa Penuntut Umum kasus Ahok yang diketuai oleh Ali Mukartono, S.H. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum hanya menuntut terdakwa BTP alias Ahok dengan tuntutan hukuman 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun, karena hanya terbukti dakwaan alternatif kedua yakni pasal 156 KUH Pidana. Sementara dakwaan alternatif pertama yakni Pasal 156 huruf a KUH Pidana (PNPS No. 1 tahun 1965) tidak terbukti dipersidangan menurut Jaksa Penuntut Umum. Hal yang sangat lucu dan tidak wajar dalam perkara-perkara penistaan agama selama ini.
Pasal 156 KUHP mengatur tindak pidana permusuhan atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia. Selengkapnya bunyi rumusan Pasal 156 Â Â KUHP tersebut adalah sebagai berikut :Â
"Pasal 156 : Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau Denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-Â
Yang dikatakan golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut, ialah tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia, yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau keadaan hukum negaranya".Â
Rumusan Pasal 156 KUHP terlampau bersifat umum dan tidak mengena, oleh karenanya melalui PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditambahkanlah dalam KUHP Pasal 156a yang rumusannya lengkapnya adalah sebagai berikut :Â
"Pasal 156a : Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."Â
Menurut Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, S.H., M.H., bahwa Blasphemy (penghinaan terhadap agama) terkait erat dengan Libel yaitu penghinaan yang berakibat pada hak dan kehormatan dan nama baik pihak yang dirugikan sebagai akibat perbuatan pelakunya.  Blasphemy menurut Black's Law Dictionary mengartikannya: "the offence of speaking matter relating to God, Jesus Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings of mankind or to excite contempt and hatred against the church by law established or to promote immorality".