Berdasarkan Pasal 83 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 23 tahun 2014 sejak 13 Desember 2016 yang lalu cukup jelas, bahwa Ahok secara de jure haruslah diberhentikan sementara oleh Presiden sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun secara de facto, kedudukan Ahok tetap menjabat dan secara yuridis aman dengan menikmati masa cutinya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mencalonkan diri sebagai Paslon Pilkada DKI Jakarta dan sebagai pasangan petahana. Lalu mengapa Ahok tetap aman dan menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan status terdakwa sejak pukul 00.000 wib dinihari tadi ? Menurut penulis, ada kekuatan politik yang melindungi AHok secara yuridis maupun secara politik. Siapakah pihak tersebut, penulis mempersilahkan para pembaca untuk mencernanya secara cerdas.
Bila ada pendapat dan pernyataan Menteri Dalam Negeri soal pengaktifan kembali dan pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menunggu Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, menurut penulis itu adalah pernyataan yang keliru dan sesat fikir yang melanggar hukum dan undang-undang serta melanggar sumpah jabatan dari pejabat yang berwenang untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Solusi hukum untuk mengatasi permasalahan ini adalah mendesak secara politik dan secara hukum kepada Presiden untuk menggunakan kewenangannya berdasarkan undang-undang untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht. Bila Presiden tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut, secara hukum administrasi negara bisa dianggap sebagai suatu tindakan atau keputusan tata usaha negara dan atas hal ini warga masyarakat bisa mengajukan gugatan class action kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Disisi lain, secara politik DPR bisa menggunakan hak angket untuk mempertanyakan sikap politik Presiden yang tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut. Ujung dari proses politik ini berupa pemakzulan (impeachment)Â kepada kedudukan dan jabatan Presiden.
Pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan preseden yang buruk bagi penegakan hukum  dan kehidupan politik di Indonesia. Bahwa sudah banyak kasus yang menimpa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tersangkut kasus hukum juga dilakukan tindakan politik berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap kepada yang bersangkutan. Mengapa dalam kasus Ahok ini tak kunjung dilakukan pemberhentian sementara oleh Presiden ?   Â
****** Â Â Â
Bila diurut waktu kebelakang, maka kenyataan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan grand scenario yang sudah dirancang sejak adanya Laporan Polisi atas kasus  penistaan agama pada 7 November 2016 lalu, terlihat ada skenario penyelematan dan pengamanan Ahok baik secara hukum maupun secara politik. Dimulai dengan banyaknya kejanggalan-kejanggalan dalam proses penyelidikan, gelar perkara dan penyidikan yang tidak sesuai KUHAP dan Perkap No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penydikan Perkara Pidana. Penambahan Pasal 156 KUHPidana  pada proses penyidikan pasca gelar perkara tanggal 16 November 2016. Padahal yang dilaporkan dan peristiwa hukum yang sebenarnya adalah penistaan agama, in casu penistaan surat al-Maidah ayat 51. Sehingga yang teat diterapkan adalah Pasal 156 a KUHPidana (PNPS No. 1 tahun 1965).Â
Artikel penulis pada 18 November 2016 yang berjudul Gejala Pengkerdilan Kasus Ahok http://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/gejala-pengkerdilan-kasus-ahok_582e633bb59373cc042f5ad5 sudah memperingatkan ada gejala pengkerdilan Pasal 156a KUHPidana tersebut, dan rupanya fenomena itu akan menjadi kenyataan hukum dan menjadi preseden yang buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Skenario penyelamatan dan pengamanan Ahok ini juga bisa dilihat dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara alternatif namun menempatkan Pasal 156 KUHPidana dengan ancaman  hukuman penjara maksimal 4 (empat) tahun sebagai Dakwaan Kesatu, dan hanya menempatkan Pasal 156a KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara sebagai Dakwan Kedua dan sebagai dakwaan ban serep. Tindakan Penyidik dan Penuntut Umum inilah yang menjadi sumber malapetaka hukum dalam kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok tersebut, dan bisa menjadi penyelematan dan pengamanan posisi Ahok secara hukum dan secara politik.
Harapan terakhir ada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk memeriksa dan mengadili perkara secara adil dan tidak memihak serta menerapkan pasal 156a KUHPidana secara murni dan konsekwen sebagai lex specialis dari kasus-kasus penistaan agama, dan bukannya pasal 156 KUHPidana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H