Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal Pendiri BASAKRAN & GINTING MANIK Law Office sejak 1996 Gd. Menara 165 Lt. 17 Unit A, Jl. TB Simatupang Kav. 1, Jakarta 12560 Telp/Fax. 021-38820017; 38820031 Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menimbang Putusan Hakim atas Kasus Ahok

4 Mei 2017   10:02 Diperbarui: 4 Mei 2017   10:42 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rumusan yang hampir sama, Simester dan Sullivan menyatakan pula "blasphemy words are punishable for their manner, their violance or ribaldry or more fully stated dor their tendency to endanger the peace then and there, to deprave public morality generally, to shake the fabric of society and to be a cause of civil strife". 

Sedangkan menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP mirip dengan apa yang dinamakan Blasphemy atau Godlatering yang berarti penghinaan terhadap Allah.  Sementara menurut Prof. Oemar Seno Adji, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski ditujukan untuk melindungi kesucian agama, akan tetapi karena agama "tidak bisa bicara" , maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama. Penerapan Pasal 156a KUHP ini sangat cocok untuk diterapkan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, dan Pasal 156a ini sudah teruji dalam Yurisprudensi seperti halnya dalam kasus Tabloid Monitor yang menyeret Pemred nya yakni Arswendo Atmowiloto sebagai terpidana 4 tahun 6 bulan pada tahun 1990, dan kasus Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang juga menyeret H.B. Jassin sebagai Pemred Majalah Sastra Horizon dan menghukumnya dengan hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun.

Terlepas dari ras apa atau dari agama apa yang dianut oleh terdakwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara mempertimbangkan latar belakang historis, filosofis dan teoritis serta yuridis Pasal 156 huruf a sebagai sisipan diantara Pasal 156 KUH Pidana berdasarkan PNPS No. 1 tahun 1965 tanggal 27 Januari 1965 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno untuk diterapkan menjatuhkan hukuman secara maksimal terhadap terdakwa Basuk Tjahaya Purnama alias Ahok dengan mengesampingkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa hanya dengan hukum 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta harus mengeluarkan Putusan Ultra Petitum dalam kasus ini. 

Setahun sebelum pemberlakukan PNPS No. 1 tahun 1965 itu, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia saat itu yakni Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, pada tanggal 25 Mei 1964 mengeuarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 11 Tahun 1964 Perihal : Penghinaan terhadap agama kepada Semua Kepala Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia agar menghukum dengan hkuman yang berat terhadap barangsiapa yang melakukan tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap agama.  

Bila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mempertimbangkan rasa keadlan di dalam masyarakat yang berkembang selama ini, maka seharusnya Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan menerapkan hukuman maksimal bagi terdakwa berdasarkan dakwaan alternatif yang pertama yakni didakwa melakukan perbuatan penistaan agama sebagaimana dimaksud Pasal 156 huruf a KUH Pidana (PNPS No.1 tahun 1965). Bukankah dengan hanya mengeluarkan perasaan permusuhan atau penistaan saja sudah terpenuhi unsur Pasal 156 huruf a KUH Pidana tersebut ?

Penulis masih mempunyai keyakinan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan menerapkan Pasal 156 huruf a KUH Pidana dan memberikan hukuman yang maksimal atau berat terhadap terdakwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Hakim wajib menerapkan prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law), bila terdakwa kasus penistaan agama dimasa lalu diterapkan Pasal 156 huruf a KUH Pidana dan diberikan hukuman yang maksimal, mengapa tidak untuk kasus Ahok ini. Hakim juga punya kewajiban agar menjadikan Hukum sebagai Panglima di negeri ini, bukan Politik sebagai Panglima. 

  

Sumber tulisan ini :

1. Saat Ahok Sudah tak Bergigi  http://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/saat-ahok-sudah-tak-bergigi_58f7d1ae139773e821b1fadd

2. Malapetaka Hukum Pengaktifan Kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta http://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/malapetaka-hukum-pengaktifan-kembali-              ahok-sebagai-gubernur-dki-jakarta_589fcb4d5893734e056d5ffe

3.  Gejala Pengkerdilan Kasus Ahok > http://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/gejala-pengkerdilan-kasus-ahok_582e633bb59373cc042f5ad5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun