Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal Pendiri BASAKRAN & GINTING MANIK Law Office sejak 1996 Gd. Menara 165 Lt. 17 Unit A, Jl. TB Simatupang Kav. 1, Jakarta 12560 Telp/Fax. 021-38820017; 38820031 Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemenangan Jokowi-Ahok dan Krisis Imamah

21 September 2012   23:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348264610319084902

[caption id="attachment_200300" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber Foto : news.detik.com"][/caption] Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 mungkin Pilgub paling "panas" di tanah air. Bayangkan isu SARA menjadi isu panas yang bisa sewaktu-waktu "membakar" hati setiap warga Jakarta. Pada putaran pertama saja, yang sudah berlangsung pada 11 Juli 2012,  diikuti oleh enam pasang calon gubernur dan calon wakil gubernur. Satu pasang cagub-cawagub independen yakni Faisal Basri dan Biem Benyamin. Selebihnya pasangan yang didukung oleh partai politik besar yang eksis di tanah air. Dari enam pasang cagub dan cawagub itu, sebelas orang beragama Islam, hanya seorang yang beragama non Islam dan suku Tionghoa yang minoritas. Hasil perhitungan suara pada putaran pertama saja, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok sungguh fantastis lebih dari 40 persen suara di kantonginya. Inilah hasil perhitungan suara putaran pertama versi resmi KPU DKI Jakarta : 1. Pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli: 1.476.648 (34,05 persen) 2. Pasangan Hendardji dan Rieza: 85.990 (1,98 persen) 3. Pasangan Joko Widodo dan Basuki T Purnama: 1.847.157 (42,6 persen) 4. Pasangan Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini: 508.113 (11,72 persen) 5. Pasangan Faisal Basri dan Biem Benjamin: 215.935 (4,98 persen) 6. Pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono: 202.643 (4,67 persen) Sedang berlangsung fenomena dan trend apa bagi warga Jakarta sehingga harus memilih pasangan yang sangat jauh dari kesan glamour dan intelek ini ? Seperti diketahui bahwa pasangan Jokowi dan Ahok adalah pasangan yang sangat bersahaja dan populis. Penulis memandang ada kesan kejenuhan yang melanda publik Jakarta akan figur yang elitis, birokratis, dan sok intelek. Bayangkan saja, seorang alumni Jerman yang berpasangan dengan seorang jenderal saja harus keok di hadapan Jokowi dan Ahok, bahkan dalam dua putaran.  Kemudian ada juga seorang ustadz dan doktor dari Universitas Islam di Madinah yang berpasangan dengan seorang Ekonom yang juga Profesor Ekonomi pun harus keok di putaran pertama. Gubernur dari Sumatera Selatan dan beberapa jenderal pun haarus keok pula di hadapan figur Jokowi dan Ahok yang sangat bersahaja.  Yang membanggakan adalah pasangan independen Faisal Basri-Biem Benyamin  yang mendapat suara hampir 5 % atau   215.935 suara warga Jakarta. Dalam putaran kedua, pasangan Jokowi dan Ahok kembali memenangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.  Hasil perhitungan quick count dari beberapa lembaga survey, Jokowi-Ahok mendapat persentase suara hampir 54 %, sisanya diambil oleh Foke-Nara. Isu SARA yang sengaja dihembuskan banyak pihak, tidak mampu mengalahkan figur bersahaja pasangan Jokowi-Ahok. Bahkan partai-partai pendukung para cagub-cawagub pun tidak berpengaruh untuk mengalahkan figur yang diimpikan oleh rakyat selama ini. Banyak kalangan menilai, bahwa Pemilukada DKI Jakarta akan menjadi barometer pada Pemilu dan Pilpres pada tahun 2014 mendatang, atau paling tidak menjadi cermin akan hasil Pemilu dan Pilpres mendatang. Kesalehan dan keilmuan calon gubernur dan calon wakil gubernur, pun tidak mampu mempengaruhi pilihan publik Jakarta, untuk memilih calon yang saleh dan alim. Hidayat Nur Wahid yang didukung oleh partai yang memiliki jargon bersih itu pun tidak mampu menarik hati warga Jakarta. Fauzi Bowo pun sebenarnya Ketua NU DKI Jakarta pun tidak mampu menarik warga Jakarta. Ada fenomena dan trend kejenuhan dari warga Jakarta yang selama ini hanya dijejali oleh doktrin agama mayoritas dan sejumlah tabligh akbar agar memilih calon yang seagama. Selama ini warga Jakarta hanya dijejali dengan ceramah-ceramah agama yang hanya di mulut saja, tapi tidak di dalam hati apalagi dilakukan melalui perbuatan sehari-hari. Dengan kata lain ada krisis kepemimpinan bagi warga mayoritas Jakarta dengan agama yang mayoritas pula. Pemimpin warga Jakarta mengalami krisis integritas, kapabiltas dan moralitas.  Ada calon yang bersih, namun berasal dari partai yang korup dan bermasalah, sehingga ikut menjadi kotor lah calon yang bersangkutan. Ada juga karena elit partainya yang tidak populis menjadi pemilih menggenaralisir kepada calon yang bersangkutan. Warga Jakarta menjadi jenuh dan putus asa atas kepemimpinan Jakarta selama ini. Mereka semua ingin perubahan dan tidak menjadi masalah siapapun yang memimpin Jakarta. Akankah fenomena Pilkada DKI Jakarta ini, ikut berpengaruh kepada keberhasilan dan kemenangan bagi Capres dan Cawapres yang akan bertarung nantinya. Akankah Capres atau Cawapres dari suku pendatang akan mencalonkan diri kembali menjadi salah satu Capres atau Cwapres ? Karena Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen membuka peluang selebar-lebarnya bagi Capres atau Cawapres dengan latar belakang seperti halnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang asli hany diharuskan "Presiden ialah orang Indonesia asli". Menurut penulis, amandemen UUD 1945 secara keseluruhan telah menjadikan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen dalam pencalonan Presiden-Wakil Presiden dan pencalonan dalam Pilkada di berbagai daerah, menjadikan Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai negara bangsa. Pilpres dan Pilkada hanya membuang energi dan biaya yang sangat besar, baik itu biaya sosial maupun finansial. Kembali kepada UUD 1945 berarti meminimalisir konflik horizontal dan menghilangkan perbuatan tabdzir (boros, hamburkan uang) yang sebenarnya dilarang oleh agama. Pilpres dan Pilkada langsung adalah produk demokrasi liberal yang coba diimpor oleh para alumni-alumni Amerika yang sebenarnya tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Kembali ke UUD 1945 dan kembali kepada sistem demokrasi berdasarkan prinsip musyawarah atau demokrasi representasi, agar rakyat Indonesia tidak membeli kucing dalam karung lagi seperti halnya pengalaman selama ini. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Karena perilaku beberapa orang, jadi rusak suara semuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun