Selasa, 16-11-16, Â kemarin berlangsung Gelar Perkara kasus penistaan agama dan penistaan agama didalam informasi elektronik di Mabes Polri. Gelar perkara yang tidak lazim dan tidak berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan ketentuan hukum positif yang berlaku. Â Bayangkan saja bahwa dalam Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana tidak diatur mengenai Gelar Perkara dalam tingkat penyidikan. Perkap No. 12 tahun 2014 itu sendiri berpedoman pada UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Gelar Perkara hanya dikenal dalam tingkat penyidikan suatu perkara pidana.Â
Dalam Perkap No. 14 tahun 2012 tersebut, Gelar Perkara itu merupakan bagian integral dari penyidikan itu sendiri dan salah satu cara untuk melakukan penyidikan, hal demikian dapat dilihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP. Bila ada pejabat Polri yang menyatakan bahwa hal demikian adalah merupakan diskresi kepolisian, menurut penulis diskresi kepolisian yang diambil tersebut merupakan diskresi kepolisian yang keliru.
Karena diskresi kepolisian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tentunya tidak boleh melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Bisa dibayangkan apa jadinya apabila Polri yang saah satunya adalah menjadi penegak hukum di negeri ini, dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum itu melanggar hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang sangat menggelikan adalah setelah gelar perkara itu dilangsungkan pada Selasa lalu, sehari kemudian yakni pada Rabu 17-11-16, baru diumumkanlah hasil kesimpulan gelar perkara yang dibacakan oleh Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Ari Dono Sukmanto, yang mengesankan bahwa seolah Polri pun bisa menjadi lembaga peradilan dan dalam kesimpulan tersebut menurut Kabareskrim terdapat perbedaan pendapat seperti halnya dissenting opinion suatu putusan badan peradilan, hanya untuk menetapkan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai tersangka dan dimulainya penyidikan kasus penistaan agama yang didasarkan pada ketentuan Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh tersangka Ahok ini sebenarnya sangat sederhana dan mudah dalam hal pembuktiannya. Namun sejak awal terlihat dibuat rumit oleh pihak Polri, karena adanya dugaan intervensi kekuasaaan yang kuat (baca : Presiden dan partai politik) terhadap pelakunya yang merupakan Gubernur DKI Jakarta non aktif dan Cagub DKI Jakarta petahana yang diusung oleh PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar dan Partai Hanura ini.
Penulis melihat bahwa kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok merupakan pengetahuan yang diketahui umum secara luas, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (2). Namun demikian, bila kita alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, kasus penistaan agama ini sudah memenuhi alat bukti keterangan saksi yang cukup, keterangan ahli yang cukup, petunjuk berupa video rekaman ucapan penistaan agama oleh Ahok di kepulauan Seribu, dan keterangan pelakunya itu sendiri. Bahkan Majelis Ulama Indonesia, sebagai otoritas pemegang kekuasaan mengeluarkan fakta agama Islam telah mengeluarkan Pernyataan dan Sikap Keagamaan MUI pada 11 November 2016 yang sebagai sikap bahwa pernyataan Ahok telah menista agama Islam dan menista al-Qur'an sebagai kitab yang menjadi pegangan ummat Islam diseluruh dunia.
*******
Sehari setelah penetapan tersangka Ahok dan dimuainya proses penyidikan perkara penistaan agama ini, pada Kamis kemarin mulai diperiksa para saksi pelapor dan ahl-ahli yang telah dibuatkan Berita Acara Interogasi pada tingkat penyelidikan, hal yang tidak lazim menurut hukum acara pidana, kemarin baru dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan dalam tingkat penyidikan (pro justitia). Hal yang sangat terlambat menurut penulis dilakukan oleh Bareskrim Polri dan tindakan Polri ini sungguh sangat tidak profesional.Â
Ada hal yang cukup menarik dalam pemeriksaan saksi-saksi pelapor tersebut, penulis melihat penyidik menambahkan Pasal 156 KUHP setelah itu dan/atau Pasal 156a KUHP dan menghapus Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Â
Pasal 156 KUHP mengatur tindak pidana permusuhan atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia. Selengkapnya bunyi rumusan Pasal 156 Â Â KUHP tersebut adalah sebagai berikut :
"Pasal 156 : Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau Denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-